9. Play Pretend

“Katanya kau jelek. Sungguh jelek sekali. Jelek minta ampun. Ya, Tuhan, cepat buang muka, karena mukamu jelek sekali mereka tidak kuat melihatnya.”

Author: Miinalee

9Gotham dan Maine tidak dekat, dan berkendara dengan pick up tua Arthur membuat Jeon tiga kali memaksa pria itu berhenti di pinggir jalan supaya ia bisa memuntahkan isi perutnya.

“Lewat laut lebih cepat.” Laki-laki itu akan mengingatkannya, setengah mengejek. Jeon akan mendelik padanya seakan-akan memaparkan fakta hanya lewat tatapan mata dan raut jengkelnya.

“Ya. Lewat laut. Dengan apa? Kapal penumpang? Kapal pengangkut ikan? Kau senang kalau aku dipelototi orang yang menudingku hanya lewat delikan, soal apa yang baru saja kumakan? Siapa yang kirim santet padaku? Atau tumor jenis apa yang kuderita? Berapa lama lagi aku hidup di dunia?”

“Dengan wajah ini dan rambut semengilap itu? Kau bisa gandeng tanganku dan kita pura-pura jadi suami-istri. Tidak akan ada yang melirik. Kau bilang suka roleplay, kan? Anggap ini tantangan baru, level baru.”

Jeon mendengus, terlalu gengsi untuk tertawa terang-terangan. “Tolol,” umpatnya.

“Kau ngotot ini bayimu juga, kan? Jadi papah aku, Arthur. Aku tidak kuat jalan.”

“Kalau kupapah, itu jadi bayiku? Jangan kau tawarkan lagi pada Bruce, deal?

“Cepat!”

Setelah tiga jam perjalanan penuh perdebatan, muntahan Jeon di pinggir jalan, dan suara radio rusak, akhirnya mereka sampai di tujuan.

Jeon berkacak pinggang, mendongak menatap bangunan di hadapannya dengan tampang menelisik, menilai. Tidak akan dikatakannya langsung dan terang-terangan bahwa ia terkesan. Dua puluh tiga tahun hidup dengan uang Wayne, belum pernah Jeon memijakkan kaki di tempat seperti ini. Rumah yang sungguhan terasa seperti rumah. Bukan mansion besar Wayne dengan kamar-kamar kosong dan hanya suara detang jam mengisi ruangan.

Rumah ini mengingatkannya pada film-film lama di layar hitam putih dengan tampilan keluarga harmonis, anjing dan anak-anak berlarian, dan jemuran basah di sisi rumah. Memang tidak terlontar dari bibirnya, tapi lebar sekali senyumnya mengembang.

“Ini seperti rumah di Conjuring.”

Hey!” 

“Tapi ada laut dan lighthouse. Itu jadi nilai plus.”

Jeon dibuat lebih terkesima saat pemuda itu memijakkan kaki di dalam rumah. Kalau sebelumnya ia masih sanggup mengatup mulutnya sambil mengejek, saat masuk ke dalam sana, pemuda itu menatap sekelilingnya dengan mata berbinar dan mulut terbuka.

“Aku pernah mimpi indah,” katanya tiba-tiba.

Arthur baru datang dari dapur membawa secangkir teh hangat untuknya. “Soal apa, my dick?”

You fuck. Aku sedang nostalgia, Arthur!”

“Nostalgia mengenang kenyataan, bukan mimpi.”

“Sssss! Diam! Diam, ya. Diam.” Jeon menghentak jengkel, tahu-tahu duduk di sisi Arthur demi mengatup bibir pria itu.

“Kalau ini soal Bruce, lebih baik—”

Jeon langsung memotong dan bicara cepat-cepat, “—Aku pernah mimpi hidup berdua dengan Bruce di rumah seperti ini. Dia membalas perasaanku, aku tambah cinta padanya. Siang-malam-pagi-sore hari kami habiskan bersama di ranjang.”

Arthur mendengus. Heran setengah mati. Beberapa jam yang lalu anak ini menangis karena Bruce, dan sekarang Jeon menatapnya dengan binar mata berkilat penuh antusiasme tiap kali nama Bruce terucap dari bibirnya.

I fucking told you I dont want to hear it.”

“Kau cemburu, Arthur? Sudah kubilang kita cuma teman ranjang.

I’m not. But it’s disgusting. Dan menurutmu apa alasan utama kau kuajak kemari? Kau mau lihat ranjangku sekarang?”

Jeon mendengus, baru akan meneguk teh hangatnya. Hampir saja cairan manis itu terhirup lewat hidungnya. Lalu dengan anggunnya Jeon meletakkan cangkir itu ke atas meja, dilipatnya kaki, dan dihaluskannya suara.

“Ok. Aku tamu. Jadi bawa aku keliling, Mr. Curry.”

.

.

.

.

.

Hari pertama itu, meskipun Arthur membawanya berkeliling rumah dan terutama menunjukkan ranjang beralaskan selimut rajut di lantai dua, mereka tidak benar-benar berakhir bergumul disana. Itu cuma tingkah Jeon dan bibirnya yang tidak punya pagar, tapi kenyataan yang terjadi Jeon bahkan tidak sanggup melangkah naik tangga dengan kakinya sendiri. Arthur harus membantunya dengan memapahnya. Karena Jeon terlalu malu untuk digendong.

Dan Arthur tuan rumah yang ramah, kalau itu cukup menggambarkan sikapnya yang rajin mengecek Jeon tiap sepuluh menit sekali, membawakan selimut atau menepuk-nepuk lutut Jeon. Sungguh mengherankan mengingat pria ini lebih senang diam, menggerutu, atau menghakimi orang lain dengan tatapannya. Tapi disini berdua saja, Arthur bukan Arthur yang dikenalnya di Mansion Wayne. Pria ini jadi banyak bicara saat mereka hanya berdua, dan senyum di wajahnya jadi lebih murah dilempar kemana-mana. Jeon yang baru hari pertama menghabiskan waktu di rumah itu dibuat terheran-heran, ditatapnya Arthur dengan dahi mengerut sambil mengunyah manisannya.

“Apa kerjamu sebenarnya?”

“Serabutan. Tapi cukup untuk hidup. Aku bukan Wayne, nak. Yang dalam tidur pun uangnya tetap beranak-pinak.”

“Berhenti memanggilku ‘nak’ Arthur,” Jeon mengernyit jijik. “Geli sekali membayangkan penismu pernah masuk ke tubuhku dan kau tetap memanggilku ‘nak’-‘nak’.”

Ya? Lalu harus kupanggil apa, Jeon Jungkook?”

“Coba ‘darling’.” 

Arthur tertawa, suara pria itu menggelegar sampai Jeon melihat air dalam aquarium berisi ikan emas di sisinya ikut bergetar.

Tangan kanan pria itu kotor oleh tanah dan masih menggenggam kapak. Tapi tangan kirinya bersih, yang digunakannya untuk mengucek rambut Jeon sambil lalu ke arah dapur. “Ini target roleplay-mu yang lain? Biar kutebak. Kau mimpi melakukannya dengan Bruce, yea?

Jeon hanya menggerutu.

“Kau yang bilang kita sedang main husband and wife. Menjengkelkan.

Tawa Arthur masih tersambung, dapur ke ruang tamunya—yang berfungsi sekaligus jadi ruang TV. Pria itu menunduk menatapnya dari belakang sofa. Jeon tengah mengunyah manisan dan beragam camilan yang terhampar di atas meja. Mulutnya penuh, sibuk sekali anak itu mengunyah. Tidak sempat disambutnya saat sekonyong-konyong Arthur membungkuk dan mengecup keningnya, lalu berkata.

“Ok. Wifey.”

Dan pria itu berlalu, begitu santai keluar lewat pintu belakang. Kripik di tangan Jeon berhenti tepat di depan mulut, anak itu termangu sebentar, mencerna kejadian barusan. Bungkusan keripik di atas perutnya nyaris tumpah jungkir balik saat Jeon terentak bangun dan menatap pintu, ke arah Arthur keluar. Siluet besar bayangan pria itu tampak dari jendela, mengayun kapak ke atas kayu.

Arthur dalam balutan jaket kulit dan kerah berbulu itu, rambut digelung di atas kepalanya, dan serius sekali membelah kayu satu demi satu… tampak amat… nyaman. Seperti rumah. Seperti penampakan yang diharapkannya saat ia pulang.

Fuck you,” umpatnya sambil berbaring lagi di sofa dan menonton Tom and Jerry di TV.

.

.

.

Jeon terduduk di lantai, tampak nyaman dalam balutan sweater besar milik Arthur. Perut besarnya juga ikut tersamar sedikit, meski tiap ia bergerak ke belakang atau ke samping, buncit di perutnya akan menyembul lebih jelas lagi. Tapi pemuda itu mulai terbiasa, malahan tanpa disadarinya, tangannya kerap mengatup di depan perut. Hal itu juga lebih sering dilakukannya saat ia dalam keadaan senang, saat tertawa, atau saat sedang ingin mengejek Arthur. Arthur memperhatikan, tapi tidak berkomentar.

“Kau yang mengajakku kemari, Arthur. Sekarang tanggung jawab. Aku bosan.”

“Kau punya ponselmu dan aku tidak melarangmu untuk pulang.”

“Cepat mulai, Arthur!”

Hari ketiga, Jeon sudah berkali-kali berdusta. Ia tidak bosan di tempat ini, malahan kalau bisa ingin sekali diundangnya  Bruce dan kawan-kawan. Agar makin ramai tempat ini. Tapi Jeon mulai menuntut hal lain saat ia sadar 4 jam dalam sehari digunakan Arthur untuk hal lain dan selama 4 jam itu juga pria itu mengabaikannya. Jeon tidak menyukainya. Jadi pagi tadi saat Arthur membawanya serta ke kota terdekat untuk belanja, Jeon memboyong sekotak Uno Stacko.

Arthur tentu saja tidak tahu benda apa itu.

Hingga Jeon menyusunnya tinggi dan memaksanya ikut bermain.

Ada aturan warna, ada aturan angka, ada aturan tambahan dengan simbol-simbol aneh. Arthur menggaruk kepalanya berkali-kali. Satu waktu pria itu menjenggut rambutnya sendiri. Sudah dua kali ia menghancurkan susunan Uno Stacko itu, sekali karena lupa aturan dan sekali karena telunjuknya kelewat raksasa.

Jadi saat untuk ketiga kalinya… Arthur mencoba menarik satu balok di tengah namun terhalang oleh jari-jarinya yang kelewat besar…

Suara hantaman puluhan balok berserakan memenuhi ruangan. Itu saja sudah cukup menjengkelkan. Dan masih harus ditambah lagi dengan tawa melengking Jeon. Anak itu hampir berguling di lantai demi menertawai Arthur dengan segenap jiwanya, dipeluknya perut sambil berguling ke kanan ke kiri, lalu ditunjuk-tunjuknya wajah Arthur.

“Harusnya kita pasang taruhan! Aku pasti kaya mendadak!”

“Itu game terakhir. Aku tidak mau lagi.”

“Ha! Arthur Curry ngambek padakuuu?”

Shuddup.”

“Ayolah, Arthur. Sekali lagi.”

“Pakai jaketmu, kuajak ke tempat yang lebih seru. Susun sedikit rambutmu, ke depan.”

“Kau mau aku pura-pura jadi wanita lagi, hm? Seperti pagi tadi di James Hills?”

“Pilihanmu. Atau lebih senang pakai plan B? Tumor dan gangguan ginjal?”

Fuck.”  Jeon mengumpat pelan. Tapi tetap dikenakannya jaket Arthur tinggi hingga menutupi jakunnya. Dibawanya rambutnya ke depan, menutupi sedikit tulang pipi dan rahang yang tampak terlalu kokoh di wajah seorang wanita.

Kalau aku memutuskan tempatmu ini tidak seru, kau bertaruh 20 dollar padaku.”

“Tidak ada taruhan kalau cuma sepihak.”

Ternyata mereka harus ke tempat itu dengan berjalan kaki. Arthur mengatakan bahwa jalannya tidak akan bisa dilewati dengan kendaraan. Jeon tersengal demi mengimbangi melangkah Arthur, yang sudah amat pelan karena juga berusaha mengimbangi langkahnya.

“Kau yakin tidak ingin kugendong?”

Norrrhh!” Jeon berjuang, jalan secepat yang ia mampu menanjak dataran berbatu di bawah kakinya.

Tempat itu dingin dan berangin, sebab bila tidak, Jeon pasti sudah basah bersimba keringat. Hal terakhir yang diinginkannya berpapasan dengan warga lokal, dan hal terakhir justru selalu terjadi di luar harapannya.

Dua orang pria paruh baya berjalan dari arah depan, sudah tersenyum begitu lebar pada Arthur dari jarak lima meter dan tidak mungkin lagi menghindari mereka. Saat dekat dan nyaris berpapasan, pria itu berhenti untuk menyapa Arthur. Habis itu, matanya terpaut pada Jeon.

She is with child?”

Jeon hanya tersenyum masam. Sebisanya tampak ramah meski tidak ingin.

“Yea. My child.”

Suara berat Arthur dan tangan besar pria itu merangkulnya protektif, membuat Jeon bersandar lebih erat lagi dan makin merasa wajib mengikuti sandiwara ini.

Hi,” katanya halus.

Congratulations, Arthur! And miss.”

Setelah dua orang itu cukup jauh, Jeon memberi jarak dari Arthur. Pemuda itu mencemooh dan suara berat khas prianya keluar lagi.

“And miss!” katanya dengan bibir mencibir.

Arthur membawanya ke pantai berkarang. Tidak ada pasir di sekelilingnya. Indah, tapi tetap saja Jeon heran.

“Aku bisa lihat tempat ini dari lighthousemu.”

You bet.” Arthur mendengus. Pria itu menggiringnya ke salah satu karang datar. Menyuruhnya duduk disana dengan kaki berayun ke bawah.

“Kau mau membunuhku disini? Diam-diam kau serial killer, ya?” Jeon melongok ke bawah. Dua meter di bawah kakinya adalah laut lepas. Karang yang didudukinya condong ke dalam, sehingga apa yang dilihatnya di bawah sana hanyalah laut dalam. Pemuda itu mengerutkan keningnya, membayangkan berapa jauh dasar air yang sedang ditatapnya itu. Pasti amat dalam, karena Jeon hanya bisa melihat perairan sewarna biru pekat.

“Kau berkenan basah-basahan?”

No.” Jeon langsung menjawab. Menatap Arthur sambil bergeleng-geleng dan tersenyum jijik. Air kolam jelas beda dengan air garam di lautan lepas begini. Dan walau sering lupa, saat duduk begini, Jeon melihat jelas buncit di perutnya, jadi. “No no no no.”

“Tidak bahkan bila mereka yang minta?”

Jeon berpaling cepat-cepat, menunduk ke bawah langsung terkesiap.

Damn it.”

Sekawanan lumba-lumba tengah menatapnya, menampakkan wajah dan moncong mereka keluar dari permukaan air. Moncong dengan gigi-gigi mungil bergerigi itu mengatup dan terbuka. Dan ada suara-suara nyaring keluar dari sana. Jeon tidak memahaminya, tapi mendengar itu membuatnya tertawa entah untuk alasan apa.

“Kau mau basah-basahan sekarang?”

“Aku tidak pandai berenang. Awas kalau kau lepas aku.”

“Jadi artinya ‘mau’?”

Jeon hanya mencubit perut Arthur, yang tentu saja, gagal.

Mereka sama-sama membuka sweater. Arthur bertelanjang dada sementara Jeon hanya mengenakan kausnya. Perut besarnya mengecap jelas dan transparan.

Pria itu terjun lebih dulu. Tangannya terentang terbuka, menyambut Jeon yang pelan sekali beringsut turun dan langsung memeluknya. Pemuda itu sempat gemetaran, takut merasakan kakinya melayang tanpa menyentuh dasar. Tapi Arthur memeganginya di bawah ketiak, sehingga Jeon tetap berada di permukaan dari dada naik ke kepala.

“Oke. Aku tidak akan bisa lama di sini, perutku pasti kelu dalam hitungan detik. Suruh mereka kemari, aku mau usap kepalanya. Jesus Crrrissst.” Jeon tidak bisa lagi menyembunyikan antusiasnya, kakinya berayun-ayun senang di dalam air, tingkahnya membuat Arthur tertawa juga. Jeon pernah menonton karnival dengan lumba-lumba sebagai bintang utama. Tapi melihat lumba-lumba liar langsung di laut begini?

Ini pengalaman pertamanya dan pasti tidak banyak orang akan punya kesempatan yang sama.

“Suruh mereka kemari Arthuuurr.”

“Mereka tidak mau.”

“HAH? JADI UNTUK APA AKU BASAH-BASAHAN BEGINI?!” Jeon memekik marah. “DASAR GILA. CEPAT BAWA AKU NAIK.”

Arthur tertawa, diiringi pekikan lumba-lumba dan suara deburan ombak tidak jauh dari mereka.

“Katanya kau jelek. Sungguh jelek sekali. Jelek minta ampun. Ya, Tuhan, cepat buang muka, karena mukamu jelek sekali mereka tidak kuat melihatnya.”

“Jangan bercanda, Arthur.”

“Kau sungguhan bilang begitu? Kupikir kita teman baru?” Jeon nyaris berkaca-kaca saat ditatapnya satu demi satu mata lumba-lumba itu. Ada sekitar 6 ekor? Tidak, delapan ekor. Menjaga jarak sejauh dua meter darinya.

“Maju sedikit kalau kau ingin berunding. Katanya, opini barusan masih bisa dinego. Matanya mungkin salah lihat, bisa jadi. Tapi dia minta bayaran.”

“Kau mempermainkan aku.”

“Lihat tampangnya? Lihat betapa seriusnya dia?”

Jeon menatap bergantian, ke wajah Arthur dan kawanan lumba-lumba itu. Betapa menjengkelkan sekaligus menggelikan melihat makhluk-makhluk itu mengangguk-angguk seakan mendukung ucapan Arthur.

“Oke… Dia minta apa?”

Cium dulu.”

Hah?”

See?”

Jeon menatap lagi, dan tidak bisa mengingkari melihat betapa meyakinkannya ekspresi makluk-makluk itu. Ia juga tidak menyangka dirinya akan mengalah pada sekawanan ikan. Tapi lihat, betapa lucu mereka dan betapa kesempatan ini tidak akan terjadi dua kali.

Alright.” katanya mengalah.

Tambah lagi rekor ciuman pertamanya. Setelah dengan manusia, manusia setengah ikan, kini Jeon merasakan mencium ujung moncong ikan sungguhan. Licin dan geli. Jeon tidak mengusap mulutnya setelah lumba-lumba kedelapan dapat giliran. Pemuda itu malah tertawa, senang bisa mengusap-usap kepala licin mereka.

“Apa mereka sudah berubah pikiran?” Jeon menatap Arthur penuh harap. Tiba-tiba mata pemuda itu dua kali jadi lebih bulat.

“Ya. Tapi rahasia. Mereka tidak mau aku mengatakannya disini sekarang. Malu, katanya.

UNFAIRRR.”

“I’m your transcriber, mam. No kiss for me?” 

“Narh!”

Oke, kuanggap kau bisa naik sendiri.”

“Oke! Oke! Oke, Arthur, oke!” Jeon berseru panik saat Arthur melepaskannya di sana, di atas laut, memberi ancang-ancang akan bangun tanpa membawanya.

Setengah ketakutan anak itu melingkarkan kakinya di pinggang Arthur, dan dipeluknya leher pria itu. Tapi ada perut Jeon sebagai penghalang, jadi Arthur harus mengalah dengan membungkuk dalam-dalam.

Dan bibir mereka bertemu. Pelan dan singkat pada awalnya, sampai Arthur menahan tengkuk Jeon dan mendorong anak itu ke arahnya, memaksakan ciuman lain yang lebih dalam dan lebih lama.

Suara nyaring lumba-lumba terdengar bagai siulan menggoda yang saling bersusulan. Jeon harus menjambak rambut Arthur agar pria itu berhenti menyesap bibirnya. Pemuda itu kehabisan napas dan kedinginan. Arthur harus mengalah lagi. Waktunya pulang.

.

.

.

.

.

Inget aku gambarin adek blonde disini? Dan gambar ini akkkkkkk ga bisa move onnnnn

Inget aku gambarin adek blonde disini? Dan gambar ini akkkkkkk ga bisa move onnnnn

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “9. Play Pretend”
Beranda
Cari
Bayar
Order