Kekata yang Tertahan (Panacrane/Fanbook Buyer)

Author: saga_project

KEKATA YANG TERTAHAN
OLEH FANFADH

belum lagi sentuh pagi, namun punggung sudah dampar di atas rumput padang dandelion—berteman dengan embun bersamaan sisa bintang yang hampir ditarik pulang oleh malam.

 

pemuda berambut ikal itu risak kantung celana untuk saratkan belah ingatan menemukan airpods kebanggaan yang selalu singsing padanya.

 

tarikan berikutnya, telinganya berhasil disumbat dengan dua buds yang lanjut putarkan satu lagu.

 

“maybe it’s the way you say my name, maybe it’s the way you play your game.”

 

ada lengan yang di arahkan ke sebalik kepala untuk sandarkan pikiran tetap pada tempatnya. sebelum melayang lebih jauh pada sosok yang di harapkan wujudnya.

 

mata terpejam untuk sumbat pikiran lebih ringan. namun ayal imaji bertubrukan lebih raung—bawa sang pucat tenggelam lebih dalam.

 

“yuyun!”

 

jeon jungkook adalah pemuda yang sangat indah, hidung yang mengacung lurus sebagai hiasan dari hasil pahatan sempurna tuhan. okulus yang dinaungi silia lentik, menemani alis yang bersangga cantik. bibir lembut dihiasi tanam titik menggemaskan, menemani fitur rahang yang tegas.

 

indah. ya, terlampau indah sampai-sampai pemuda pucat ini salah menempatkan perasaan.

 

“but it’s so good, i’ve never known anybody like you. but it’s so good, i’ve never dreamed of nobody like you.”

 

kata ia, jeon jungkooknya berbeda. tak pernah terbayang sebelumnya. pula perasaan yang dimunculkan adalah berkah dari yang maha kuasa. bahwa tak apa, jika ia ada perasaan baru menganga terbuka.

 

bodoh, kalau kata banyak orang.

 

“yun, nanti temani aku membeli ikat rambut imut lagi, ya?” itu katanya siang hari tepat sebelum berpisah masuk kelas.

 

dan kini sore hari, membawa yoongi memasuki toko pernak-pernik. kegemaran pemuda jung untuk membiarkan rambutnya memanjang dan pilih mengikat mereka menggunakan karet gelang beraksen lucu.

 

hari ini dia membawa pulang dua ikatan berhias kucing dan tupai, lalu menyerahkan satu ikatan pada yang berambut legam. “yuyun, ikatkan rambutku!”

 

“min yoongi! ikatkan!” dan memanggil lagi dengan tangan kibak depan wajah kala yang jenama min yoongi masih terdiam ratapi wajah cantik itu berbicara.

 

pula min yoongi hanya terkekeh kecil atas wajah tertekuk yang patri pada hasil sempurna pahatan tuhan itu.

 

tangannya terulur, menisih helai rambut yang lembut itu pada kapalan tangannya sebelum kait pada karet gelang itu.

 

ah, jungkook bahkan tidak tahu bagaimana jantung yoongi berdetak laju karena melihat wajah itu sedari jarak dekat.

 

“sudah.” kata yoongi kala selesai dari misi sederhana itu, bahkan terlampau remeh. namun hasil buah tangannya kembalikan sabuah sunyum cerah tangsik di wajah—dan itu, lagi, adalah berkah.

 

wajah itu bersinar karena senyum yang rajut di sana, “terima kasih!” adalah belitan frasa yang ucap di ujung lidah ketika ia lanjut berjalan perlahan, dengan pasti mengarak kaki mungilnya yang bersepatu gadang menuju padang bunga dandelion—bahkan sang pucat tak bertanya, hanya pilih ikut menemaninya berjalan. segalanya akan dia lakukan, untuk jungkook-nya.

 

“and i’ve heard of a love that comes once in a lifetime.
and i’m pretty sure that you are that love of mine.”

 

“ingin menari lagi?” tanya yoongi kala pemuda jung mengeluarkan speaker dari tas punggung—menyetelnya baring taruh di tanah, atas rumput, sebelum mengeluarkan nada lembut teralun.

 

“iya, yun! hari ini kamu jadi audiens lagi!” dia tertawa, tawa yang begitu indah terdengar mengerling di rungunya.

 

yoongi ingat betul bagaimana wujud tariannya pada sore itu, lembut dan lugas bersamaan dengan fabrik yang bertabrak rujukan angin. berputar ke sana dan ke mari membentuk pola acak yang masih terlalu menawan buat dipandang.

 

“‘cause i’m in a field of dandelions
wishing on every one that you’ll be mine, mine

and i see forever in your eyes
i feel okay when i see you smile, smile

wishing on dandelions all of the time
praying to god that one day you’ll be mine

wishing on dandelions all of the time, all of the time.”

 

namun sial, bahkan saat langit tak berdebu—hujan mulai merintihkan rasa sedih. karena itu pula kedua sahabat itu melarikan diri, meninggalkan padang dandelion kembali menyepi.

 

ada tawa mengiringi pelarian, langkah lebar yang dengan cepat bawakan diri sedikit elakan—melindungi sedikitnya fabrik dari rembesan air mata langit.

 

hujan memang gila, mengejar dua remaja yang tengah ditelan cinta dan kasmaran—setidaknya, salah satunya.

 

tak sopan, sanggah yoongi pada batinnya.

 

tahu betul keduanya, tiap hujan singgah—tujuan pelarian mereka adalah rumah sewa yoongi, yang paling dekat dari sana.

 

memang, melarikan diri dari hujan tidak seburuk itu. karena pada akhir hari, mereka akan berdiam diri di kamar hangat yoongi—hanya berdua.

 

di kamar remang lampu, min yoongi selalu menunggu jungkook yang mandi terlebih dahulu—selalu keluar dari rubanah basah itu tanpa pakaian utuh. hanya celana dan handuk gantung di kepala.

 

jeon jungkook yang cantik terkadang bajingan, sengaja buka-bukaan—katanya karena mereka sesama jantan.

 

tak tahu saja, tiap ini terjadi, denyut jantung yoongi seolah marathon pagi—degup jantung kencang tak ada henti. dan sialan, jeon jungkook bahkan tak tahu fakta ini.

 

ingat mati.

 

adalah perasaan yoongi yang tatap liuk indah dari berkas air hangat yang mengalir pada selisih kulit. rambut masih rembes akan air kala handuk masih rapih goreskan satu sama lain dengan surai legamnya.

 

senyumnya teraju, dengan hawa hangat-dingin yang bercampur. bisa membuat yoongi merona pada pipi sekian kali lagi.

 

indah, terlalu indah. bahkan hati ingin menyerah, pasrah.

 

“yuyun, mau aku bantu mengeringkan rambutmu?” dia berkata.

 

ah, ya. benar. jeon jungkook kadang bajingan—pintar memainkan perasaan, karena min yoongi tau keadaan, hatinya seolah mainan.

 

yoongi mengangguk, membiarkan jungkook duduk dengan paha mengantara kepalanya. perlahan mengarah handuk untuk mengusak rambut basahnya.

 

hanya diam, termakan alunan suasana yang menenangkan—menyesak dada untuk kehilangan napas lebih berat.

 

“gguk-ah, kenapa kamu menari?”

 

adalah tanya yoongi pertama kali, pula sang pemuda yang mengeringkan kepala menjawab, “karena yuyun yang memainkan musiknya.” dan tersenyum ringan, tanpa rasa bersalah.

 

ada tanya lagi datang berbunyi “apa kamu menyukai musikku?” bersamaan dengan anggukan sebagai jawaban.

 

hening menyentuh sekejap, sebelum yoongi membawa satu pertanyaan lagi “apa lagi yang kamu suka?”

 

“aku suka ikat rambut!”

 

“kenapa?”

 

“yuyun yang memakaikannya untukku, hehe!”

 

sungguh kurang ajar, jeon jungkook. tak tahukah kamu min yoongi ini kembali berdegup kencang?

 

what about crushes?” harus ada yang bertanya, dan yoongi-lah yang harus menanyakannya.

 

dia masih memandangi jungkook yang tampak berpikir, “aku tidak tertarik pada gadis mana pun di sekolah, bagaimana dengan model majalah panas, sunmi? ahaha!” katanya.

 

jawaban itu menjeda detak jantung yoongi sekejap, membuat sang pemuda memamerkan senyum mirisnya.

 

dan lagi ketika jungkook menampakkan wajah indahnya di hadapan yoongi, memamerkan senyuman terbaiknya. jarak yang dapat terhitung senti membuat sang pemuda dengan rambut ikal itu kesulitan untuk bernapas.

 

namun lagi, senyuman dan tatapan hangat itu tak pernah membuat pemuda min merasa lebih hidup dari ini, lebih bebas dari ini.

 

setidaknya dia bahagia, bukan begitu? cintanya yang datang sekali seumur hidup diperuntukkan kepada seorang jungkook—yoongi tidak keberatan.

 

tentu saja, setidaknya mengetahui jungkook berorientasi hetero lebih baik ketimbang mendengar nama laki-laki lain tersebutkan.

 

 i think that you are the one for me
’cause it gets so hard to breathe
when you’re looking at me

i’ve never felt so alive and free

when you’re looking at me,
i’ve never felt so happy.

and i’ve heard of a love that comes once in a lifetime,
and i’m pretty sure that you are that love of mine.”

 

menjadi milikku? persetan dengan harapan bodoh itu, min yoongi sudah kalah telak bahkan sebelum mencoba.

 

ah… sialan, pathetic.

 

sang pemuda masih menyesapi bait lirik dari lagu yang berputar itu memandang sekeliling—tentu saja, dandelion.

 

taman dandelion, pula pemuda min kebingungan mengapa ia memilih mengelanakan pikirannya di sini pada dini hari—pada tempat yang seringnya menjadi saksi bisu terkikisnya perasaan yoongi untuk dia.

 

mungkin itu karena dandelion begitu lembut, mungkin karena gerakan rekah putik yang bergerak bebas, atau warna putih yang begitu polos. atau sekedar karena taman itu yang paling dekat di rumahnya.

 

entahlah, pula pengindraan layak telah usai—membuat yoongi mengarah pandangan hanya pada dandelion yang resuk di tiup angin.

 

bulu-bulu putih sebagai penghias sedikit demi sedikit mulai aus berterbangan. beberapa dandelion hanya tersisa tangkai.

 

“wishing on dandelions all of the time
praying to god that one day you’ll be mine
wishing on dandelions all of the time, all of the time

dandelion, into the wind you go
won’t you let my darling know?

dandelion, into the wind you go
won’t you let my darling know that?”

 

bodoh, itu yang batin ketika ada imaji singgah setengah hati.

 

min yoongi, mungkin benar elegi, jadi ketika ia bangkit dari baring—terduduk untuk ratap helai putik dandelion—dia mungkin sudah memilih pasrah.

 

jemari kurus itu sentuhkan halus tangkai, tersenyum kalut pada hasil buah pikirnya.

 

“dandelion, tolong sampaikan perasaanku pada jungkook.”

 

“aku tahu, sedari awal harusnya perasaan ini tidak boleh ada. perasaan antarpria, yang muncul di antara persahabatan.”

 

“iya, aku mencintainya. lebih dari seorang teman, aku mencintainya as his lover.”

 

“bukankah aku bodoh? perasaan bodoh yang sudah tertanam sejak lama. seperti pengecut, tak pernah berani menyampaikannya. terlebih kamu yang tak mungkin membalasnya.”

 

“maaf, mungkin persahabatan kita akan rusak. maaf, mungkin aku akan berhenti sampai di sini.”

 

“kamu hampir menjadi nyawaku, jungkook. setiap saat teringat kamu, sesaat berikutnya teringat aku tidak bisa memilikimu.”

 

“naif. ya… aku sangat naif ketika berpikir untuk membiarkan perasaanku di sini. membiarkan diriku terluka, saat senyummu menjadi satu-satunya penerang duniaku.”

 

“bukannya aku tak ingin terus bersamamu, malah karena bersamamu aku merasa begitu bebas. kamu seolah duniaku, tapi kamu juga orang yang menggerogotiku dari dalam.”

 

“perasaanku yang tak mungkin terbalas, apa harus terus aku tanggung sendiri? bahkan ketika aku sangat ingin memilikimu?”

 

kala itu air mata perlahan mengalir, begitu laju hingga telapak tangan naik untuk menutupinya. hanya isak keras yang terdengar sejauh pandang terbentang, delisik angin bersembunyi dari sang pengadu.

 

sekali lagi, hanya sekali lagi yoongi ingin menyampaikan perasaannya. bahwa

 

“…aku mencintaimu, jeon jungkook.”

 

ketika itu, min yoongi meniupkan rumpun putik dandelion tersebut. memejam matanya untuk menerima belaian angin, sebelum sebuah suara menghancurkan segala ketenangannya.

 

“kamu mencintaiku?” itu suaranya.

 

saat itu netra yang berambut ikal berarak cepat, mendapati sesosok pemuda tegak di sana. tepat pada pemuda yang tak pernah ia harap kedatangannya, dengan celana bahan dan sweater pelangi kesukaannya.

 

dan yoongi merasa jatuh. kali ini bukan kebahagiaan, namun kepedihan yang terasa. yoongi dapat melihat bagaimana raut wajahnya berubah. visinya berkabut karena air mata, namun wajah itu mengatakan sesuatu yang kemudian hanya bisa yoongi terka.

 

biarkan saja…

 

yoongi yang akan membela diri akhirnya berhenti. kali ini yoongi tidak akan kabur seperti biasanya. untuk kali ini, mungkin yang terakhir kali, yoongi tidak akan menjadi seorang pengecut.

 

biarlah hancur persahabatannya, biarlah mereka berhenti berbicara.

 

yoongi menatap dalam gemilap mata itu, “maaf, gguk-ah… aku memang mencintaimu.”

 

dia bangkit dari dari duduknya, memantapkan hati untuk kembali membentang senyum.

 

“ahaha, aku rasa hubungan kita sampai di sini saja.” kamu pasti jijik padaku.

 

pula yoongi berjalan melewati jungkook yang menahan wajah kakunya, kemudian menundukkan pandangan.

 

ah… sakit ya?

 

yoongi baru saja akan menghilang, jika saja bibir itu tak mengeluarkan suara, “sampai sini saja? aku tidak bilang aku menolakmu.”

 

dan di sana yoongi kembali stagnan, memikirkan apa yang baru saja jeon jungkook katakan. “hah?” derunya.

 

lalu saat ia menoleh kembali pada pemuda itu, yang matanya bersinar dengan senyuman manis berkata lembut.

 

“yuyun, aku rasa aku juga jatuh cinta padamu.”[]

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “Kekata yang Tertahan (Panacrane/Fanbook Buyer)”
Beranda
Cari
Bayar
Order