Jika rindu adalah penyakit, maka Jimin sedang sakit keras. Jimin tidak biasanya merindu, bahkan setelah sang ayah kembali ke kampung dan dia tinggal sendirian di istana. Alasan nya mungkin karena dia tahu sang ayah akan baik-baik saja di sana bersama papa nya. Menikmati hari tua entah membaca atau menanam sayuran dan buah. Jimin tidak akan merindu sampai melamun berjam-jam.
“Jimin, menurutmu makanan untuk pesta akhir tahun enak nya apa?”
Lelaki yang namanya dipanggil tidak menjawab maupun menoleh. Mata menatap jauh ke jendela, tangan memegang pena yang tintanya terus menetes dan membuat genangan hitam diatas kertas. Tubuh nya di ruangan kerja putra mahkota namun pikirannya melayang entah kemana. Begitu terus sejak sang kaisar pulang ke negerinya.
Seokjin sudah mengajaknya bicara berkali-kali sampai bibirnya hampir berbusa tapi sahabat kecilnya tengah melayang ke bulan. “Jimin!!”
“Ya?? Apa??? Seokjin ada apa??? Kenapa???” Jimin tersentak dari lamunannya.
Bibir Seokjin menipis, sedikit gemas dan juga kesal dengan sahabatnya yang berulang kali jiwanya lepas saat ditanya. “Jimin, lebih baik kamu istirahat saja.”
“Eh?! Seokjin kau mengusirku?? Seokjin maafkan aku jika aku akhir-akhir ini tidak fokus Seokjin–Maksud ku yang mulia! Kumohon jangan usir aku!!”
“Siapa yang mengusir, kau tetap jadi pelayan ku sampai musim dingin nanti cuma kau butuh jeda sedikit dan mungkin melepas rindu dengan kaisar mu,” Seokjin berucap datar sembari fokus kembali dengan anggaran pesta yang tengah dia kerjakan. Kepala sang putra mahkota tengah pening melihat angka-angka berikut dengan perlengkapan yang dia butuhkan tanpa sadar membengkak. Ayahnya memang ingin merayakan pesta akhir tahun ini dengan meriah tapi jangan sampai membuang uang percuma.
“A-aku tidak rindu,” tukas Jimin seraya membuang kertas yang bernoda tinta dan mengganti kertas putih baru.
“Jangan bohong deh, sudah kau istirahat dulu Jimin, cari udara dan lepas rindu mu sana.”
“B-bagaimana kau melepas rindu jika orangnya saja berkilo-kilometer jauhnya dan terpisah samudra!!”
“Entah, aku juga tak tahu! Aku kan jomblo!!!”
“Jomblo apa sih! Berhenti menggunakan kata aneh dari novel mu Seokjin!!”
“Aish, kau bucin tidak akan mengerti bahkan setelah ku jelaskan berkali-kali sudah sana pergi dan cari udara segar!! Lepas rindumu dengan sang kaisar baru kembali lagi untuk bekerja!! Hussh!!!”
Dan begitulah bagaimana Jimin diusir dari ruangan putra mahkota dan sekarang tengah melamun di taman. Tak biasanya sang butler kosong seperti ini pergi ke dapur untuk membantu pun dia juga diusir dengan alasan yang sama. Syukur Kepala Koki Lee memberikannya satu muffin dan juga apel karena pagi tadi dia tidak menghabiskan sarapan.
Muffin itu lembut, mekar sempurna dan masih hangat saat dia pegang. Tampilannya menggugah selera dan wanginya harum membuat perut keroncongan tapi tidak perut Jimin. Bahkan saat lelaki itu mengunyah kudapan itu, rasa manis dan lembut di rongga mulut tidak membuatnya bergumam takjub dan menikmati sisanya.
Gejalanya sudah pas, tidak fokus dengan pekerjaan, tidurpun tidak nyenyak, makan pun tak puas. Jika rindu adalah penyakit, maka Jimin sekarang sakit keras.
Sungguh Jimin tidak akan mengira kalau dia akan seperti ini. Dia kira, dia akan bisa mengatasi nya seperti tidak terjadi apa-apa. Kehidupannya kembali berjalan normal tapi pertemuan beberapa hari itu dengan Yoongi sungguh memutar balikan hidup nya yang sudah terbawa dalam kebiasaan disiplin yang Jimin bangun bertahun-tahun.
Baru dua minggu dan Jimin sudah seperti zombie berjalan. Saat mereka bertemu lagi Jimin akan pastikan rindu ini akan dia balas berkali-kali lipat! Awas sajar Kaisar Kucing, tanggung jawab dengan hati Jimin karena hatinya telah dia porak-porandakan.
Menghembuskan nafas panjang, Jimin mengeluarkan kalung dari balik kemeja putih. Peluit baram dan juga cincin giok terkalung disana. Cincin giok itu terlalu tebal dan besar untuk ia kenakan bersama sarung tangan yang biasa ia pakai. Jimin juga takut jika ia memakai nya di publik justru akan menjadi bahan gunjingan dan juga sasaran empuk para pencuri. Mengalungkannya bersama dengan peluit Baram adalah keputusan yang tepat. Tidak hanya lebih mudah dia sembunyikan di balik seragam butlernya, cincin giok itu selalu dekat dengan hatinya.
Menatap cincin dari batu hijau yang mengkilap saat diterpa cahaya dan rindunya masih belum terobati.
Lalu Jimin mendengar itu, seperti suara angin tengah bersiul lantang dari langit. Senyum Jimin mengembang, dengan cepat lelaki itu mendongak dan melihat sepasang sayap terkembang menutupi matahari. “Baram!!!” Serunya dengan wajah berseri-seri, seakan mendengar sang tuan memanggil burung itu bersuara nyaring.
“Sial, sarung tangannya! Tunggu sebentar Baram!! Tunggu!!” Jimin bergegas masuk, mengambil langkah seribu menuju asrama pelayan. Tak peduli dengan maid dan butler lain yang melihatnya bingung karena kepala butler berlari seakan dikejar setan.
Lelaki itu membuka nakas, mengambil sarung tangan tebal dan kembali berlari menuju taman. Nafas masih tersengal, Jimin meniup peluit panjang.
Mendengar aba-abanya, Baram sang falcon menukik turun dan terbang rendah lalu kedua kaki bercakar tajam itu hinggap ke tangan Jimin dengan kuat. Kedua sayap ramping itu masih membentang, dada membusung dengan wajar sangar. Baram tengah menyombongkan dirinya yang berhasil membawa pesan dengan selamat ke tuan barunya.
“Kau hebat sekali Baram!! Gadis pintar, gadis cantik dan manis! Aku sangat bangga padamu!!” Jimin mengelus lembut leher hingga dada Baram, rasa takutnya menguap seketika digantikan dengan rasa bahagia.
Burung predator itu memejamkan mata sambil menikmati semua usapan dan juga pujian manis terhadapnya.
“Permisi ya Baram, aku ambil suratnya, anak pintar,” ucapnya sembari membuka wadah kecil di punggung sang raja langit. Dua minggu penantiannya berakhir sudah. Surat pertamanya hadir untuk mengobati rindu.
Baram kembali mengepakan sayapnya dan hinggap di salah satu dahan pohon. Memberi ruang pada sang tuan untuk melepas rindu. Jimin duduk di dekat air mancur, tempat mereka menghabiskan waktu bicara berdua. Dimana Jimin untuk pertama kalinya melampaui batas kepada sang kaisar.
Membuka kertas kecil itu dengan jantung berdegup penuh antisipasi, nafasnya tertahan kala namanya disebut pertama kali, disapa dengan manis oleh Yoongi.
Kepada Lotus Cantikku,
Jimin
Aku sangat merindukanmu. Sangat, sangat sangat sangat sangat sangat sangat sangat sangat merindukanmu.
Wajah sang pelayan memerah, merona dengan kalimat awal sang kaisar yang tak segan bersua pada kerinduannya. Jimin merasakan matanya memanas, ah dia sudah jatuh sedemikian rupa dan biarlah dia jatuh sepenuhnya.
Mengambil nafas kembali, Jimin melanjutkan membaca tiap kalimat yang ditulis dengan tulisan sambung dan bisa ditebaknya menggunakan kuas.
Senyumnya tak henti muncul dan kian sumringah saat mendekati akhir kalimat. Tulisan sang kaisar terkesan gombal seperti biasa tapi begitu berbeda kala disampaikan sebuah surat. Jika Jimin mendengarnya langsung dia pasti sudah menghardik kaisar yang dengan mudah bicara dengan begitu murah di hadapan banyak orang. Namun saat kata-kata itu ditulis dalam sepucuk surat dengan kertas kekuningan, goresan tinta yang mengeja tiap kata terasa ajaib dan membuat pipinya menghangat begitu cepat. Mengingat jarak dan samudra yang membentang membuat Jimin lebih menghargai setiap kata dan afeksi kecil yang dia dapat dari surat cinta itu.
Memeluk surat itu erat di dada, sedikit dari rindunya terobati.
“Aku harus membalas apa? aku tidak tahu.” Jimin melirik Baram yang tengah merapikan bulu di salah satu sayapnya, “Baram apa kau akan tinggal disini sampai ku menjawab?? aku tidak bisa menjawab sekarang, aku bingung harus menjawab apa… Jadi kau akan menunggu kan? Malam ini akan coba ku tulis. Jadi mohon sabar menunggu ya.”
Kepala Baram bergerak dan miring seraya menatap Jimin dari dahan tinggi pohon maple di taman. Berkoak nyaring, Baram kembali terbang dan melambung tinggi di sekitar menara istana, menatap rendah manusia seakan tengah menjaga Jimin dari para bangsawan seperti Jaehee.
Jimin bernafas lega, Baram masih tinggal disini dan dia juga merasa aman. Menatap kembali secarik kertas coklat di tangannya yang dibubuhkan sebuah segel dari lilin perak berukir naga. Tersenyum kecil, Jimin mengambil segel lilin itu, menyimpannya di saku bersama jam saku nya, kemudian melipat surat dan diletakan di saku jas dekat hatinya.
Jimin kembali masuk ke istana dengan semangat baru dan rindu yang sedikit terobati.
—–
Suara decit tikus memenuhi tangga menara seraya Jimin menaiki undakan tangga menuju puncak menara sambil membawa perangkap tikus. Matahari sudah bersinar merah kala Jimin menyelesaikan semua tugasnya yang sempat terbengkalai beberapa hari ini dengan sedikit terburu.
Tangan kiri memegang perangkap berisi 2 tikus hidup yang terus berdecit seakan takut penuh antisipasi saat Jimin membawanya dari dapur sedangkan tangan kanan nya membawa pena, tinta dan buku.
Berhenti di puncak menara di depan jendela dimana dia biasa menonton acara matahari terbenam, Jimin menaruh alat tulisnya di bingkai jendela yang tebal dan juga perangkap tikus dibawah.
Dirinya terlalu takut menulis balasan surat di asrama pelayan, takut ada mata nakal yang melirik dan memulai kembali gosip sumbang di istana setelah yang pertama reda.
Menyaksikan matahari merah kembali ditelan laut, Jimin juga berusaha merangkai kata diatas kertas putih dengan pena.
Terlalu banyak kata yang ingin diucapkan dalam selembar kertas itu, terlalu banyak rindu yang ditabungnya selama dua minggu sampai tak ada yang bisa ditorehkan di atas kertas.
Berulang kali dia mencoret kalimat, berulang kali dia merobek buku dan membuang kertas sembarang ke lantai.
Terlalu puitis.
Terlalu aneh.
Terlalu dibuat-buat.
Bagaimana caranya, dia bisa menjawab surat tulus dari sang kaisar dengan sama tulusnya? Jimin tidak biasa dengan mengungkapkan perasaanya. Terbiasa bekerja di istana adalah salah satu alasannya. Dituntut untuk menutupi rasa dan karsa adalah sebuah bentuk profesionalisme yang Jimin percayai.
Thanks to that, Jimin sekarang kesulitan menulis perasaannya tanpa terkesan dipaksakan dan dibuat-buat.
Matahari sudah sepenuhnya tenggelam, angkasa sudah gelap gulita dan cakrawala bertaburan bintang. Menilik satu persatu cahaya dilangit, Jimin berpikir dalam. Bertanya-tanya apakah Yoongi juga kesulitan saat menulis surat untuk dirinya? Apakah Yoongi juga menghabiskan tinta dan juga kertas hanya demi membuat surat yang ‘sempurna. Di balik surat ‘menggombal’ itu, Jimin yakin Yoongi juga sama kesulitannya.
Membayangkan kaisar itu melempar kertas frustasi di atas kapal atau Jenderal Jung menjadi target lempar kertasnya membuat Jimin tersenyum dan terkekeh pelan.
Pandangannya kembali turun ke secarik kertas putih yang masih bersih. Dia harus membalas surat Yoongi, apa adanya. Apapun itu, dia akan jujur pada diri sendiri, dia akan menulisnya dengan padat di kertas kecil ini.
Tak ada lagi yang ditutupi, mumpung Yoongi tidak sedang mengamati, Jimin rasanya lebih bebas menulis perasaannya sendiri.
Menggoreskan mata pena, Jimin mulai menoreh kalimat demi kalimat apa adanya.
‘Salam hangat dari pelayan…’
Terdiam beberapa saat, Jimin memutuskan untuk menghapusnya dan menulis ulang kalimat tersebut, membiarkan perasaannya mengalir seperti seharusnya.
Menghembuskan nafas panjang, Jimin mengusap kening yang sama sekali tidak berkeringat menatap setiap baris kalimat dengan senyum bangga. Ya, memang masih terasa kaku, dia memang tidak terbiasa menulis surat. Tapi seperti ini cukup.
Menyelipkan sebuah bunga yang dia temui di taman ke dalam surat, Jimin meniup peluit lalu Baram segera hadir dan hinggap di jendela menara. Menatap Jimin seakan bertanya apakah suratnya sudah siap?
“Suratnya sudah siap, aku punya kudapan kecil untuk mu, kamu tak apa kan makan tikus? Setelah ini aku akan membeli tuna yang untukmu.” Jimin meraih perangkap tikus dibawah, mengambil satu tikus dan hendak memberikannya ke Baram sampai tikus itu lepas dan terjatuh dari menara.
“Oh tidak–”
Baram dengan cekatan terjung menukik dan dalam sekelebat, Tikus itu sudah dia tangkap dengan kedua kaki kuat dan kekarnya. Kembali naik dan memakan kudapannya dalam diam.
Jimin takjub sekaligus takut, rasa takutnya kembali hadir saat melihat bagaimana tikus malang itu dikoyak dan disantap habis oleh si penguasa langit.
“Rasanya menyakitkan juga ya melihat kau memakan tikus itu, besok-besok aku akan memberimu tuna saja atau daging lain bagaimana? Terlihat tidak higienis juga. Bagaimana rasanya enak?” Tanyanya sambil bergidik ngeri menyaksikan paruh runcing itu menarik daging dari tulang tikus semudah merobek roti.
Tikus itu sudah hampir tinggal tulang belulang dan Baram akhirnya menyudahi kegiatannya. Dada kembali membusung, burung itu terlihat cukup puas dengan makan malam seadanya.
“Sudah?? Kemari cantik. Suratnya sudah ku gulung, kemari.” Baram menunjukan punggungnya, menurut ketika diminta. Jimin memasukan gulungan kecil surat itu dan memastikan wadahnya tertutup rapat. Melihat bagaimana Baram bermanuver di udara dia sedikit ngeri jika tutup wadahnya terbuka dan suratnya terbang. Namun melihat ransel kecil yang dibuat sedemikian rupa di punggung Baram, Jimin mulai tenang. “Sudah, nah pergilah, hati-hati yaa!! Sampai kan rindu dan salam ku pada Yoongi!” Jimin berseru, mengantar sang penguasa langit mengepakan sayapnya dan menaiki angin membawa suratnya melintasi samudra.
“Katakan padanya, kalau aku mencintainya…”
—-
To Be Continue
You must be logged in to post a review.
Related Paid Contents
-
🔒 Braven – 25. Bonding
Author: Miinalee -
🔒 Kamu & Aku: Satu
Author: Ipul RS -
🔒 Muscular Hands
Author: _baepsae95 -
🔒 I Feel You pt.2 (NC)
Author: _baepsae95
Reviews
There are no reviews yet.