Dunia diciptakan sebagai satu kesatuan pada masa permulaan. Seperti bagian depan dan belakang kertas origami yang putih, dunia ini hanya memiliki satu warna. Akan diwarnai seperti apa dan bagaimana… Makhluk-makhluk bumi lah yang akan mengaturnya dengan akal yang dianugerahkan oleh Dewa.
Lalu mereka mewarnai kertas itu. Dengan standar mereka, sesuatu yang awalnya tidak berwarna akan diwarnai sesuka hati. Dengan standar rendah akal makhluk yang diciptakan oleh Dewa, napsu dan keserakahan muncul mengotori kertas putih itu. Perang dan pertumpahan darah mengawali pewarnaan dunia. Kurun ribuan generasi berlalu, dunia terpecah oleh beban dan tekanan alam. Memisahkan makhluk bumi satu dengan lainnya menjadi lima tanah besar. Kelompok demi kelompok bermunculan, terbagi menjadi kubu-kubu berdasarkan kesamaan warna yang mereka junjung.
Namun perpecahan itu bukanlah akhir dari perselisihan. Pertempuran dan dendam terus berjalan menjadi warisan turun-temurun.
Hviturland, Tanah Utara yang diselimuti salju abadi menjadi tanah milik ras peri. Ribuan tahun Tanah Putih terus berperang dengan Tanah Hitam –Svarturland, Tanah Timur Laut yang dipenuhi oleh kegelapan, terkubur dalam rimba dan rawa-rawa, terisi oleh gua-gua, gurun, dan gunung berapi yang menjadi rumah bagi monster-monster buruk rupa.
Di barat daya dan menghampar Tanah Hijau. Graentland dipenuhi savanna, hutan, dan tanah-tanah subur yang menjadi rumah bagi siluman-siluman yang hidup saling berdampingan dengan Ras manusia. Blarland menguasai wilayah barat laut, meski kekuasaannya meluas hampir ke beberapa samudra. Blarland menjadi pesisir yang dipenuhi dataran basah, lumpur, danau, sungai, dan lautan yang menjadi rumah bagi siluman dan berbagai makhluk air.
Tanah besar terakhir dan terluas adalah Radourland yang menguasai barat dan memotong khatulistiwa dunia. Iklim tropis hampir terjadi sepanjang tahun dengan curah hujan sedang, tanah ini menjadi rumah yang nyaman bagi siluman-siluman pemakan daging. Radourland dipimpin oleh satu kerajaan besar. Guncangan dan konflik tak pernah lepas dari negara pemangsa ini. Tanpa mementingkan aliansi dengan negara lain, Radourland merasa mampu berdiri sebagai negara penguasa dari kelima negara terbesar di dunia.
.
.
.
.
.
.
Kereta berjalan lambat, menyusuri jalanan berbatu yang begitu panjang dan seolah tak berujung. Setelah melewati sungai, hutan, ladang-ladang Snowelf, dan bukit perbatasan, kereta itu menyisiri padang rumput yang menghampar luas. Sapi dan kerbau berkerumun dimana-mana tanpa seorang pun yang mengembala. Sesekali tampak bangkai-bangkai hewan ternak yang tercabik, membusuk, dan dibiarkan begitu saja.
Jelas sekali kalau kini mereka sudah berada di wilayah negara tetangga.
“Jungkook-sshi, sebentar lagi kita akan sampai di Radourland. Mohon untuk bersiap-siap,” ucap lelaki paruh baya yang tengah mengendarai kereta. Ia berpaling sebentar, melirik tirai hitam yang menutupi pintu kereta sebelum menghela napas. Iba pada nasib Tuan muda-nya.
Begitu tega Raja membuang satu Pangerannya ke Radourland –tanah yang berdarah, dengan hanya diantarkan oleh seorang pengawal lemah seperti dirinya. Terlebih… dengan keadaan sang Pangeran yang— menyedihkan. Ia tidak yakin Pangeran muda ini akan mampu bertahan hidup disini setelah ia meninggalkannya nanti.
Tentu pengawal itu akan segera kembali ke negaranya setelah ia mengantarkan Jungkook. Tapi ia sendiri tidak yakin. Bagaimana mungkin ia berpikir bisa kembali dari tanah ini dalam keadaan hidup? Meskipun Raja sudah menjanjikan keselamatan bagi nyawanya. Tetap saja…
Sekali lagi ia melirik bangkai sapi dengan rusuk hancur di sisi kanan jalan, sebelum menelan ludah. Perjalanan pulangnya tak akan mudah.
.
.
.
.
.
.
“Jungkook-sshi, sebentar lagi kita akan sampai di Greateron. Mohon untuk bersiap-siap,” Pria itu mengulangi kata-katanya. Meskipun suara Junghwan terdengar jelas sampai ke dalam kereta, tidak ada respon, tidak ada jawaban dari pemuda itu. Bahkan tirai di pintu kereta bergerak hanya karena tertiup angin.
Sesaat kemudian, jemari lentik mencuat dari sisi jendela kereta, membukanya perlahan sebelum sepasang mata hitam muncul –mengintip dari dalam. Jungkook –nama pengeran itu— berkedip bingung saat dilihatnya rumput-rumput tumbuh begitu tinggi dan menghampar. Baru kali ini ia melihat tanaman hijau dapat tumbuh luas di sana-sini. Belum lagi terik matahari dan panas yang baru ini dirasakannya, ditambah bau matahari bercampur busuk dan amis yang menyeruak dari luar.
Terasa begitu berbeda. Begitu asing…
Jungkook menutup jendela kereta dengan terburu-buru, direkatkannya erat tirai itu setiap kali angin bertiup. Pemuda belia itu bersandar gugup, menggenggam erat mantelnya seolah seluruh nyawanya bertumpu disana, seakan merasa terjaga dalam balutan mantel tebal yang sesungguhnya menyiksa dalam cuaca sepanas ini. Namun dengan perasaan kokoh, Jungkook menolak kenyataan bahwa roda kereta tidak lagi berputar di atas tanah negerinya.
Jungkook menutup telinganya, memejamkan matanya, dan meringkuk di dalam kereta, menghalau suara angin dan desauan rumput yang bergoyang, menghindar dari terik matahari yang menyusup dari celah-celah jendela, dan menentang kenyataan. Meski kebohongan itu terasa semakin menyesakkan dada, Jungkook tetap menggeleng. Terus meyakinkan dirinya sendiri.
Ini Tanah Putih —tanah yang membeku selamanya.
Karena itu ia harus mengenakan mantelnya dengan rapi, atau eomma akan marah. Cuaca dingin Hviturland tidak pernah cocok untuk tubuhnya yang lemah, karena itu Jungkook selalu menuruti kata-kata sang eomma: tidak menanggalkan mantel kecuali saat ia berada di dalam kamarnya.
Jungkook mengusap deras keringat yang mengalir di keningnya. Wajahnya basah, sekujur tubuhnya berpeluh. Tapi tidak, ini bukan karena panas matahari. Pasti hari ini ia demam lagi, ya, pasti hanya demam.
Namun tanpa terasa, hangat menggenang di pelupuk matanya. Dan sesak itu runtuh, menjadi airmata setetes demi setetes. Dengan mengatup mulut, Jungkook menahan cicit tangisnya. Napasnya tersengal-sengal, dadanya kembali sesak. Diliriknya ke kanan dan ke kiri dengan bingung. Kenapa tidak ada eomma? Padahal ia merasa sakit saat ini…
“E-eomma—” panggil Jungkook setengah mencicit. +
“Eomma!” panggilnya lagi, kali ini sembari menghentakkan kaki, setengah frustasi. Dan tetap, tidak ada yang datang. Hinga dua, tiga, puluhan kali Jungkook memanggil ibunya, tidak seorangpun muncul di hadapannya. Tidak ada sosok cantik yang datang memeluknya seperti biasa setiap kali ia meneriakkan ‘eomma’.
Tidak ada.
Kenyataan itu seakan menamparnya, dan Jungkook terlalu takut untuk menghadapinya. Udara yang dihirupnya pun terasa asing dan menyesakkan dada. Bau yang mengembang di udara menandakan betapa jauh jaraknya dari sang ibu sekarang. Jungkook meringkuk, terpuruk, lalu mati-matian berusaha menyembunyikan tubuhnya ke dalam mantel.
.
.
.
.
.
.
Radourland, Tanah Berdarah—begitu orang menyebutnya. Negeri yang dipenuhi ras siluman pemakan daging dan jauh dari kata damai karena perang kerap terjadi antara ras dan kerajaan demi alasan yang beragam.
Siang itu, di balairung utama kerajaan Tanah Merah, satu suara menggema, menggaung di langit-langit singgasana Greateron.
“Dua puluh empat tahun, Taehyung! Istri dan anakmu sudah meninggal! Terima kenyataan itu!”
Taehyung mendelik. Beraninya sang ayah membawa-bawa masalah itu seolah kematian istri dan putrinya adalah perkara remeh. Tidak berniat menjawab, Taehyung hanya diam. Mengeram kekesalannya dengan bungkam, amarah menyala dari matanya yang menahan emosi. Cukup dengan dengusan, ayahnya pasti tahu kalau ia tidak menyukai perbincangan ini.
Dan benar saja, sang Raja Negeri Merah seolah melunak. Ia menghela napas dan menepuk bahu putra bungsunya, memohon pengertian. Persetan, bahkan kalau ia disuruh bersujud pun, sang Raja rela melakukannya asalkan putranya mau menikah lagi dan menyambung garis penerus kerajaan ini. Apapun, demi mendapatkan cucu laki-laki. Raja Negeri ini rela mekakukan apapun.
“Mengertilah, putraku.” Namjoon mendesah. “Kau tidak bisa menjadi raja sebelum memiliki putra…”
“Aku sudah bilang tidak tertarik pada tahta raja. Tawarkan saja pada menantu-menantumu, Appa…” Taehyung menjawab pelan, ia sudah bosan pada topik ini.
“Sudah kulakukan sejak lama kalau mereka bisa memberiku cucu laki-laki!” umpat Namjoon sembari mendengus. Memang ketujuh anaknya –enam perempuan dan satu laki-laki— sudah menikah dan memberinya belasan cucu. Meski tidak satupun dari mereka berhasil memberinya cucu laki-laki, sampai sekarang. Termasuk Taehyung meskipun putri dan istrinya sudah meninggal dua puluh empat tahun yang lalu. Dan kalaupun keenam putrinya yang lain mampu memberikan cucu laki-laki, Namjoon tetap tidak rela menyerahkan tahta raja pada menantunya –laki-laki yang bukan darah dagingnya.
Seringkali Namjoon bertanya pada dirinya sendiri. Kutukan apa yang diberikan Dewa pada negerinya ini?
“Apa salah kalau seorang Raja mengharapkan putra darah dagingnya sendiri yang menggantikan tahtanya?” lirih Namjoon sedih. Ia terduduk lemas di singgasananya, lalu melempar pandangan kosong ke arah lain, kemanapun asal tidak menatap Taehyung.
Dan sepertinya, hal itu menyurutkan amarah Taehyung. Perlahan simpati dan rasa bersalah muncul dalam hatinya. Mungkin ia memang terlalu keras. Mungkin ia memang memasang benteng yang terlalu tinggi karena masa lalu itu. Mungkin sudah saatnya ia menghancurkan benteng itu.
Taehyung menghela napas.
Sudah saatnya ia memandang ke depan dan berusaha membuka lembaran baru hidupnya lagi. Meski sulit, tidak ada salahnya ia berusaha membahagiakan sang Ayah.
Walau masih dengan nada tidak tertarik, Taehyung berbalik. Wajahnya sudah melembut dan perlahan ia bertanya. “Berapa umurnya? Pangeran Snowelf itu.”
Namjoon melirik putranya, hatinya berbunga-bunga namun sebisa mungkin ia menahan senyum. Taehyung tidak akan menerima perjodohan ini semudah itu, terutama kalau putranya tahu—
“Dua puluh empat.” jawab Namjoon setengah berbisik, sedikit enggan mengatakannya sekarang.
“DUA PULUH EMPAT?” Taehyung berseru kaget.
“Appa sudah gila? Bocah itu seusia dengan putriku!”
“Putrimu sudah tiada, Taehyung…”
“Tetap saja! Apa-apaan ini? Aku menolak perjodohan ini!”
Mendengar itu, Namjoon berdiri, buru-buru menahan putranya sebelum Taehyung pergi. Terakhir kali putra bungsunya merajuk, Taehyung menghilang dua minggu dari istana. Dan Namjoon tidak bisa membiarkan itu, tidak saat tamunya sudah akan datang sebentar lagi.
“Tidak bisa Taehyung. Pangeran Snowelf itu sudah dalam perjalanan, sebentar lagi dia akan sampai. Kau tidak bisa pergi!”
“Appa!” Taehyung mendelik, semakin marah mendengar ucapan ayahnya. Namun sang Raja tampak tidak peduli sama sekali. Ekspresi seriusnya kali ini justru seperti mengancam Taehyung.
“Dia sudah berada disini. Ingat Taehyung, Pangeran itu masih 24 tahun. Secara mental tentu ia masih labil. Dan yang kudengar dari utusan, pemuda itu sakit-sakitan.”
Taehyung terkesiap. Bagaimana mungkin ayahnya menjodohkan seorang Snowelf yang masih sangat muda dan pesakitan dengan dirinya, lalu berharap mendapatkan cucu laki-laki? Taehyung mengerang.
“Mungkin penolakanmu ini bisa membunuhnya. Kudengar Raja Putih berniat menawarkannya pada Svarturland. Pikir dua kali sebelum kau memutuskan untuk bersikap semaumu pada Pangeran itu, Taehyung.” Sang Raja menelan ludah lalu berbisik.
“Kau tau apa yang akan terjadi jika kau sampai membunuhnya, kan?”
Taehyung membeku. Tidak tahu harus menjawab atau merespon seperti apa. Aku harus peduli? Ingin sekali ia berkata demikian.
Seorang pengawal istana masuk dengan terburu-buru, membungkuk hormat pada dirinya dan pada Raja, lalu bersimpuh.
“Yang Mulia, utusan dari Valon, Hviturland sudah datang. Hanya dengan satu kereta dan satu pengawal.”
Namjoon tampak terkejut. Satu kereta dan satu pengawal? Apa Raja Putih sedang bercanda? Atau sepertinya informasi yang dilaporkan mata-matanya benar. Tapi peduli setan. Senyum Namjoon tetap mengembang. Biar saja Pangeran itu menjadi Pangeran buangan dari negerinya, yang penting remaja belia itu bisa memberinya cucu laki-laki. Secepatnya.
Namjoon mengangkat jubah kebesarannya sebelum melangkah keluar, meninggalkan Taehyung yang masih membeku di tempatnya berdiri.
“Biar aku yang menyambutnya.”
.
.
.
.
.
.
.
“Ah! Appa!”
Namjoon mengangguk, karena begitu keluar istana, ia disambut oleh tiga putrinya dan beberapa menantu yang menunggu di luar. Awalnya Raja Merah itu mengira kalau mereka turut tak sabar menanti kedatangan Pangeran Snowelf ini, namun begitu menyadari salah seorang putrinya tengah mengerat kerah mantel pengawal dari Negri Putih itu…
Namjoon melotot. Refleks ia memutar pandangan, mencari keberadaan Pangeran Snowelf itu diantara ramai kerumunan pengawal dan anggota kerajaan. Begitu Namjoon menemukan sang Pangeran tengah berdiri di sisi kereta, wajah pias dan gemetar seolah tak sanggup menopang tubuhnya sendiri untuk berdiri dan mungkin akan limbung kapan saja…
Namjoon mengeram, dalam hati merutuk kebodohan putrinya.
“Appa, orang ini tidak berguna kan? Boleh kumakan?” Eunkyung menyeringai, mengangkat tinggi-tinggi tubuh pengawal itu dengan satu tangan. Lalu diendusnya aroma manis yang terpancar dari tubuh peri salju itu, aroma yang lebih manis dari daging manusia. “Daging Snowelf pasti enak—”
Jungkook melotot, refleks mundur ketakutan namun langkahnya tertahan begitu punggungnya terantuk roda kereta.
“Lepaskan dia, Eunkyung!” sentak Namjoon pada putrinya.
“Appa!”
“Lepaskan!”
“Kalau begitu tangan kirinya saja. Ia bisa pulang hanya dengan tangan kanan, kan?”
“Eunkyung! Tunjukan sedikit hormatmu pada negri yang akan jadi saudara kita!”
Eunkyung melenguh, kecewa sekaligus kesal. Namun alih-alih tetap dilemparnya tubuh malang Junghwan ke tanah.
“Pergilah, katakan pada Rajamu kalau Pangeran Jungkook sudah sampai disini dengan selamat. Kami akan menjaganya seperti putra kerajaan ini.” Namjoon berkata.
Tanpa berpikir dua kali, Junghwan segera bangun. Meski tangannya dingin dan rautnya pucat, terburu-buru ia menaiki kereta. Namun geraknya tertahan, Junghwan tidak sanggup memecut kudanya untuk berjalan saat tangis Jungkook seolah menahannya untuk pergi.
“A-ahjussi! Jangan pergi ahjussi! Aku takut, jangan tinggalkan aku!” Jungkook meratap, panik berusaha menanjak kereta tanpa tangga itu. Dan sialnya, upaya itu selalu gagal, mantelnya yang panjang dan tebal terus saja membuatnya terpeleset. Tubuh Jungkook nyaris jatuh menghantam tanah, kalau saja Namjoon tidak buru-buru menangkapnya, Jungkook pasti sudah tersungkur di halaman istana.
“U-uh!” Merasakan tangan besar merengkuh tubuhnya, Jungkook memberontak panik dan berusaha menjauh dari Namjoon. Meski berkali-kali Raja Merah itu menarik tangannya, menghalangi Jungkook mendekati kereta.
“Pangeranmu aman di kerajaan kami. Cepat pergi pengawal!” titah Namjoon tegas, ia menahan Jungkook sembari berusaha meminimalisir tenaganya agar tidak melukai tubuh itu.
“Ahjussi!”
Junghwan menelan ludah getir. Tidak tega meninggalkan Pangeran bungsu Hviturland itu di kerajaan Serigala ini. Namun apa daya, ini pun sudah menjadi keputusan Raja Putih. Meski ingin, ia tetap tidak punya wewenang dan kekuatan untuk menyelamatkan Jungkook.
“Maafkan aku, Jungkook-sshi,” bisik Junghwan pada dirinya sendiri. Lalu dengan keyakinan penuh, Junghwan menghela napas dan memecut kudanya kuat-kuat. “Heya!”
Jungkook terkesiap, lalu memberontak semakin hebat. “Ahjussi! Ahjussiiii!” Jungkook berteriak, menjerit, panik, apapun yang sanggup dilakukannya untuk memanggil Junghwan kembali. Berkali-kali ia berjuang untuk melepaskan lengannya dari genggaman Namjoon. Namun apa daya, kekuatannya tidak sebanding dengan tubuh Raja Merah yang dua kali lebih besar dari dirinya. Pada akhrinya, pangeran muda itu hanya bisa gemetar, berlutut sembari meratap, kedua tangannya masih ditahan oleh Namjoon meskipun perlahan-lahan Namjoon melepaskannya. Sekarang tidak ada gunanya, kereta Junghwan sudah bergerak jauh lalu menghilang di balik pintu benteng.
“Jangan pergi ahjussi. Jangan pergi. Jangan tinggalkan aku ahjussi. Ahjussi—” Jungkook bersimpuh, tertunduk dan membiarkan debu mengotori wajahnya yang basah oleh airmata. Suara tangisnya serak dan mengecil. Masih tidak percaya pengawal pribadinya benar-benar meninggalkan ia di kerajaan monster ini. Sendirian.
“Eomma…” lirih Jungkook kehabisan suara. Rasanya pemandangan disekitarnya mulai mengabur. Jungkook mati-matian menjaga kesadarannya. Ia mengerat rambutnya sendiri, ketakutan setengah mati. Bagaimana kalau para monster ini memakannya selagi ia tidak sadarkan diri?
“Huh, sepertinya Appa salah memilih calon istri untuk Putra Mahkota,” InYoung mendesis, melirik Jungkook yang masih meratap dengan pandangan sinis. “Bisa apa bocah cengeng yang manja ini? Appa mengharapkan keturunan dari bocah— yang aku yakin pasti masih menyusu pada ibunya..” Lalu InYoung tertawa. Orang-orang ikut tertawa bersamanya, namun tidak dengan Namjoon. Dan tidak dengan sosok yang sejak tadi berdiri di pintu masuk utama tanpa seorangpun menyadari kehadirannya.
“InYoung!” ancam Namjoon sembari mendelik. InYoung terkekeh. Ia memang berhenti bicara, namun bibirnya tetap menyunggingkan senyum melecehkan.
“Kemari, nak. Ayo bangun,” Namjoon membimbing Jungkook untuk berdiri, dan anak itu hanya bergeming sesaat, sebelum menolak pertolongan Namjoon dan bersusah payah berdiri dengan kekuatannya sendiri.
Namjoon hanya tersenyum, tentu sanggup bersabar demi menantu barunya. Demi keturunan laki-laki dalam garis tahtanya. Demi menarik hati Jungkook.
“Lepaskan mantelmu, nak. Bukankah udara disini begitu panas?” Namjoon bermaksud menarik mantel yang dikenakan Jungkook, namun Jungkook buru-buru menampik tangan sang Raja lalu menjauh dengan panik. Melihat tubuh besar Raja, wajah Jungkook makin pucat. Masih jelas dalam bayangannya bagaimana seorang wanita negri ini mengangkat tubuh Junghwan dan berkeinginan untuk menyantap pengawalnya itu.
Namjoon terkekeh, meski dalam hati merasa kecewa bercampur kesal. Baru kali ini ada seseorang yang berani menampiknya. Tetapi dengan lihai, Namjoon menyembunyikan amarahnya. Senyum hangatnya kembali mengembang. “Ayo, tidak perlu takut. Biar Abeoji yang akan menunjukkan kamarmu.”
Jungkook berdiri, menurut meskipun tidak membiarkan Namjoon menyentuhnya. Dan Namjoon membimbing Jungkook berbalik ke arah pintu, menjaga jarak dan berusaha untuk tidak menyentuh punggung kecil itu saat ia bertemu pandang dengan sosok tinggi yang tak lain—
“Oh, Taehyung— Kau tertarik juga, rupanya?”
Taehyung tidak menjawab ayahnya, wajahnya datar. Hanya sekilas ia melirik wajah Pangeran muda itu. Wajah yang bahkan belum bisa dibilang remaja. Dan sialan.
Taehyung mengumpat dalam hati.
Menyesal ia memutuskan untuk keluar, kalau hanya untuk menyaksikan tubuh yang tampak begitu rapuh itu gemetar, mati-matian memberontak dan mengiba untuk tidak ditinggalkan sendiri di tempat asing ini. Kalau tahu begini jadinya, lebih baik Taehyung kembali ke kamarnya dan atau pergi sekalian. Karena ia tidak pernah tahan dengan hal seperti ini. Isak tangis yang masih tersisa dari bibir merah itu seperti menggelitik hati Taehyung, membuatnya tidak tahan berdiri berlama-lama disana. Membuat Taehyung terpaksa mengambil langkah untuk menghindari pemandangan dan suara yang menyayat hati itu.
Namun belum jauh kakinya memijak halaman istana, suara sang ayah menahan langkah Taehyung.
“Kembalilah sebelum senja, Taehyung. Atau dia—”
Lagi— ayahnya akan mengancam lagi. Dan Taehyung tidak berbalik sama sekali, ia sudah meneguhkan hati. Bayang-bayang bayi perempuan yang pernah digendongnya dua puluh empat tahun lalu kembali menggelitik hati Taehyung. Kalau putrinya masih hidup, mungkin ia sudah setinggi dan secantik Pangeran Snowelf itu. Karena itu Taehyung sudah meyakinkan hatinya, kalau memang Pangeran Snowelf itu harus terluka di negri ini, ia sudah bersumpah untuk tidak terlibat.
“Lakukan apa maumu, Appa. Aku tidak peduli,” jawab Taehyung setengah berdusta.
“Oh, kau tidak peduli?” Namjoon tertawa hambar, tawa yang membuat bulu kuduk Taehyung meremang memikirkan kemungkinan yang akan terjadi nanti.
Namjoon melangkah masuk, menggiring Jungkook yang tampak makin pasrah dan mengabaikan suasana disekitarnya.
“Kita lihat saja, Taehyung-ah. Pulanglah sebelum senja, atau kau akan menyesal. Kau yang akan menyesal, anakku.”
Hanya itu yang terdengar oleh Taehyung, sebelum ia berlari meninggalkan istana. Meninggalkan sosok yang hanya ditatapnya sekilas, namun wajah itu terus berkelebat dalam benaknya.
.
.
.
.
Cerita ini dibuat tahun 2012 dan stuck di tahun 2014, dulu pairing Kyuhyun-Sungmin. Semua yang waktu itu sama shipnya dengan aku pasti paham kenapa cerita ini tiba-tiba discontinue dan menghilang wkwk. Aku coba post dan kelarin cerita ini dengan pair yang menurutku cocok banget (aku kangen banget DanMiii). I won’t be hard on myself by trying to rewrite into a better version of this story then ended up not doing it at all, I’ll embrace my writing’s alayness style. So here we go, untuk kalian semua yang baik banget tetap bacain cerita aku. Wuv u <3
Ps: Aku udah ga bisa buat KyuMin sowwyyy.
Kalau ga suka tolong diclose tabnya ya. :’)
You must be logged in to post a review.
Related Paid Contents
-
🔒 I Feel You pt.2 (NC)
Author: _baepsae95 -
🔒 Kamu & Aku: Satu
Author: Ipul RS -
🔒 Closer pt. 2 (NC)
Author: _baepsae95 -
🔒 One Love 15-0 | 11
Author: _baepsae95
Reviews
There are no reviews yet.