Keesokan harinya seperti biasa Seokjin akan berjalan kaki dari rumahnya menuju toko roti, hari ini adalah hari terakhirnya menjaga toko karena paman dan bibi pulang dari Daegu. Sepanjang jalanan berbukit Seokjin ditemani pemandangan laut desa Hang Po yang biru berkilau di bawah sinar matahari, tampak begitu cerah sewarna langit. Pantai dan laut desa Hang Po selalu dijaga dan dirawat hingga selalu membuatnya tampak bersih, ditambah lagi bulan ini laut begitu tenang bagi para nelayan yang ingin turun ke laut.
Di tengah perjalanan Seokjin melihat sosok yang kemarin membuatnya sebal, siapa lagi kalau bukan laki-laki dari ibu kota dengan kaos dan celana pendek hitam, memakai tas selempang dan sepatu berwarna sama, bergaya sekali manusia di depannya ini, terlihat beda sendiri seperti anak tiri.
“Seokjin!”
Seokjin pura-pura tidak melihat, ia terus berjalan menuju toko roti
“Seokjin hey!” Namjoon mengejar Seokjin yang berjalan cepat menuruni anak tangga
Hahh.. hahh.. hahh
“Hey! Tunggu!” Namjoon berusaha mengatur nafasnya “tungguin aku kenapa sih” Namjoon kesal tapi seketika kesalnya menguap saat melihat betapa cantiknya laki-laki di hadapannya, kerasnya hidup yang seokjin jalani tak menutupi keindahannya, justru menambah kesan berbeda dari penduduk kota yang sering Namjoon temui. Tersadar dari pesona seorang laki-laki desa Namjoon segera menyerahkan kamera Leicanya.
“Tolong fotoin ya, nih kameranya, nanti tekan yang ini terus agak direndahin dikit gini lal— “
Seokjin membuang mukanya malas namun tetap mengambil segera kamera Namjoon dan memotretnya dengan banyak angle. Namjoon melongo melihat foto yang Seokjin hasilkan, sungguh tak terduga.
“Seokjin kok jelek semua hasilnya, kalau ga pinter pakai kamera tu bilang, jangan diem aja dari kemarin” Seokjin mendengus kesal lalu meninggalkan Namjoon yang masih mencak-mencak di belakangnya.
“Masih bagus ditolongin, dasar gatau terima kasih!” Seokjin membatin kesal
Sesampainya di toko roti Seokjin langsung menuju dapur untuk melihat apakah roti harum dan empuk itu sudah siap untuk disusun di rak kaca.
Do Hyun bersandar pada tiang kayu menunggu Seokjin menyusun semua roti dan lalu bertanya apakah pagi ini ia bertemu dengan Namjoon atau tidak karena Namjoon sejak pukul 6 sudah tak di kamarnya. Seokjin hanya mengangguk tanpa penjelasan. Isyarat Seokjin pun begitu dipahami Do Hyun.
“Seokjin..”
“Mm”
“Aku ingin bertanya tapi kau jangan marah ya”
Seokjin hanya menghela nafas dan memberikan isyarat bahwa Do Hyun boleh melanjutkan ucapannya
“Apa kau tidak ingin berbicara dengan Namjoon? Apa kau membiarkannya menganggap mu bisu? Jujur saja aku tak nyaman melihat interaksi kalian berdua.”
Seokjin memejamkan matanya mencerna dan mencari kata-kata yang pas untuk menjawab pertanyaan sahabatnya
“Do Hyun-ahh, biarkan saja Namjoon mau menganggapku apa, dia sama tidak penting bagiku, kau yang paling tahu bagaimana aku selama ini. Aku tak mengenalnya, lagi pula tak ada gunanya membuang tenaga untuk berbicara dengan orang asing. Aku yakin Namjoon tak akan lama, dia hanya ingin bertemu dengan paman dan bibi Kang lalu kembali ke kota”
“Aku tidak tahu apa yang terjadi di masa lalumu, aku meminta maaf untuk itu karena aku seolah tak memahamimu, padahal kita adalah sahabat. Aku pun selama ini juga menunggumu untuk menceritakan bagaimana dulunya kau menjalani hidup dan apa saja yang sudah kau lalui untuk menjadi Seokjin hari ini yang ku kenal.”
“Do Hyun-ahh jangan meminta maaf, aku paham. Aku tahu kalian semua mengkhawatirkanku. Aku sangat berterima kasih dan aku tahu kalian juga tak pernah bertanya kenapa aku tiba-tiba datang dan memilih menetap di Hang Po, meskipun aku tahu kalian sebenarnya penasaran dan sering menduga-duga. Kadang aku bertanya-tanya kenapa kalian bisa begitu baik padaku hingga membuatku sering menangis haru. Karena hati baik semua orang yang ada disini akhirnya aku tahu sebenarnya aku tidak sendiri di tengah gelapnya duniaku.”
“Apapun Seokjin, asal kau nyaman menjalani hidupmu. Yang perlu kau tahu bahwa kami semua di Hang Po sangat menyayangimu dan mendukungmu.”
“Terima kasih Do Hyun-ahh, aku juga menyayangimu sebanyak hasil tangkapan ikan nelayan desa” ucap Seokjin main-main sambil tertawa renyah, senang sekali melihat sahabatnya mendelik geram seperti ingin menguleni bibirnya yang gemuk dan kadang tidak sopan.
“Kau pikir aku haus kasih sayang mu?!” Seokjin terus tertawa dan menepuk-nepuk pundak sahabatnya hingga lonceng kecil di pintu toko berbunyi, oh itu Namjoon. Namjoon yang sebenarnya sudah berdiri sedari tadi memperhatikan interaksi keduanya, ia tahu Seokjin tidak bisu, pita suaranya tidak rusak tapi kenapa dengannya Seokjin hanya menggunakan tulisan atau isyarat?
***
Namjoon menikmati roti isi dagingnya bersama segelas Americano dingin, pikirannya suntuk sekali. Niatnya ke Hang Po hanya ingin melepaskan penat dengan bertemu paman-bibi Kang dan Do Hyun, tapi kenapa saat melihat Seokjin tertawa dan berbicara dengan Do Hyun membuatnya merasa aneh. Seokjin bukan siapa-siapa baginya tapi mampu membuatnya gelisah, terlebih ketika pagi ini ia melihat wajah Seokjin dengan sangat dekat dan jelas.
Mungkin Namjoon hanya lelah dengan hidupnya terutama kisah percintaannya bersama Eun Hye yang tak kunjung menemukan ujung. Keluarga dari kekasihnya yang terus menerus mendesak agar mereka segera mengikrarkan janji setia selamanya. Sungguh Namjoon tak bisa memberikan jawaban pasti, entah kenapa, seolah hidupnya sedang tertahan sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Maka mengunjungi Hang Po adalah jalan satu-satunya untuk kabur dari segala tekanan.
Seokjin melihat wajah kusut Namjoon, sedikit kasian tapi untuk apa mengasiani orang asing, buang-buang waktu saja. Tapi lama-lama wajah raut wajah namjoon terlihat sedih seperti ingin menangis. Sebenarnya beban apa yang sedang menduduki pundak lelaki ibu kota itu. Seokjin melihatnya iba dan tak tega itu pun mencoba memberikan roti gulung kayu manis dan teh chamomile secara cuma-cuma.
“Seokjin” pelannya Namjoon menyebut nama Seokjin sambil mengusap kedua matanya yang memanas
“Makanlah dan minum teh chamomile ini atau harimu akan berakhir semakin buruk karena wajah kusutmu.”
Namjoon membaca secarik kertas yang Seokjin selipkan, tulisan tangannya tidak begitu rapi tapi mampu membuat Namjoon tersenyum, ternyata laki-laki desa ini sedang berusaha menghiburnya dengan ancaman yang sama sekali tidak membuatnya takut. Hati Namjoon hangat, sama hangatnya dengan teh chamomile dan kunyahan roti gulung kayu manis yang empuk.
Ternyata ditengah sesak batinnya Namjoon masih bisa merasakan sedikit kelegaan. Masih ada yang memperhatikannya tanpa memandang siapa dirinya.
***
To Be Continued..
You must be logged in to post a review.
Related Paid Contents
-
🔒 Sugar, Baby – Special Ch
Author: Narkive94 -
🔒 Muscular Hands
Author: _baepsae95 -
🔒 Borahamnida 4 – Two Become One
Author: _baepsae95 -
🔒 Kamu & Aku: Satu
Author: Ipul RS
Reviews
There are no reviews yet.