First Meet

Author: Hanzoean

Cekrekk.

Sesaat tombol shot kamera ditekan menangkap objek secara diam-diam. Sunghoon menoleh ke arah sumber suara, alisnya bertaut tidak senang melihat apa yang ia dapati.

Seseorang pria menurunkan kamera yang semula diarahkan kepadanya. Kemudian menimang-nimang hasil jepretan, tidak ada kepuasan di sana. Hal itu membuat Sunghoon semakin tidak senang.

“Bibirmu seharusnya melengkung seperti ini.” Orang itu berbicara, jarinya membentuk lengkungan imajiner pada bibirnya. Berjalan mendekat, lalu berpindah ke sisi Sunghoon tanpa persetujuan, “lihat. Muram sekali, kan? Pemandangan di sini bagus. Orang-orang biasanya berlalu lalang dengan senang.”

Sunghoon melihat bagaimana dirinya terpajang di layar kamera. Berlatar Hotel De Crillion, ia menunduk bersandar pada tepi air mancur. Sunghoon juga dapat melihat objek lain yang bisa menghilangkan estetika gambar, tapi orang ini membuat dirinya seperti pusat dari kesibukan alun-alun.

“Kamu siapa, sih?!”

“Aku?” Ia menunjuk dirinya sendiri, “aku Lee Heeseung.”

Sunghoon menegakkan tubuhnya, “tidak, bukan namamu. Maksudku, aku juga tidak peduli. Tapi terima kasih, aku bisa melaporkanmu atas tindakan melanggar privasi. Aku rasa meminta ijin termasuk dalam etika dasar fotografer.”

Heeseung tertawa menampilkan deret giginya. “Kalau minta ijin, hasilnya tidak akan natural.” Heeseung menelisik lagi foto yang menampilkan sosok Sunghoon, senyum simpul teruas tanpa sadar, “dangsin-eun aleumdawo boinda.” (Kamu terlihat cantik)

Naneun dangsin-eul deudgo.” (Aku mendengarmu) Ketus Sunghoon.

Heeseung tertawa lagi melihat bagaimana raut wajah Sunghoon saat ini. Ia sadar betul perlakuannya tidak sopan. Kebanyakan orang akan mencoba menyembunyikan perasaan apa bila berhadapan dengan orang asing, begitulah lawan bicara Heeseung saat ini coba lakukan.

Membuang wajah mencari sesuatu sebagai pengalih, tangan terlipat di dada. Upaya yang cukup baik, andai saja Sunghoon sadar alis bagian dalamnya menukik turun. Dan upaya menekan emosi itu mempengaruhi nada bicaranya. Sunghoon jadi terdengar seperti merengek.

“Aku tidak berniat buruk, kok.” Heeseung mengangkat kembali kameranya, menempatkan dalam posisi siaga. “Tadinya aku ingin meninju wajah pongah pacarmu, sebab berani menggandeng orang lain selepas kalian putus. Kupikir lagi, lebih baik tenagaku disimpan untuk hal ini yang lebih berguna. Seperti mengajakmu jalan mungkin.”

Bunyi dari shooter kamera Heeseung kembali terdengar, bertepatan dengan sepasang anak kecil yang berjalan melalui mereka sambil bergandengan tangan.

“Kamu menguping?!”

“Memperhatikan,” ralat Heeseung ringan, “Tadi jarak kita selebar tiga puluh derajat. Sekelebat yang kudengar, hanya intinya saja, sungguh.”

Sunghoon merutuk pertengkarannya dengan mantan kekasih beberapa menit lalu. Sebuah pilihan yang salah putus di tengah keramaian seperti ini. Berbicara dalam dua bahasa tidak menutup kemungkinan orang lain turut mengerti permasalahan mereka. Tetapi mantan kekasihnya tidak memiliki cukup kesabaran untuk memilih tempat bicara yang lebih tenang.

Sunghoon mudah risau saat ramai, maka hal itu akan menjadi keuntungan pihak lawan. Sunghoon tidak akan banyak menyangkal saat dirinya merasa terancam. Sunghoon tahu yang dibicarakan Heeseung mengenai gandengan mantan pacarnya. Ia lihat. Hanya saja tidak tahu caranya bertindak.

“Kamu baik-baik saja?”

Sunghoon membisu.

“Aku tahu rasanya ditinggalkan sosok tersayang. Manusia itu dinamis. Datang dan pergi, sudah seharusnya kita siap terhadap segala kemungkinan,” jelas Heeseung memaparkan topik yang ia dengar. “Maaf, kamu berhak dapat yang lebih baik.”

“Terimakasih,” balas Sunghoon. Dan lagi, ia terjebak pada situasi yang tidak mudah ia mengerti. Sederet kalimat dari orang yang ditemuinya kurang dari tiga puluh menit, terdengar tulus dan menenangkan di telinga.

“Ibuku sakit. Jadi aku memutuskan untuk pulang menjenguk beberapa waktu. Tidak lama. Hanya satu bulan. Ternyata rentan waktu itu memberikannya cela main belakang. Betapa bodohnya aku baru menyadari hubungan kita sudah tidak seharmonis saat pertama menjalin kasih,” kata Sunghoon penuh sesal, “lagi pula, siapa yang bisa menolak wanita Paris, kan?”

Heeseung mengangguk-angguk, diam mendengarkan tanpa berkomentar. Menghormati seberkas kisah pria manis ini. “Aku menolak.”

“Hmm?”

“Untuk apa wanita Paris, jika ada pria Korea di hadapanku?”

“Aku memang tidak punya basic bela diri, tapi kakiku cukup kokoh untuk menendangmu.” Kaki Sunghoon terayun perlahan mengarah pada betis Heeseung. Tidak benar-benar menyepak tentu saja, hanya gertakan kecil. Habisnya halus sekali mulut pria ini. “Kalau kamu, kenapa ditinggalkan?” Sunghoon bertanya, suaranya mengecil di ujung kalimat.

“Ah, itu cerita lama. Empat atau lima tahun lalu? Aku bahkan sudah lupa rasanya,” gelak Heeseung ringan. ekspresinya bahkan tidak berubah sedikit pun. “Mungkin bahagianya bukan bersamaku, atau mungkin seharusnya tidak. Salahku juga mintanya menikah saat baru merintis karir sebagai fotografer. Baginya penghasilanku tidak cukup untuk menghidupi kami. Satu bulan kemudian, dia dikabarkan menikah dengan pemilik restoran daging di Gangnam.”

“Hei! Itu jahat,” protes Sunghoon tidak terima.

“Tidak apa-apa, namanya pengalaman hidup. Lagipula aku sudah punya kantor sendiri dan punya tim kerja,” Heeseung menyisir surainya kebelakang, memperlihatkan seluruh dahinya. “Jangankan menghidupi diri, menghidupi kamu dan anak-anak kita nanti juga aku sanggup.”

Sunghoon mendengus kasar walau disusul gelengan geli. Dirayu di tengah keramaian alun-alun serta siraman matahari sore bukanlah hal yang dapat Sunghoon alami setiap hari. Pria bernama Heeseung ini datang secara tiba-tiba, merusak lamunannya dengan kedok menghibur. Boleh Sunghoon akui, Heeseung sangat bersahabat, selayaknya teman lama yang mengerti betul kisah hidupnya. Bicaranya lugas, dan tatapan lembut andalannya selalu tepat sasaran.

“Namaku Sunghoon, Park Sunghoon,” gumam Sunghoon melengkapi perkenalan. “Apa kamu selalu begini saat bertemu orang baru?”

“Tidak. Kamu yang pertama.” Heeseung menumpu tangannya pada tepi air mancur, “Mungkin karena kamu terlalu menawan. Kalau boleh jujur, kamu cantik sekali di fotoku.”

Heeseung tidak mengelak saat lengannya ditepuk Sunghoon, “Aku harap kamu sadar saat memanggilku pria.”

“Sadar seratus persen, kok. Yang bikin gila kan kamu.”

Sunghoon menegakkan tubuhnya, “berapa lama kamu di sini? Pemandangan Paris tidak cukup dijelajahi dalam satu hari.”

“Sebenarnya ini sudah hari ke tujuh, besok aku akan ikut penerbangan jam 10.” Tatapan Heeseung menerawang. Ia sadar diri, pertemuan mereka tak ayal hanya sebatas keberuntungan satu hari.

“Kalau begitu kamu tidak cuma diam menunggu waktu bukan?” Heeseung bisa melihat Sunghoon yang berdiri beberapa langkah. Cahaya matahari dibaliknya membuat Sunghoon tampak berkali lipat lebih indah.

“Tidak. Dan aku juga tidak akan melewatkan pria di hadapanku.”

“Kita baru pertama bertemu, Heeseung-ssi.”

“Selalu ada kesempatan kedua, Sunghoonie. Aku jamin kita akan bertemu lagi.”

“Dimana?”

“Pelaminan.”

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “First Meet”
Beranda
Cari
Bayar
Order