8. One Single Bang

Scan yang baru, menunjukkan usia bayi itu menginjak minggu ke 24. Jeon ternganga, hampir menimpuk Barry dengan mesin USG karena berani memberi selamat  padanya… yang telah resmi menginjak trimester ketiga.

Dalam hitungan jam.

DIA BARU SEBESAR BIJI POLONG 12 JAM YANG LALU!”

“Biji polong itu bukan dari bumi, nak. Apa yang kau harapkan?”

Author: Miinalee

Tidak ada hal signifikan terjadi empat hari selanjutnya. Tidak ada alien antah berantah datang bertamu ke Wayne Manor, tidak ada benda-benda asing beterbangan di atas gedung Maria, tidak ada hal abnormal yang acap kali menghantui Jeon dalam mimpinya. Pemuda itu bahkan mulai merasa terbiasa dengan hari-harinya yang baru, terlupa pada kenyataan bahwa seminggu yang lalu Alfred memvonis seongok makhluk asing hidup menumpang dalam perutnya.

Pemuda itu tidak merasakan apa-apa lagi, meski pun tiap pukul 2 siang harapannya harus digilas sebentar karena scan yang diberikan Alfred tetap menunjukkan makhluk itu berada di dalam perutnya. Meringkuk, utuh, hidup, meski usianya belum bertambah lagi. Tapi tak apa, katanya menghibur diri.

“Setidaknya dia tumbuh normal sampai kalian dapat jalan keluar,” komentarnya sambil duduk, mengeyam suapan demi suapan eskrim dari buket besar yang dipeluknya erat-erat ke dada. Pemuda itu menyuapi satu demi satu orang di ruangan, meski hanya Barry dan Arthur yang bersedia membuka mulut.

You’ll die faster if you eat all that sugar.” Arthur membuang muka saat suapan ketujuh melayang ke mulutnya.

Jeon hanya mengendikkan bahu, melahap sendiri potongan eskrim itu. “Mati muda bagus juga, tidak perlu tunggu aku keriput. Tidak perlu krim malam dan perawatan, I will be free,” katanya meski dengan nada murung. Lalu cepat sekali suaranya berubah tinggi, antusias, dengan senyum lebar dibuat-buat sampai Arthur gatal sekali ingin mengusap wajah anak itu saking gemasnya.

Unleeeess!” katanya sambil buru-buru berlutut di atas sofa. Kecualiii. “Master Wayne memohon padaku, ‘Kumohon tetap hidup untukku, Jeon, kumohon’ maka aku berhenti makan manis-manis  dan makan semua-semua yang mempersingkat usiaku. Bagaimana, Master Wayne? Kau mau coba selamatkan nyawaku?”

“Istirahat di kamarmu.” Bruce menjawab datar, pria itu berkeliling mengeceki sesuatu di mesin mobilnya tanpa mempedulikan Jeon sedikitpun. Responnya membuat Jeon memberengut dan duduk lagi.

“Aku suka disini, aku mau disini. Disini bisa melihat wajahmu, di kamar tidak bisa.”

Satu hal juga yang berubah sejak insiden lampu, Jeon Jungkook makin berani berkomentar. Kalau sebelumnya bagai dinding menghalangi suara dan pendapatnya atas dasar ketakutan bahwa Bruce akan mengusirnya pergi lagi, kini, Bruce tidak punya pilihan itu. Tidak selama bayi alien ini masih jadi parasit di tubuhnya. Bukan karena tidak tega, Bruce membutuhkannya disini demi urusan penelitian.

Nice try, kid.”  Arthur mendengus, “Too bad, he doesn’t care,” tampangnya amat mengejek saat Jeon menatap padanya. Sampai anak itu kesal dan menimpuk Arthur dengan sendok eskrimnya.

Betapa hari berjalan dengan ceria. Bruce mengusirnya hanya dua kali dalam sehari dan tidak bersikeras menghindarinya lagi.

Sampai suatu pagi, tujuh hari sejak awal kecelakaan ini, bencana besar terjadi.

Bangun tidur dengan sekujur tubuh pegal bukan main? Jeon sudah terbiasa. Apalagi bila ia bermain dengan dua pria di malam sebelumnya. Tapi pagi itu, ia bangun dengan pegal di sekujur tubuh dan perut bengkak menyamai separuh diameter globe.

Jeon memekik bagai bison di musim kawin.

What? What? What the fuck? What? The fucking fuck what?”  anak itu memekik, gemetar, tangannya mengatup terbuka, seakan-akan bermaksud menyentuh perut buncitnya namun terlalu ketakutan. Kancing piyamanya bertarikan, dipaksa meregang memberi ruang lebih dari semestinya, dan Jeon bisa melihat pucat warna kulitnya tampak diantara kaitan kancing itu.

KAU TIDAK MEMBANGUNKAN AKU, ARTHUR!”

“Percayalah, aku mencoba.”

Arthur berdiri di pintu, pria itu lari buru-buru saat mendengar jeritan Jeon pagi itu. Di tangannya masih tergenggam kapak, yang sedetik lalu digunakannya untuk berlatih di belakang Wayne Manor. Arthur juga yang membangunkan Alfred dan Wayne lima jam lalu dan bersikeras melakukan scan dadakan pada anak itu.

Scan yang baru, menunjukkan usia bayi itu menginjak minggu ke 24. Jeon ternganga, hampir menimpuk Barry dengan mesin USG karena berani memberi selamat  padanya… yang telah resmi menginjak trimester ketiga.

Dalam hitungan jam.

DIA BARU SEBESAR BIJI POLONG 12 JAM YANG LALU!”

“Biji polong itu bukan dari bumi, nak. Apa yang kau harapkan?”

.

.

.

.

Mood Jeon berubah total sejak saat perutnya tidak bisa lagi disembunyikan di balik kemeja dan sweater kedodoran. Ia banyak menghabiskan waktunya di kamar, menghindari orang-orang, menumpuk banyak makanan dan makan sendirian. Tingkahnya itu berlangsung dua hari berturut-turut.

C’mon. Kau tidak bosan disini?” Arthur mencoba merayunya keluar, yang selalu diusir dari balik selimut karena Jeon terlalu malu menunjukkan dirinya.

Leave me alone.”

Arthur tidak langsung pergi. Bisa didengarnya Jeon bergumam dari balik selimutnya, suaranya bergetar membisikkan “I’m fat I’m fat I’m fat I’m fat.”

“You’re pregnant.”

“FUCK YOU.

Katakan ini mood swing, karena sehari setelahnya. Jeon keluar dari kamarnya, masih membalut diri dalam selimut bulunya, dan bergabung lagi ke ruang kerja Wayne.

Wajahnya agak pucat dan anak itu tampaknya sudah tidak peduli lagi untuk mengaplikasikan pemerah bibir apapun. Ada kantung hitam gelap bergantung di bawah matanya. Tidak ada yang ingin mengganggunya, karena teguran kecil mungkin akan menyinggung anak itu yang kini sedang dalam mood dan emosi menggebu-gebu.

“Aku di ruang sebelah.” Arthur hanya mengatakan itu padanya, sambil lalu seakan penting sekali memberitahu Jungkook kemana pria itu akan menghabiskan waktu. Jeon hanya mengangguk-angguk. Anak itu tidak lekang menatap Bruce yang duduk di depan meja kerja, sibuk mencorat-coret sesuatu.

Master Wayne,” panggilnya.

Bruce hanya meliriknya.

“Apa sudah ada jawaban? Kapan kalian bisa keluarkan makhluk ini?”

“Diana belum temukan jalan keluar apapun.”

“Akan sampai kapan kira-kira?”

She’s on it. Give it time.”

Jeon mendesah, membenahi selimutnya berusaha menyamankan diri di atas sofa. Tapi tidak ada satu pun posisi memberinya kenyamanan. Dan melihat Bruce disana duduk tanpa berusaha mengusirnya, membuat ego dalam diri Jeon merangkak pelan-pelan. Setelah berembuk dalam hati, Jeon memutuskan untuk bangun, menyeret kursi, dan duduk dengan jarak setengah meter saja dari Bruce Wayne. Pria itu bahkan tidak meliriknya sama sekali.

Jeon tidak ingin langsung diusir. Jadi dengan sabar ditungguinya, ditatapnya Wayne, ditatapnya kertas-kertas di meja dengan bosan, lalu anak itu menyandarkan kepalanya ke meja. Berbantalkan lengan, mendesah kelelahan.

“Apa kau tidur saat malam? Aku tidak pernah melihatmu tidur, Master Wayne. Kau butuh istirahat.”

Tidak ada jawaban.

“Aku suka tidur. Karena tidur membuatku melihatmu, apalagi saat masa-masa kuliah di Dublin dulu. Empat tahun waktu yang berat, Master Wayne. Boleh tolong unblock kontak WhatsAppku?”

“Pergi ke kamarmu.”

Itu pengusiran pertama. Tapi Jeon masih punya dua kesempatan tersisa dan akan digunakannya baik-baik.

I miss you so much.”

Bruce menghantam pena yang digenggamnya ke meja. Pria itu menghela napas dalam-dalam sebelum menatapnya tajam, tanpa berkata-kata, itu caranya meminta Jeon pergi.

“Oke, aku diam, aku diam,” katanya sambil menepuk-nepuk mulutnya sendiri. “Diam Jeon Jungkook, diam, jangan banyak permintaan.”

Sepuluh menit berlalu, begitu hening dengan hanya mereka berdua duduk di ruang besar itu.

Sampai Jeon Jungkook melihat foto berbingkai dekat dari tangan Bruce. Potret Bruce muda memeluk seekor german shepherd dan tersenyum ke arah kamera membuat Jeon tersenyum juga. “Aku rindu Fletcher,” katanya pelan, mata menatap jauh, mengenang anjing yang tumbuh bersamanya dan Bruce.

“Kau punya banyak waktu untukku dan Fletcher dulu. Lima jam tiap hari cuma untuk sesi dongeng dan lempar bola di taman belakang, lima jam waktumu tiap hari untuk kami,” katanya sambil tertawa. Antusias sendiri meski Bruce tidak meladeninya. Jeon tidak sadar gerak jari Bruce berhenti sejak ia bicara lagi. Pena itu masih menekan kertas, begitu kuat hingga tinta menembus meja.

“Kau punya dua anjing waktu itu, kau sadar, Master Wanye? Aku harus berebut dengan Fletcher untuk membawa bola kembali padamu,” Jeon mendengus. “Dan kau masih punya satu anjing sekarang. Tidak mau main lempar bola lagi denganku, Master Wayne?”

Jeon harus menyela ucapannya sendiri meski ada ratusan ledakan emosinya hendak diluapkan. Kerongkongannya tercekat, andai suara lain dipaksa keluar buru-buru, suara itu pasti bercampur isak tangis. Jeon menghela napas tajam, menahan panas di mata dan hidungnya.

“Apa tidak bisa kita pura-pura malam itu tidak terjadi, Master Wayne? Kita coba dari awal lagi? Sampai aku bisa sama seperti Greyson dan Talia?” Jeon mengulurkan tangannya, bermaksud meraih lengan Bruce saat pria itu bergerak lebih cepat. Menampiknya tanpa menahan tenaga.

“Keluar.”

Sakit di tangannya tidak datang dengan segera. Jeon menyadarinya lewat dua detik, panas di telapak tangannya dan sisa memar membekas disana. Anak itu masih harus merenung untuk menelan usiran Bruce langsung. Ia masih menatap tangannya, dingin gemetaran.

Keluar!”  Bruce berdiri, besar di hadapannya. Menatapnya dengan emosi yang belum pernah tampak di wajahnya. Jeon mengatup mulutnya, ketakutan melihat Bruce yang bukan Wayne membungkuk menatapnya dengan mata nyalang.

“M-master—”

“Aku tidak mau melihat wajahmu, fuck off.”

Bruce memberi aba-aba akan melayangkan sesuatu ke arahnya, dan itu membuat Jeon mundur ketakutan. Terentak dari kursinya nyaris jatuh terduduk di lantai. Anak itu melangkah mundur gemetaran, memegangi tangan, menatap Bruce dengan mata basah dan panas. Belum pernah ia melihat Bruce melihat siapapun dengan tatapan penuh kebencian macam itu. Belum pernah ia mendengar Bruce mengutuk seseorang dengan cara sekasar itu. Pria ini Bruce Wayne, Bruce Wayne tidak mengumpat.

Atau itu hanya dilakukan padanya? Jeon Jungkook pengecualian?

Tersedak Jeon saat berusaha bicara, lalu ia sadar usahanya pasti sia-sia. Anak itu berbalik dan berlari keluar, membanting pintu di belakangnya.

.

.

.

.

Arthur mendengar. Pria itu sudah bermaksud ikut campur seandainya Bruce bermaksud melukai Jeon Jungkook. Namun begitu melihat Jeon berlari pergi dari Tower Miriam, Arthur memutuskan untuk mengejar anak itu ketimbang menghajar Bruce.

Ditemukannya Jeon mengendap lagi di dalam kamar mandi. Bayangan darah dan pisau seminggu lalu berkelebat dalam benaknya. Dan dilihatnya pintu itu tidak benar-benar terkunci. Saat Arthur membuka pintu pelan-pelan, Jeon tengah duduk di sisi toilet, menahan-nahan suara tangisnya tapi airmatanya berderai bagai hujan. Menetes begitu deras membasahi wajahnya yang pucat.

Arthur membungkuk, berusaha menyelip seerat mungkin di ruang sesempit itu. Tangan Jeon gemetar saat menerimanya. Arthur menarik anak itu keluar dari sela-sela toilet, dipeluknya pelan-pelan, tidak ingin terburu-buru.

Let it go,”  katanya sambil mengusap-usap punggung Jeon, “Let it go, kid. Or you want me to sing Frozen’s song for you? Elsa’s style? With the dress and all?”

Tangis Jungkook malah pecah setelah itu.

This thing might kill me,” Anak itu tersedu-sedu di sisi toilet, tangannya gemetar meremas erat pakaian depan Arthur. “Let it be.”

Kening Arthur berkerut mendengarnya.

Please let it be, Arthur.

“Kau sungguhan ingin jadi aktris di Alien vs Predator? In real life, kid?

Jungkook tersedak, hampir tertawa. Tapi kini airmata dan tangisnya bercampur seulas senyum terpaksa.

“Diam. Jangan bercanda. Aku sedang merana.”

C’mon. Pakai jaketku, cukup jadi mantelmu sampai ke lutut. Dan cukup hangat juga.” Arthur memapah anak itu untuk berdiri, dan dipapahnya juga Jeon untuk mengenakan jaket denimnya yang besar sekali.

“Kemana?”

“Rumahku. Dekat laut, kau butuh udara segar. Ingin lihat aku bicara dengan ikan, kan?”

Stopid.” Jungkook mendengus, kesulitan menahan tawa dengan airmata menggenang dan ingus menghimpit hidungnya. Jeon memeluk tubuhnya dalam balutan jaket besar Arthur yang pekat beraroma pria itu. Tapi pasrah sekali anak itu membiarkan Arthur menggiringnya keluar dari sana.

.

.

.

.

.

Anu

Gini

Sebenernya aku niat ga bikin ArtKoo berlayar.

Supaya Arthur jadi buatku aja, WAHAHAHAHA

Arthur buat aku, yang ini dikasih om Bruce aja biar nangis terus:

Arthur buat aku, yang ini dikasih om Bruce aja biar nangis terus:

Arthur buat aku, yang ini dikasih om Bruce aja biar nangis terus:

Reviews

  1. AuPembaca

    Arthur jaga terus ya si Gguk 😭😭 kasian bener ya ampun. Bruce awas aja lu ya karma menunggu, dahlah si Jungkook sama Kentang atau Arthur aja, emoh sama si manusia kelelawar ʕง•ᴥ•ʔง

Add a review
Beranda
Cari
Bayar
Order