IMPOSSIBILITY (Fiikookie07)

Author: saga_project

IMPOSSIBILITY

Fiikookie07

 

 

Pairing : YoonKook slight NamKook

Rating : M (Mature)

Genre : Romance , Hurt/Comfort

Tags : Fiction , M/M , TOP Min Yoongi , Bottom Jeon Jungkook ,  NSFW , Sexual Content

Disclaimer : N/A

 

Dari balik pintu mobil, Jungkook memandang pria bergaya rambut comma hair yang berjalan masuk ke coffee shop seberang jalan. Hanya beberapa detik sebelum Jungkook mengalihkan pandangan ke depan seraya menghela napas.

“Pria keras kepala.” Jungkook bergumam. Melipat kedua tangan, lalu dirinya mengedarkan pandangan, melihat jalanan yang lumayan ramai para pejalan kaki. Rupanya angin dingin musim gugur tidak lantas membuat orang-orang malas berjalan kaki.

Sibuk mengamati, Jungkook sampai tidak menyadari bahwa pria pemilik rambut bergaya comma hair tadi telah kembali ke kursi kemudi. Kala itu, bau harum kopi hangat langsung merebak ke semua sudut ruang. Dengan mengumbar senyum cerah, laki-laki itu menyodorkan satu cup kopi kepada Jungkook. Cup miliknya yang berisi americano ia simpan di cup holder setelah meminum satu teguk.

Latte?” Jungkook menerima dengan tatapan heran. Pria itu mengangguk membenarkan.

Aku tahu kau tidak akan menyukai americano. Jadi, aku pesankan latte. Mau ganti?”

Jungkook menggeleng pelan. “Tidak perlu,” katanya. Selepas itu, ia lebih memilih diam dan mencoba minumannya sembari kembali melihat jalanan di samping. Laki-laki pemilik marga Jeon itu mengangkat alis sebab menikmati rasa minuman yang menyergap lidahnya. Kalau boleh memilih, ia lebih suka jika dibelikan soda, tetapi ternyata latte tidak buruk. Ia menatap cup-nya dengan alis terangkat, menggoyangkan beberapa kali sebelum kembali meneguk cairan di dalamnya.

“Enak?”

Jungkook menoleh ke samping, menumpukan atensi sepenuhnya pada pria yang mulai melajukan mobil, membelah jalan raya. Tampak berpikir sejenak sebelum ia mengangguk kecil tanda menyetujui.

“Ini tidak buruk,” ujar Jungkook.

Pria yang sedang mengemudi di sampingnya mengulas senyum senang. “Sudah kuduga kau akan menyukainya.”

Jungkook mengangkat bahu, lalu kembali fokus pada pemandangan di luar mobil. Sengaja karena ia tidak ingin berlama-lama menatap pria yang sedang bersamanya itu.

Min Yoongi. Pria yang lebih tua empat tahun darinya. Pria keras kepala, yang sering kali membuat Jungkook tidak habis pikir dengan tingkahnya.

Tidak. Jungkook tidak membencinya. Sama sekali. Hanya saja, Pria itu … Jungkook diam-diam melirik Yoongi dengan ekor matanya, mengamati figur samping laki-laki Min dalam diamnya. Hidung bangir yang terpatri indah dan fitur wajah yang tegas menambah sempurna visualnya. Jungkook lantas menghembuskan napas pelan. Dilirik berapa kali pun akan tetap sama. Min Yoongi sangatlah menarik. Terkadang, pria itu justru sukses mengacaukan pikiran dan membuatnya resah. Kalau boleh jujur, Jungkook bisa saja mengencani pria itu. Sayangnya, ia tidak ingin menjalin hubungan dengan siapa pun, terutama Yoongi.

“Jungkook …”

Jungkook yang sempat melamun, sedikit terhenyak ketika mendengar pria bermarga Min itu memanggilnya. “Ya?” Jungkook menoleh dengan raut wajah bertanya.

“Boleh mampir ke apartemenmu?”

“Tidak.” Tanpa berpikir kembali, Jungkook tegas mengatakannya.

“Oh, ada Namjoon?”

Ya. Kenapa?”

“Tidak.”

Jungkook menatap Yoongi. Sedikit terusik dengan nada jengkel Yoongi, tetapi ia tidak berniat melakukan apa pun untuk itu. Ia kemudian mengangguk kecil beberapa kali. “Ia menginap.”

Raut wajah Yoongi seketika berubah masam. Meskipun Jungkook tidak suka dengan raut masam yang jelas sekali terpancar dari wajah yang lebih tua, tetapi lagi-lagi ia tidak ingin berbuat apa-apa untuk hal itu. Bisa saja ia memperbolehkan Yoongi untuk mampir. Namun, ia tidak akan pernah membiarkan Yoongi bertemu dengan Namjoon karena hal itu bukanlah sesuatu yang bagus. Mereka tidak akur, seperti kucing dan anjing.

“Lain kali kalau Namjoon tidak ada, aku izinkan kau mampir,” kata Jungkook.

“Kalian sepasang kekasih sekarang?”

Jungkook kembali menolehkan kepala pada Yoongi. Kali ini alisnya tajam menukik. Apalagi ketika netranya mendapati wajah Yoongi yang menatapnya lurus.

“Mengapa kau bertanya demikian?”

“Kau tahu jawabannya.” Yoongi merotasikan bola matanya.

Jungkook terdiam. Tentu saja, ia tahu jawabannya dengan pasti. Yoongi menyukainya, bahkan sudah sejak lama. Namun, sudah dikatakan, Jungkook tidak ingin menjalankan hubungan dengan siapa pun.

“Aku dan Namjoon hanya berteman.”

Cukup lama Yoongi menatap Jungkook sedemikian rupa sebelum kembali fokus ke jalan. Beruntung karena jalan yang dilewati sekarang sedang lengang, sehingga Yoongi tidak perlu khawatir akan menabrak kendaraan lain atau pejalan kaki.

“Baiklah,” kata Yoongi pada akhirnya.

Jungkook mengangguk. “Nanti turunkan aku di depan mini market.”

“Mengapa tidak di halaman seperti biasa?”

“Aku hendak membeli sesuatu.”

Ah, ya.” Tanpa banyak bertanya lagi, kali ini Yoongi sepenuhnya fokus pada kemudi.

 

***

 

Sepanjang koridor, Jungkook melangkahkan kaki dengan pandangan menerawang. Sepulang dari kantor, pikirannya mendadak dipenuhi tentang banyak hal. Terlebih ketika dirinya mengingat kembali wajah Yoongi saat berpisah di depan mini market tadi.

Ah, pria bermarga Min itu selalu saja berhasil mengganggu pikirannya, meskipun jelas ia tidak tertarik sedikit pun untuk berkencan dengan seseorang. Sekarang, Jungkook merasa sedikit bersalah karena tidak memperbolehkan Yoongi berkunjung.

Jungkook kesal sendiri ketika bayangan pria itu tidak segera enyah dari pikirannya. Sudah dibilang, Yoongi itu sangat menarik. Banyak orang di luar sana yang menginginkannya. Namun, terkadang Jungkook masih melihat sosok Yoongi sebagai bocah yang dingin dan menakutkan, yang selalu menatap tajam ke arahnya. Bocah yang sering kali mengikutinya ketika pulang sekolah hingga Jungkook harus berlari ketakutan karenanya. Bocah yang membuatnya tidak ingin berlama-lama di luar rumah, yang pada akhirnya semuanya menjadi cocok ketika pada suatu waktu Yoongi mengatakan kebenaran bahwa ia melakukan semua itu bukan tanpa alasan, melainkan karena menyukai Jungkook. Semuanya terasa segar diingatan, sampai terkadang lupa bahwa semua itu sudah berlalu begitu lama.  

Sibuk berpikir, Jungkook hampir saja melewati pintu apartemennya sendiri jika ia tidak segera menyadari bahwa ia sudah cukup berjalan. Ia segera membuka pintu apartemen dan rungunya langsung menangkap suara seorang pria yang sepertinya sedang menerima panggilan dari seseorang. Itu Namjoon. Berdiri dengan arogan di depan jendela kaca samping kiri ranjang yang terbuka lebar hingga pria itu tampak seperti siluet. Jungkook menghela. Pria itu suka sekali menginap di apartemennya, padahal dibanding apartemen Jungkook, apartemen Namjoon jauh lebih luas dan lebih bagus.

Jungkook sekilas mengangkat bahu, kemudian meletakkan kantung kresek yang berisi barang belanjaan miliknya ke atas nakas tanpa menimbulkan suara yang berarti. Jungkook memijat tengkuknya. Hari ini, rasanya sangat melelahkan. Mungkin berendam dengan air hangat akan membuat tubuhnya kembali segar. Namun, baru saja ia hendak merealisasikan niatnya, mendadak ia merasakan seseorang memeluk dan mencium tengkuknya dari belakang.

“Nam …”

Jungkook ingin menepis, tetapi ia terlalu letih untuk melakukannya. “Jangan bertingkah, Nam. Aku lelah,” ucap Jungkook.

“Tapi aku merindukanmu.”

“Rindu lubangku, maksudmu?”

Namjoon terkekeh yang lantas membuat Jungkook merotasikan bola matanya. Namjoon menumpukan dagu ke pundak Jungkook, sementara tangannya masih setia melingkari tubuh laki-laki yang lebih muda itu. 

“Sebentar saja sebelum aku pergi.”

Jungkook berpikir sejenak, sebelum akhirnya mengangguk pelan, menyetujui pria yang kini tengah membaui lehernya.

“Lakukan dengan cepat,” kata Jungkook. Seketika itu juga, Namjoon tersenyum sumringah dan mengangguk cepat.

“Teman tapi seks. Cuma kita sepertinya.”

Namjoon terkekeh, tidak menganggap serius perkataan Jungkook. “Aku sudah memintamu menjadi kekasihku berkali-kali, tapi kau selalu saja tidak mau.”

“Aku tidak pernah berpikir hubungan kita akan dalam tahap seperti itu, Namjoon.” Jungkook menghela. Bisa saja ia menerima Namjoon sebagai kekasih. Bisa saja. Pria itu tampan, mapan, dan permainan seks-nya luar biasa hebat. Jungkook tidak akan menyangkal tentang hal-hal hebat yang tersemat dalam diri pria bermarga Kim itu. Meskipun berkali-kali mereka melakukan seks atau hal-hal intim yang lain. Namun, tetap saja, tidak ada getaran yang berarti dalam hatinya. Ia tidak menginginkannya. Tidak pernah sekali pun.

“Itu karena, Yoongi. Aku tahu.”

Huh?” Jungkook mengernyit. Terpekik kecil ketika Namjoon membalikkan tubuhnya tiba-tiba, membuat lelaki Jeon itu berdiri menghadap Namjoon. Jungkook lantas mendongak, menatap Namjoon dengan kernyitan yang masih menggurat. “Katakan apa maksudmu.”

“Aku berani bertaruh. Kau menyukai Yoongi.”

Jungkook mendorong dada Namjoon, tidak terima dengan kata-kata yang terlontar dari mulut pria itu, tetapi Namjoon mencekal tangannya dan menariknya hingga Jungkook membentur tubuh depan Namjoon sedemikian rupa. Matanya menatap lurus pria yang lebih tinggi darinya itu.

“Aku tidak menyukainya.” Jungkook mendengus kesal. Namun, rupanya Namjoon dari awal memang sudah menjadi oposisi. Jawaban Jungkook terdengar tidak meyakinkan dan kentara sekali hanya emosi yang bermain.

“Kau hanya sangat menyukai pria itu hingga kau tidak menyadarinya.”

“Namjoon, berhenti membahas Yoongi. Itu sangat menyebalkan. Apa kau sekarang berbalik menyukai pria itu?”

“Aku? Menyukai Yoongi? Jangan harap. Melihat wajahnya saja sudah membuatku bernafsu untuk memukulinya.”

“Lantas mengapa kau bersikeras dengan pendapat menyebalkanmu itu?” Wajah Jungkook berubah masam.

“Karena kenyataannya memang begitu.”

“Jangan sok tahu tentang diriku,” tegas Jungkook.

Namjoon menghela. “Kau hanya tidak bisa memahami perasaanmu sendiri.”

“Jangan bertingkah seolah kau paham dengan perasaanku, Namjoon,” protes Jungkook.

“Baiklah.” Namjoon menyerah. Ia mengedikkan bahu, tidak mengambil pusing perkataan Jungkook. Namjoon sangat paham bahwa Jungkook tidak akan mengalah begitu saja.

“Kau tidak dalam suasana hati yang bagus sepertinya. Kita hentikan ini.” Namjoon memutuskan untuk melepaskan tangan Jungkook dan membiarkan laki-laki Jeon itu terbebas darinya. Namun, siapa yang akan menyangka jika mendadak Jungkook menarik tenguknya dan menabrakkan bilah bibirnya ke bilah tebal milik pria Kim. Manik Namjoon sontak melebar. Yang dilakukan selanjutnya adalah merengkuh pinggang Jungkook, lihai mengikuti permainan yang dimulai oleh laki-laki Jeon itu.

Tidak lama kemudian, Jungkook melepas tautan bibir mereka, lalu berucap dengan pasti “Jangan berhenti. Lanjutkan saja, Namjoon. Aku menginginkannya.”

“Jung … “ Namjoon menggeram rendah. Ekspresi wajah Jungkook membuat Namjoon tidak sabar untuk menggagahi Jungkook saat itu juga. Nafsunya mudah naik, bahkan hanya dengan melihat wajah Jungkook yang terlihat pasrah seperti sekarang.

Pria pemilik dekik manis di kedua pipinya itu dengan cepat kembali menarik Jungkook dalam pelukan, bersamaan dengan pagutan yang langsung ia daratkan di bibir laki-laki Jeon itu, penuh gairah. Tangan besarnya menelusup di balik kemeja hitam yang dikenakan Jungkook. Meraba punggung halus dengan seksama, lalu turun ke pinggang, meremasnya sejenak sebelum satu tangannya halus menekan punggung, tangan yang lain sudah merambat naik ke dada Jungkook demi mencari puncaknya.

Jungkook memejamkan mata, menahan lenguhan sebab sentuhan Namjoon di tubuhnya membuat gelenyar aneh timbul di dalam perutnya.

“Dadamu semakin berisi. Seksi sekali.”

Jungkook membuka matanya. Menatap wajah Namjoon sejenak, kemudian berinisiatif menanggalkan kemeja miliknya. Sengaja mengekspos tubuh bagian atasnya karena ia tahu, jika tidak seperti itu, Namjoon akan bermain sangat lama.

Namjoon semakin kehilangan kewarasannya, tenggelam dalam birahi. Ia menelan ludah, kasar. Jungkook yang telanjang di depan mata membuat libidonya naik pada tingkat tertinggi. Namjoon menggeram rendah ketika netranya tertumpu pada dada putih berisi milik Jungkook yang puncaknya berwarna merah muda. Pemandangan yang luar biasa indah dan menggairahkan. Sejujurnya, ia sudah berkali-kali melihat tubuh telanjang Jungkook. Namun, tetap saja dirinya selalu tergoda sampai kewarasannya terkikis, hampir lumpuh.

Namjoon mengecup pundak telanjang Jungkook, terus ke bawah. Membaui leher jenjangnya, menjilat tanpa ada celah yang terlewat, lalu membuat beberapa tanda sepanjang garis selangka yang menggoda. Hingga sampai pada titik yang dituju, dengan pasti, ia mengisap nipple Jungkook, membuat sang empunya menggigit bibir bawah, menahan erangan. 

Jungkook mencondongkan dada dengan kedua tangan yang meremat lengan Namjoon ketika si pria Kim itu menghisap kuat dan rakus dadanya, dan pastinya juga akan menimbulkan lebam merah keungunan di sana.

“Namjoonhh … “ Napas Jungkook terengah. Matanya menatap sayu dengan tubuh gemetar menahan gejolak yang mulai menyudutkan sisi rasionalitas. “Jangan terlalu banyak main-main. Kau janji hanya sebentar.”

Namjoon melepas tautan bibirnya pada dada Jungkook. Namun, tangannya sudah menyelip ke dalam celana bahan yang dikenakan Jungkook dengan jari-jarinya yang bermain di antara bongkah kenyal milik lelaki Jeon itu, mencoba menggoda tepi lubang dari luar celana dalam yang semakin berkedut karena rangsangan yang datang menghampiri.

Enghhh.” Jungkook mendaratkan kepalanya pada pundak Namjoon. Gesekan antara kain celana dalam dengan tepi lubangnya membuat Jungkook menggeliat tidak karuan. Ia semakin menenggelamkan wajahnya pada dada Namjoon.

“Namjoon, gatal. Sudahi ini. Aku menginginkan penismu segera.”

Namjoon mengangguk, menuruti kata-kata Jungkook. Ia juga ingin segera menyatu dengan Jungkook, di samping memang tidak punya banyak waktu karena harus bertemu dengan teman bisnisnya. Kalau tidak, jangan harap ia menuruti kata-kata Jungkook. Sepanjang hari pun ia sanggup bermain kalau itu dengan Jungkook. “Lube kamu simpan di mana, Jung?” tanya Namjoon.

“Laci bawah,” sahut Jungkook cepat. Namjoon kembali mengangguk. Ia menggiring Jungkook untuk duduk di ranjang, sementara dirinya mengambil lube.

Kondom?” Namjoon menoleh. Ia tidak mendapati kondom di mana pun.

“Di keresek atas nakas. Aku tadi membelinya.”

Namjoon bersiul. “Penuh persiapan, ya.”

Jungkook merotasikan bola matanya. “Harus jika ada kau. Kau selalu meminta seks kalau mampir.”

Mendengar jawaban Jungkook, Namjoon sontak terkekeh. Benar. Kenyataannya memang begitu. Ia tidak bisa menyangkal.

“Jung, kalau kubilang aku selalu rindu lubangmu, bagaimana?”

“Bagaimana apanya? Jelas kau itu nafsunya tinggi. Apa yang bisa kuharapkan?”

Namjoon kembali terkekeh. Ia berdiri menjulang, melepas kemejanya hingga ia telanjang dada sebelum naik ke ranjang demi mengungkung Jungkook yang telah berbaring di sana. Tangan besarnya telaten menarik resleting celana Jungkook, lalu dengan mudah meloloskan celana bahan itu dari tubuh si Jeon.

Si Kim menekuk kedua kaki Jungkook dan membuat Jungkook mengangkang lebar, memperlihatkan lubang merah muda yang terus menerus berkedut. Seketika Namjoon menggeram rendah. Berkali-kali ia  melihat pemandangan yang sama, tetap saja jatuh pada pesonanya, membuat gejolak birahinya benar-benar menyiksa.

Pria Kim itu sudah tidak bisa menahan. Ia membuka botol lube dengan terburu, kemudian menuangkan isinya pada telapak tangan sebelum membalurkannya pada kesejatiannya yang menegang sempurna. Pun dengan lubang Jungkook yang juga ia baluri sedemikian rupa.

“Jung, aku masuk.”

Jungkook mengangguk. Ia semakin membuka pahanya, melebarkan sendiri lubangnya dengan jari-jemari yang menekan tepian ketika Namjoon mulai mengarahkan penis tegangnya pada lubang Jungkook.

Nyaris saja penis si Kim melesak ke dalam lubang hangat Jungkook. Namun, Jungkook mendadak memekik dan refleks menendang perut Namjoon, membuat pria Kim itu sontak terdorong ke belakang dan mengerang kesakitan.

Pada detik itu juga, Jungkook langsung menegakkan tubuh dan menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuh telanjangnya. Ia beringsut merapat ke kepala ranjang dengan mata yang membelalak lebar menatap ke arah pintu yang ternyata terbuka lebar.

“Yo-Yoongi!” Jungkook terkejut setengah mati dengan keberadaan Yoongi yang tiba-tiba berada di ambang pintu kamarnya. Sementara itu, Namjoon baru saja ingin melayangkan protes pada Jungkook perihal alasan dirinya tiba-tiba ditendang tanpa permisi, tetapi ketika mendengar nama Yoongi disebut, Namjoon sontak ikut terkejut. Cepat-cepat ia membenahi kesejatiannya kembali dengan wajah luar biasa panik.

Terlihat dari wajahnya, Yoongi sama terkejutnya, bahkan ia sampai kehilangan kata-kata. Bukan pemandangan seperti ini yang ia harapkan ketika kakinya menjejak di apartemen Jungkook. Namun, apa yang ia harapkan ketika faktanya ia baru saja menerobos masuk apartemen orang lain seperti orang yang tidak tahu etika?

Sungguh, Yoongi datang ke apartemen Jungkook hanya untuk mengembalikan ponsel Jungkook yang tertinggal di mobilnya. Ia sudah memencet bel berkali-kali, tetapi tidak ada yang kunjung membuka. Padahal, ia yakin Jungkook ada di dalam.

Pada akhirnya dengan sangat terpaksa, Yoongi memutuskan untuk membuka pintu sendiri karena dirinya mengetahui kode apartemen Jungkook. Namun, betapa terkejutnya ketika ia menilik ke dalam kamar Jungkook yang pintunya terbuka lebar saat itu. Ia harus melihat pemandangan yang seharusnya tidak dilihatnya.

“Aku hanya ingin mengembalikan ponselmu.” Yoongi gemetar mengangkat ponsel Jungkook yang berada di tangan kanannya. “Aku taruh di luar saja. Maaf karena sudah mengganggu kegiatan kalian.” Mata Yoongi blingsatan. Ia bingung harus melakukan apa. Marah? Tentu. Ingin menghajar Namjoon? Sangat. Itu adalah hal pertama yang terlintas di pikirannya ketika melihat pemandangan tadi. Namun, ia sama sekali tidak memiliki alasan untuk itu. Ia sadar bahwa posisinya hanyalah seorang pengganggu. Maka, yang selanjutnya ia lakukan hanyalah berjalan mundur dengan teratur tanpa berani melihat raut wajah Jungkook yang terlihat belum luntur dari keterkejutannya.

Seusai dirinya meletakkan ponsel Jungkook dengan hati-hati di meja tamu, Yoongi langsung melesat pergi tanpa basa-basi. Namun, sebelum ia mencapai knop pintu, ia bisa merasakan seseorang mendekapnya dari belakang.

“Yoongi.”

Mata Yoongi melebar. Itu Jungkook yang memeluknya. Pria Min itu mencoba melepas dekapan Jungkook. Ia hendak memutar arah demi melihat Jungkook, bermaksud ingin menanyakan alasan mengapa laki-laki Jeon itu tiba-tiba memeluknya seperti ini, tetapi Jungkook lebih dulu memekik dan tidak mengizinkannya untuk berbalik. 

“Jangan berbalik. Aku telanjang. Aku malu.”

Di antara senyap yang melingkupi dan desau napas yang membentur hampa. Kala itu, rasanya degup jantung bertambah cepat. Yoongi hanya bisa terdiam dan membiarkan Jungkook mendekapnya lebih lama.

Tidak ada yang membuka suara, bahkan untuk bernapas rasanya harus hati-hati. Jungkook tidak tahu mengapa ia melakukan semua itu. Maksudnya, tentang menahan Yoongi ….

 

***

 

Sepekan sudah Yoongi tidak lagi menemui Jungkook setelah kejadian itu. Ia tidak bisa menyangkal bahwa hal itu membuat dirinya cukup kacau. Ia sudah terbiasa dengan keberadaan Yoongi. Terkadang, laki-laki itu datang hanya sekadar untuk menyapa atau sekadar melihat wajah Jungkook. Terkadang pula, pria Min itu dengan sangat tidak tahu malu, tiba-tiba menerobos masuk kantornya untuk mengajak Jungkook makan siang.

Banyak afeksi kecil yang Jungkook dapatkan dari pria Min itu yang sering kali membuat dirinya jengkel. Namun sekarang, ia rindu hal itu. Ia rindu seluruh perhatian yang nyata-nyata Yoongi berikan hanya untuknya. Ia rindu tingkah anehnya. Ia rindu Yoongi. Ia ingin denial, tetapi ketika melakukannya, malah membuat perasaannya semakin tidak karuan. Jungkook merasa sangat kosong. Hampa.

“Lebih baik temui dia,” kata Namjoon sembari meneguk soda yang ia dapatkan dari kulkas Jungkook. Namjoon masih suka berkunjung ke apartemen Jungkook, tetapi tidak untuk seks. Ah, mungkin lebih tepatnya, ia akan seks bila Jungkook yang menginginkannya. Selebihnya, ia hanya murni berkunjung sebagai teman karena ia tahu, Jungkook lebih membutuhkan teman daripada seks.

“Buat apa, Nam.” Jungkook menghela. “Lagi pula ia mungkin sudah tidak mau melihat wajahku lagi.”

Namjoon mengangkat kedua bahunya. “Kalau belum dicoba, kenapa kau bisa berpikir begitu?”

“Ya kau pikir sendiri, ia menghilang karena apa, Namjoon?” Jungkook merotasikan bola matanya.

“Lagi pula kita tidak jadi seks.”

“Apa itu penting?” Jungkook mengeryit, menatap sengit pria Kim itu.

“Sebenarnya penting. Kalau semua pikiranmu benar, seharusnya ia tidak semarah itu sampai tidak ingin melihatmu lagi. Kekanakan sekali. Lagi pula ia sudah tahu tentang kita. Mengapa ia begitu?”

“Aku tidak tahu apakah ia marah atau kecewa karena telah menyukai orang yang menjijikkan sepertiku.”

“Hei, bicaramu. Tidak salah lagi. Kau itu sebenarnya menyukai si Min itu.”

“Sudah kubilang, aku tidak tertarik padanya, Namjoon.”

“Kau pikir, kenapa waktu itu kau mengejarnya? Kau bahkan tidak peduli dengan keadaanmu yang telanjang? Satu lagi, kalau kau tidak peduli dengannya, seharusnya kita lanjut seks waktu itu. Namun, kau malah mengusirku. Bukankah itu cukup mengindikasikan bahwa kau sebenarnya mengkhawatirkan si Min itu?”

Jungkook marah. Ia menyambar jas Namjoon yang berada di gantungan serta tas kerja milik pria Kim itu. Dengan tidak berperasaan, ia melempar barang-barang tersebut ke pemiliknya. Beruntung Namjoon memiliki refleks yang bagus, sehingga pria pemilik lesung pipit yang tampan itu dengan sigap menangkap barang-barang miliknya. “Kau banyak sekali berbicara omong kosong. Pergi sana! Urusi urusan kantormu saja, jangan mengurusiku!”

Bukannya marah, Namjoon malah tertawa terbahak-bahak sebelum ia mengutarakan sesuatu. “Kudengar, hari ini ia akan pergi Inggris. “Namjoon melihat jam tangannya. “Sepertinya jam 1 ia masih di bandara.” Namjoon mengedipkan satu matanya sembari memutar knop perlahan. “Jangan berpikir untuk berlari ke bandara seperti orang bodoh untuk menyusulnya. Setidaknya kau harus naik mobil kalau mau sampai lebih cepat.” Namjoon hendak pergi, tetapi tiba-tiba ia berkata kembali, “Oh, ya, satu hal lagi. Penyesalan selalu datang di akhir, Jungkook.”

 

***

 

Sembari terus menyetir, Jungkook melirik jam tangannya berkali-kali. Jantungnya berdebar kencang dan suhu meningkat tatkala mengingat bahwa ia hanya memiliki waktu sekitar tiga puluh menit untuk sampai di bandara. Tidak ada waktu lagi untuk berpikir lebih lama. Salahkan Namjoon. Namjoon sialan! Jika si Kim itu tahu bahwa Yoongi hari ini akan pergi ke Inggris, mengapa ia tidak bilang lebih awal?!

Sekarang, ketika ia sampai bandara, mendadak otaknya dapat kembali berpikir. Bodoh! Kenapa dirinya harus terburu-buru seperti ini? Ia berangkat tanpa persiapan apa pun. Lagi, tanpa memikirkan penampilannya. Ia bahkan masih memakai celana training dan kaus oblong. Pantas saja beberapa orang yang berpapasan dengannya memberikan tatapan super aneh padanya. Namun, waktu hanya tersisa lima menit! Tidak mungkin ia kembali ke rumah demi memperbaiki penampilan. Jadi, ia putuskan untuk menjadi tidak tahu malu. 

Setelah meyakinkan diri sendiri, Jungkook melangkah cepat menuju area keberangkatan, mengabaikan pasang mata yang masih menatapnya aneh, bahkan sempat berdebat dengan petugas sebelum ia diperbolehkan masuk. Sesampainya di area keberangkatan, Jungkook langsung mengedarkan pandangan. Cukup terkejut karena mata mereka langsung bersirobok satu sama lain. Baru saja Jungkook hendak berlari menuju pria Min yang dicarinya, mendadak langkahnya terhenti ketika melihat keberadaan laki-laki lain di sampingnya.

Pacarnya?

Jungkook mundur selangkah. Mendadak merasa tidak percaya diri. Ia menunduk, melihat penampilannya. Berantakan sekali. Lain sekali dengan laki-laki yang sedang bersama Yoongi. Ia sangat rapi dan tampan sekali. Mungkin lebih baik ia pergi saja. Yoongi juga sepertinya tidak akan sudi melihatnya.

Jungkook putus asa. Ia memilih untuk kembali saja. Lagi pula kedatangannya pun tidak terlalu penting bagi pria itu. Benar. Lagi pula, apa tujuannya sebenarnya? Apa tujuan Jungkook ingin menemui pria Min itu? Bahkan Jungkook tidak tahu. Jungkook menghela. Rasanya seperti tengah mempermalukan diri sendiri sejak awal. Seharusnya dirinya tidak datang hanya karena termakan omongan Namjoon yang tidak jelas.

Jungkook lantas berbalik, melangkahkan kaki dengan terburu. Pikirannya kacau. Namun, baru beberapa langkah, seseorang menarik tangannya hingga Jungkook terpaksa menghentikan langkah sebelum menoleh ke arah pelaku, dan seketika matanya melebar.

“Yo-Yoongi?!

Yoongi tersenyum manis hingga Jungkook sulit mengalihkan atensi darinya. Penampilannya sungguh sempurna dengan kemeja putih dan jas hitam yang melekat di tubuhnya. Sangat tampan dan … Dewasa. Mengapa Jungkook baru menyadarinya sekarang?

“Hai, Jungkook.”

Jungkook gugup. Ia melirik ke arah laki-laki yang tadi bersama Yoongi. Laki-laki itu tengah tersenyum ramah, lalu mengangguk ketika tahu bahwa Jungkook menatapnya. Jungkook merasa tidak enak karenanya. Ia lantas melepas tautan tangan Yoongi darinya, tetapi Yoongi malah semakin mengeratkan pegangannya. 

“Yoongi, aku-” Jungkook masih berusaha melepasnya. Namun, percuma. Yoongi seperti tidak peduli apa pun. Pria itu malah mengajaknya untuk segera pergi dari tempat itu.

“Te-tetapi, bagaimana dengan keberangkatanmu ke Inggris?” tanya Jungkook. 

“Inggris?” tanya Yoongi. Ia menaikkan alisnya, menatap Jungkook dengan tatapan bingung. Yang ditatap ikut bingung. 

“Iya?”

“Aku tidak akan ke Inggris?”

“Hah? Tapi katanya kamu ke Inggris?”

“Kata siapa?”

“Namjoon?”

Yoongi menggeleng pelan. “Kau sudah dibohongi oleh si Kim itu.”

Jungkook mengernyitkan dahi. “Maksudnya bagaimana?”

“Yang ke Inggris itu Taehyung. Kim Taehyung, sepupuku. Kau lihat laki-laki yang bersamaku tadi?” kata Yoongi sembari menunjuk dengan ibu jarinya. Jungkook hanya melongo.

Ternyata bukan pacarnya.

“Astaga!” seru Jungkook.

“Kenapa?”

“Aku dibohongi Namjoon! Sialan! Awas saja dia! Akan kupukul wajahnya sampai babak belur!”

“Mau aku bantu?”

“Tidak perlu! Aku ingin memukulnya dengan tanganku sendiri! Bisa-bisanya dia membohongiku kalau kau akan ke Inggris sampai aku seperti orang kesurupan, buru-buru ke sini!”

“Takut aku pergi?”

“Hah?” Jungkook mendadak linglung.

“Takut aku pergi? Iya?”

“A-aku …”

Melihat Jungkook yang sepertinya kesulitan untuk menjawab, lantas Yoongi tersenyum. Ia mengusak rambut Jungkook dengan halus sebelum membawanya pergi dari tempat itu.

Jungkook meliriknya dengan ekor mata. Tidak mau menatap secara terang-terangan. Bagaimana bisa Yoongi menjadi sangat berbeda hari ini? Apakah karena ia memakai jas atau memang pembawaanya yang berubah? Tidak, tidak. Setiap hari pun, ia selalu memakai jas. Namun sekarang, mengapa jantung Jungkook tidak bisa ajak kompromi dan malah semakin berdebar tidak karuan tatkala ia mencium aroma parfum Yoongi yang begitu seksi, padahal itu wangi parfum yang biasa pria itu pakai.

Sial! Tidak masuk akal.

Tidak ingin terus larut dalam emosi yang tidak biasa dan keheningan yang membuat canggung, akhirnya Jungkook membuka suara. “Bagaimana kabarmu?”

“Baik.”

“Begitu ….”

“Iya. Omong-omong, kau membawa mobil?”

“Bawa. Kenapa?”

Jungkook menggeleng. “Tidak. Aku berencana untuk menculikmu hari ini.”

“Maksudmu?”

“Hari ini kau datang untukku, bukan?”

“Ya ….”

“Maka, ikutlah denganku.”

“Tapi mobilku?”

“Aku akan meminta orang untuk mengantarkannya ke tempatmu.”

“Baiklah.”

“Masuk, Jung.” Yoongi membukakan pintu mobil untuk Jungkook.

Sejenak, Jungkook menatap Yoongi dengan kernyit heran. “Mau ke mana?”

“Makan. Aku lapar. Belum sempat makan siang karena harus mengantar sepupuku.”

“Kalau begitu, biarkan aku yang menyetir,” kata Jungkook. “Kau duduk saja. Aku tidak mau menanggung risiko sebab membiarkan orang kelaparan menyetir mobil.”

“Hei, aku tidak akan pingsan saat menyetir hanya karena lapar,” protes Yoongi tidak terima.

“Biar aku saja.”

“Jung! Lagi-lagi, Yoongi sembarangan menarik lengan Jungkook hingga membuat lelaki Min itu membentur tubuh depan Yoongi. Yoongi lantas menahan punggung Jungkook agar tidak lekas menjauh. Lalu, satu tangan yang masih bebas, ia gunakan untuk merengkuh pinggang Jungkook. “Orang yang selalu memenuhi hatiku selama ini tidak boleh dibiarkan menyetir.” Yoongi bersuara lirih tepat di depan wajah Jungkook. Yang menjadi lawan bicaranya sontak memalingkan wajahnya dengan rona merah yang merambat cepat di kedua pipi putihnya. Ia tidak terbiasa berdekatan dengan Yoongi sampai seperti ini.

“Jangan terlalu dekat.” Jungkook mendorong wajah Yoongi. Namun, yang lebih tua justru semakin merapatkan tubuhnya.

“Yoongi. Ingat, ini masih di bandara. Banyak orang yang akan melihat. Apa yang akan mereka pikirkan jika melihat kita seperti ini?”

“Aku tidak peduli dengan yang orang lain pikirkan.”

“Tetapi aku peduli, Yoongi. Aku tidak mau orang lain berpikir macam-macam tentang kita.”

“Baiklah. Baiklah.” Yoongi melepaskan Jungkook, membuat lelaki Jeon itu menghembuskan napas lega. Berada sangat dekat dengan Yoongi membuat jantungnya berdebar tidak karuan hingga dirinya nyaris mati karena menahan napas dan menahan debaran terlalu lama.

“Masuk dan jadilah anak yang baik.” Tangan Yoongi terangkat, menyelipkan anak rambut ke belakang telinga Jungkook tanpa tahu bahwa si Jeon harus kembali menahan napas karenanya.

 

***

 

“Aku ada beberapa pertanyaan untukmu,” kata Jungkook saat mobil yang mereka tumpangi melaju dengan kecepatan sedang.

Yoongi menoleh dengan raut bertanya. “Apa?”

Jungkook menggigit bibir bawahnya. Agaknya, ia tidak percaya diri untuk mengatakan pertanyaannya. Aneh. Sebelumnya ia tidak pernah seperti ini, apalagi ketika bersama Yoongi. 

“Itu …”

“Katakan saja.”

“Seminggu ini kau ke mana saja? Mengapa tidak pernah menemuiku lagi? Apa kau marah karena kejadian itu sehingga kau tidak mau menemuiku lagi?” Jungkook mengatakannya dengan cepat, lalu menarik napas panjang setelah mengatakan semuanya. Hanya tiga pertanyaan yang ia lontarkan, tetapi terasa sangat menguras tenaga.

Mendadak, Yoongi menghentikan mobil pada detik saat Jungkook mengakhiri kalimatnya. Beruntung karena Yoongi membawa mobilnya dengan pelan.

“Jungkook, aku tidak tahu apa maksudmu, tetapi, apakah kau merindukanku?” tanya Yoongi yang sialnya membuat wajah Jungkook merona. Yoongi jelas melihat hal itu. Tanpa jawaban dari Jungkook pun, ia tahu bahwa jawabannya adalah iya.

“Aku bertanya padamu. Mengapa kau melontarkan pertanyaan balik?!”

Yoongi terkekeh. Jungkook sangat manis ketika malu-malu seperti itu. “Aku akan senang kalau kau memang merindukanku.” Yoongi mengusap tengkuknya.

“Yoongi …” Jungkook meremas kausnya, menunduk dan tampak gelisah. Ia ingin mengatakan sesuatu kembali, tetapi ragu.

“Iya?” Yoongi menoleh, menunggu ucapan lanjutan dari bibir Jungkook. Namun, yang ia dapatkan justru Jungkook yang semakin tenggelam dalam kerisauan. Dalam pikiran, Yoongi bertanya-tanya. Ia takut Jungkook seperti itu karena merasa tidak nyaman.

Mata mereka saling bertemu pandang. Lama sekali hingga Jungkook memberanikan diri untuk melanjutkan kata-katanya.

“Seminggu ini, banyak hal yang aku pikirkan. Tentangmu. Aku … Merasa aneh karena kau tidak mendatangiku lagi setelah kejadian itu. Aku jadi takut, lalu berpikir … Mungkinkah Yoongi sudah tidak mau melihatku lagi? Mungkinkah Yoongi jijik denganku? Mungkinkah Yoongi membenciku? Awalnya, kukira hal itu malah membuatku tenang karena tidak ada kamu yang selalu mengganggu, tetapi nyatanya seminggu ini rasanya sangat sulit … Aku ingin melihatmu. Aku merindukanmu …”

Hening. Yoongi mengerjap. Sedikit tidak percaya dengan pendengarannya sendiri. Apakah baru saja Jungkook mengucapkan rindu?

“A-apa?” Suara Yoongi bergetar. Demi apa pun ia belum siap mendengar semua itu dari mulut Jungkook.

“Aku merindukanmu, Yoongi …” Jungkook kemudian tertawa canggung. “Maaf, jika ini membuatmu tidak nyaman.”

“Tidak.” Yoongi cepat-cepat menggeleng. “Sama sekali tidak. Seminggu ini aku memang kesal, dan ingin menenangkan diri. Namun, percayalah aku tidak membencimu. Kau masih Jungkook yang sama di mataku, yang membuatku jatuh berkali-kali. Maka, jangan berpikiran terlalu jauh.”

“Begitu, ya?” Jungkook mendekatkan wajah dan mengecup cepat bibir Yoongi, membuat pria Min itu seketika cengo. “Kalau begitu, terima kasih, Yoongi,” ucap Jungkook setelahnya.

“Jung. I-ini bukan mimpi, ‘kan?” Yoongi kemudian menampar pipinya sendiri. Takut jika itu mimpi. Namun, ia merasakan sakit. Jadi, bukan mimpi?

Jungkook tertawa kecil. Pria Min itu sangat lucu. Seharusnya, satu-satunya orang yang gugup di sini adalah Jungkook. Mengapa Yoongi malah ikut gugup seperti itu? Namun, hal itu justru membuat Jungkook merasa lega karena dirinya bukan satu-satunya orang yang merasakan suasana gugup yang sangat menjengkelkan.

 

***

 

Waktu terasa berjalan cukup menyenangkan sejak Jungkook mulai terbuka dengan perasaannya. Belum sepenuhnya terbuka, tetapi ia tidak lagi banyak menyangkal kalau sebenarnya dirinya memang menyukai pria Min itu. Hanya saja, untuk mengatakan secara terang-terangan, ia belum sanggup. Ia malu. Membayangkan Namjoon menertawakan dirinya saja terasa sangat menjengkelkan.

Omong-omong, Namjoon sudah jarang berkunjung ke  apartemen Jungkook. Yoongi tidak segan untuk menendang bokong si Kim jika, pria itu tetap melakukannya. Yoongi menjadi posesif sejak waktu itu, dan sejujurnya Jungkook diam-diam menyukainya. Akan tetapi, keposesifan Yoongi belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan keposesifan Jungkook pada lelaki pemilik mata senyum gula. 

Pernah suatu kali, ketika seseorang mengirimi Yoongi pesan yang isinya ajakan untuk bertemu, Jungkook marah-marah tidak jelas, sampai pemilik mata rusa itu membalas si oknum dengan kata-kata kasar. Yoongi sampai dibuat bingung. Namun, diam-diam ia merasa senang. Jungkook sangat manis. Selalu begitu di matanya, di otaknya. Mungkin jika Jungkook melakukan tindak kriminal pun, Yoongi akan tetap menganggap laki-laki itu manis. Yoongi memang segila itu dengan Jungkook. Namun, jangan salah sangka, mereka belum terikat dalam suatu hubungan.

“Mengapa menatapku seperti itu?” Jungkook bertanya ketika mendapati Yoongi tidak berkedip menatapnya.

Pria yang ditanya hanya menggeleng pelan sembari mengulas senyum. “Tidak.”

“Katakan!”

“Apa?”

“Aku aneh? Ada cabai di gigiku? Atau ada belek di mataku?”

“Tidak, tidak.”

“Lalu?”

“Kau manis. Manis sekali.”

Dengan segera, semburat merah menyebar di wajah Jungkook sampai telinga. Ia langsung menunduk. Mengaduk-aduk es krim di mangkuknya, tidak berani menatap Yoongi yang terus memujinya.

“Mau ke mana lagi setelah ini?” tanya Yoongi, membuat Jungkook mendongak.

“Bioskop?”

***

Bioskop agak sepi, mungkin karena bukan hari libur. Hal itu lantas disyukuri oleh Jungkook karena ia tidak akan lelah mengantri hanya untuk mendapatkan dua lembar tiket.

“Biar aku yang membeli tiket,” kata Yoongi.

Jungkook mengangguk, “Kalau begitu aku beli popcorn sama milo.”

Setelahnya mereka berpisah, melakukan apa yang mereka ucapkan, dan berjanji bertemu di tempat yang sama. Namun, sekembalinya Jungkook dari membeli popcorn  dan milo, ia melihat Yoongi tengah berbincang dengan seorang gadis. Mereka terlihat begitu asyik mengobrol, entah membicarakan apa, yang jelas, Jungkook tidak suka dengan pemaandangan itu.

Jungkook memasang wajah jengkelnya, lalu berjalan dengan percaya diri menuju Yoongi dan gadis itu. Tanpa basa-basi, Jungkook langsung mendudukkan diri di pangkuan Yoongi, lalu menoleh, menatap gadis itu dengan tatapan paling tidak suka.

“Pergi. Pria ini milikku,” kata Jungkook ketus, yang kemudian membuat gadis itu langsung beranjak dengan raut sebal.

“Hei, kau kenapa?” tanya Yoongi yang kebingungan.

“Aku sedang jengkel. Baru saja priaku digoda orang lain.”

Yoongi sontak terkekeh. Tangannya bergerak melingkari pinggang Jungkook yang masih duduk di pangkuannya. “Priamu, ya?”

“Eh?” Mata Jungkook melebar. Rona merah segera menjalar di pipi. “Maaf.” Ia hendak turun dari pangkuan Yoongi, tetapi ditahan oleh pria Min.

“Begini saja, tidak apa-apa. Aku suka.”

“Ta-tapi aku-”

“Ssstt.” Yoongi menaruh telunjuknya di bilah Jungkook sebelum kemudian ia mengusap bibir merah itu dengan ibu jarinya. Demi Tuhan, rasanya jantung Jungkook akan lompat dari rongganya jika Yoongi terus melakukannya.

“Yoongi, film akan mulai,” cicit Jungkook.

“Masih mau menonton?” Yoongi kemudian mendekat, lalu berbisik. “Aku lebih suka kita pergi dari sini lalu menyewa hotel.”

Jungkook memukul bahu Yoongi. “Jangan bercanda.”

Yoongi tertawa. “Iya, iya. Ayo masuk studio.”

“Hmm.”

“Kamu tidak mau turun? Atau mau kugendong?”

“Yoongi, aku sedang berpikir.”

“Apa?”

“Ayo sewa hotel saja.”

Yoongi  mengerjap. “Hah?”

“Aku serius.”

“Ta-tapi mengapa?”

“Punyamu keras,” kata Jungkook pelan. Ia kembali menyembunyikan wajah, menumpu hidung bangirnya di ceruk leher Yoongi. “Itu karena aku, ‘kan?”

“Jung, aku baik-baik saja. Jangan khawatir, aku bisa atasi ini.”

“Tidak mau aku bantu?”

Yoongi menggeleng. “Belum waktunya.”

Jungkook memiringkan kepalanya. “Apa maksudnya? Ah, sebentar, aku turun, ya. Malu dilihat penjaga tiket.”

Yoongi mengangguk, lalu mengizinkan Jungkook turun dari pangkuan. Lelaki Jeon itu langsung duduk di sampingnya sambil mengulang pertanyaan sebelumnya. Lalu Yoongi tersenyum. Tangannya terulur mengelus puncak kepala Jungkook.

“Kita belum ada hubungan.”

“Harus ada hubungan?”

“Bagiku, iya.”

“Ya sudah, ayo pacaran,” kata Jungkook, tetapi Yoongi menggeleng, membuat Jungkook mengernyit bingung. “Tidak mau? Aku ditolak?” Jungkook berubah murung, kentara dari nada bicaranya yang terdengar kecewa.

“Bukan begitu. Aku ingin kita menikah saja. Jungkook, ayo menikah.”

Jungkook mengerjap. “Tunggu- apa?”

“Menikah.”

Mata Jungkook  melebar, kentara sekali ia bingung. Lalu, ia menunduk sembari bergumam “Mau …”

Mendengar gumaman Jungkook, hampir saja Yoongi melompat dan bersorak senang, tetapi ia masih sadar tempat.

“Ya Tuhan!”

“Kenapa?”

“Aku seperti mimpi.”

Jungkook menyenggol bahu Yoongi. “Jangan keras-keras,” katanya sembari melirik-lirik ke sekitar.

Melihat raut Jungkook yang panik, Yoongi malah terkekeh.

“Jadi nonton?” tanyanya kemudian.

Jungkook lantas mengangguk. “Jadi.”

“Ayo.” Yoongi menggandeng tangan Jungkook, sementara lelaki Jeon itu menurut.

Sembari berjalan menuju studio satu, Yoongi berkata, “Kalau mama ingin bertemu kamu, kamu siap?”

Jungkook menatap Yoongi, kemudian mengangguk yakin. “Kenapa tidak?”

Keduanya menghentikan langkah, lalu saling menatap satu sama lain. Ada hening sejenak sebelum keduanya saling melempar senyum.

“Jungkook, I love you.”

“I love you too.”

Kali ini Jungkook tanpa ragu mengatakannya. I love you … Kalimat yang ia pikir sebelumnya mustahil diucapkan pada orang lain, tetapi kini ia yakin mengatakannya kepada seorang pria bernama Min Yoongi. Pria yang katanya sama sekali tidak ia suka, dulu. []

 

FIN

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “IMPOSSIBILITY (Fiikookie07)”
Beranda
Cari
Bayar
Order