Lift Birth
Warning: Mpreg, Graphic birth scene.
Rating: R18+
.
.
.
Miinalee’s 2013 Archive
Re-casted
.
.
.
Jungkook mendengus. Kalau saja ia tidak ingat sedang mengandung, pemuda itu pasti sudah melangkah kasar sambil menghentak-hentak, merutuk pada semua orang dan benda yang berpapasan dengannya di koridor apartemen.
Baru tadi malam, ia dan suaminya berdamai setelah dua hari Jungkook merajuk habis-habisan. Jungkook sudah memaafkan Yoongi, sungguh! Tapi itu tadi malam, pengampunannya ikut sirna saat Yoongi menghilang dari kamar mereka hari ini –sejak pagi buta tadi.
“Apa susahnya sih ambil cuti seminggu saja?” Jungkook merengek, seorang diri. Tanpa sadar bibirnya mengerucut maju. Rasanya IA ingin menangis saking kesalnya. Ia sudah nyaris ‘overdue’, bahkan dokter sudah mengingatkan kalau waktu kelahiran putri mereka sudah mendekati hitungan hari.
Dan hebatnya, Yoongi masih ngotot mengunjungi studionya dengan beragam alasan. Meski tiap waktu juga pria itu mengatakan akan pulang cepat demi Jungkook.
“Demi aku, katanya! Dasar pembohong!”
Sekali lagi, Jungkook mengeluh, tanpa sadar ia menghentakkan kakinya sekali, dan segera disesalinya karena perbuatan cerobohnya itu membuat perutnya langsung berdenyut nyeri.
“Uh.” Jungkook menopang tubuhnya dengan berpegang ke dinding lorong apartemen, tangan kanannya refleks mengusap-usap perut, membuat hoodie besar yang dikenakannya ikut meliuk menunjukkan ukuran asli perutnya yang tersamar sebelumnya. Jungkook menggigit bibirnya sambil meringis pelan. Dua hari terakhir ini sakit yang menderanya terasa tidak biasa, tapi Jungkook terus-terusan mengabaikannya.
“Anda baik-baik saja, sir?” seseorang bertanya dari belakang. Jungkook berbalik, masih sambil meringis dan memegangi bawah perutnya saat ia berhadapan dengan seorang pemuda bertubuh tinggi menjulang dan… berwajah tampan.
Jungkook memejamkan matanya sebentar, saat sakit diperutnya berangsur-angsur menghilang, ia menggeleng lemah sebagai jawaban. Jujur, Jungkook sering diam-diam menikmati tampilan pemuda jangkung berwajah tampan. Itu hobi yang disembunyikannya dari suami, takut menimbulkan drama. Lagipula hobi hanya sekedar hobi. Tapi kali ini saat dihadapkan dengan satu sosok serupa model bertubuh tinggi berwajah rupawan, Jungkook tetap tidak dalam mood yang baik.
Jungkook kembali berdiri tanpa bertopang pada apapun, ia melanjutkan langkahnya menuju lift di ujung koridor –sama sekali tidak mempedulikan pemuda tadi.
Tanpa menengok, Jungkook tahu kalau pemuda tadi ikut melangkah dibelakangnya. Sama seperti dirinya, pemuda tadi pasti bermaksud menuju lift. Karena itu Jungkook tidak mungkin memarahinya meskipun moodnya benar-benar jelek dan ingin sekali ia berteriak-teriak di wajah pemuda tadi untuk tidak mengikuti langkahnya. Jungkook menahan emosinya, pada awalnya… Sampai ia menyadari kalau pemuda tadi terus-terusan memandang ke arahnya.
Tepatnya, ke arah perutnya.
“Lihat apa? Tidak pernah melihat orang hamil, hah?!” bentak Jungkook ketus.
Pemuda tampan tadi hanya menggeleng, lalu tersenyum manis. Raut wajahnya menunjukkan kalau ia adalah pemuda penyabar.
“Bukan. Melihat anda, aku jadi ingat ‘hyung’ku. Kemarin ia baru saja melahirkan, bayinya cantik sekali,” jawab pemuda itu sembari menekan tombol panah bawah dan pintu lift tertutup. Jungkook terdiam, sambil merengut kesal ia mengusap-usap perutnya, mencoba mengabaikan tatapan aneh dari pemuda di sisinya.
Sekali lagi, pemuda tampan tadi melirik ke arah Jungkook, lalu tersenyum. Antara kagum dan terpesona. Tentu di masa ini, pemuda-pemuda mengandung bukan lagi penampakan aneh. Tapi tetap saja, bagi Taehyung, pemuda-pemuda yang bersedia mengandung sama mulianya seperti seorang ibu –wanita. Makin mulia lagi saat pemuda itu secantik sosok yang ada di sisinya ini.
Sayang sekali ia sudah menikah… Taehyung tersenyum masam. Lengan panjang hoodie yang dikenakan pemuda ini sama sekali tidak menyembunyikan cincin emas yang melingkar di jari manisnya. Ditambah lagi dengan ekspresi tidak bersahabat pemuda ini… Taehyung makin merasa canggung untuk memulai obrolan. Dan berakhirlah mereka dalam kesunyian lift, yang terdengar hanya suara samar mesin lift tiap kali satu lantai terlewati. Sunyi sekali… Sampai tiba-tiba…
DREK!
Dua orang di dalam lift itu spontan berpegang ke dinding lift saat lift berhenti tiba-tiba. Taehyung melotot kaget, sama seperti Jungkook. Mereka sama-sama melirik tombol lampu yang masih menunjukkan angka 9.
Jungkook dengan gugup menekan semua tombol di sisi pintu lift. Namun tidak terjadi apapun. Jangankan bergerak, pintu lift ini pun menolak untuk terbuka. “Kenapa ini? Liftnya kenapa?”
“Tenang— sebentar,” Taehyung meremas bahu pemuda itu –bermaksud menenangkannya. Ia bergegas menekan tombol ’emergency’, berusaha tersambung dengan petugas lift.
Sekali… Dua kali… Tidak ada jawaban.
Taehyung memandang tombol-tombol di hadapannya tegang. Lalu ia berbalik melirik Jungkook yang sekarang bersandar lemas ke dinding lift. Memang Taehyung sudah biasa bertemu dengan pemuda hamil, namun terjebak di dalam lift bersama seorang pemuda yang tampak ‘overdue’… Demi Tuhan baru kali ini.
“Sepertinya kita harus menunggu sampai petugas lift menjawab…” Taehyung berbisik, bermaksud menenangkan suasana meski ia sendiri merasa tegang luar biasa.
“Nggghhh!”
Suara rintihan barusan mengejutkan Taehyung. Pemuda lajang bertubuh jangkung itu menelan ludah gugup. Ia tidak berani berbalik, awalnya, tapi saat suara rintihan sakit itu makin mengeras, hati malaikat Taehyung tergugah –tidak mungkin ia sanggup mengabaikannya.
Ya Tuhan, jangan bilang prediksi terburuknya jadi kenyataan…
Taehyung berpaling gugup..
Dipojok lift, duduk dilantai sambil bersandar kebelakang –sang pemuda yang tadi sempat menarik perhatian Taehyung. Raut ketus yang tadi menghiasi wajahnya sudah berubah menjadi ringisan penuh derita. Pemuda itu mencengkeram perutnya. Kedua kakinya bergetar. Ia tertunduk, meringis, lalu mendesis. Sungguh pemandangan yang benar-benar menggungah simpati seorang anak malaikat macam Taehyung.
Jungkook bernapas tersendat-sendat. Sambil mencengkeram bawah perutnya, pemuda itu merutuk dan mencaci seseorang diantara napas beratnya.
“K-kau baik-baik saja?” Taehyung bertanya gugup. Ia mengulurkan tangan bermaksud menawarkan bantuan, namun tanpa diduga-duga, pemuda itu menampik uluran tangannya sambil merutuk.
“APA AKU KELIHATAN BAIK-BAIK SAJA, BODOH?!” umpatnya sembari terengah-engah.
“E-eh, t-tidak— t-tapi…” Taehyung menyahut pelan, setengah berbisik. Ia benar-benar bingung harus melakukan apa. Pemuda ini bahkan tidak membiarkan Taehyung menyentuhnya, bagaimana Taehyung bisa menolongnya?
Jungkook memutar bola matanya. Diantara dadanya yang naik-turun lelah, Jungkook masih sempat berkomentar dalam hati, mengritik betapa penampilan luar pemuda di hadapannya ini tidak serasi dengan sikap lembeknya. Jungkook mendengus, ia membuka mulut –bermaksud mencibir namun bukan komentar pedas yang keluar, justru desisan pedih yang meluncur dari bibirnya.
“Arrrhhh!” Jungkook nyaris menjerit, mulas dan perih di perutnya menjalar makin kuat. Otot di sekitar pinggang dan selangkangannya mengencang, membuat Jungkook harus membungkuk sambil mencengkeram perutnya erat. Jungkook bernafas makin terengah-engah.
Taehyung menunduk, ia tidak bisa mengabaikan suara gemercik air saat ia mengangkat dan menapakkan sepatunya dari lantai lift. Sebanyak ini… tidak mungkin air seni kan? Jangan bilang genangan air ini…
Ketuban?
Dua pemuda di dalam lift itu sama-sama melotot, memandang air keruh yang menggenang di lantai dengan raut penuh teror.
Jungkook nyaris menangis saat ia menyadari basah dan hangat itu berasal dari tubuhnya, terus merembes dari balik jeans longgar yang dikenakannya dan mengalir lalu menggenang di lantai lift tempat ia terduduk.
“Oh, Tuhan. Jangan sekarang…” desis Jungkook, terisak tanpa airmata. Padahal dokter mengatakan kalau ia harus melahirkan melalui sesar. Karena jalur keluar miliknya terlalu sempit, dokter sudah menyarankan jalan terbaik adalah operasi. Dengan operasi, Jungkook tidak akan merasakan sakit sama sekali. Jungkook tentu bahagia sekali mengingat saran ini, tapi di dalam situasi seperti ini… Terjebak di dalam lift bersama pemuda bertubuh jangkung yang tidak bisa diandalkan sama sekali…
Jungkook tidak bisa berharap banyak. Petugas lift yang makan gaji buta, dan HEI! INI KAN APARTEMEN MEWAH! KENAPA BISA TERJADI HAL SEPERTI INI SIH?! Jungkook benar-benar pasrah sekarang…
Tapi kalaupun harus melahirkan secara normal, Jungkook tidak rela melalui situasi ini sendirian. DEMI TUHAN IA TIDAK RELA! Setidaknya Yoongi harus ikut tersiksa saat ia terpaksa melahirkan secara normal!
Buru-buru Jungkook menarik keluar ponselnya, untung benda kecil itu tidak ikut basah meski Jungkook meletakannya di saku jeans. Setelah bersusah payah mendial nomor yang benar, beberapa saat terdengar suara seseorang menjawab di sebrang telpon.
“Baby? Maaf tadi aku pergi sebentar. Aku sudah di jalan, tunggu ya. Tunggu.”
Jungkook tidak mendengarkan ucapan suaminya barusan. Ia menarik napas kuat-kuat, dengan emosi membara dan sedikit tenaga yang tersisa, Jungkook menjerit dengan suara melengking –mengejutkan Taehyung sekaligus orang di sebrang sana.
“STUPID MIN YOONGI! AKU TERJEBAK DI DALAM LIFT DAN SEMUA INI SALAHMU!”
Wow, Jungkook sendiri heran dari mana datangnya tenaga barusan. Yang pasti ia senang bisa meluapkan emosinya sekarang.
“Keluarkan aku dari tempat ini sekarang! Sekarang! Sekarang!”
“Saya—”
DUGH!
Jungkook membanting ponselnya tanpa pikir panjang. Benda malang itu menghantam pintu lift dan jatuh remuk di lantai. Baru setelah benda itu remuk… Jungkook sadar kalau ponsel itu satu-satunya cara ia tetap bisa berkomunikasi dengan Yoongi. Tapi masa bodo, Jungkook benar-benar emosi sekarang. Menahan sakit sambil mendengar suara tenang Yoongi sudah cukup baginya. Ia bahkan tidak sempat merutuk lagi karena sakit diperutnya kembali menghantamnya tiba-tiba, tidak memberi kesempatan padanya untuk mencaci lebih jauh.
Taehyung memandang ponsel yang remuk di dekat kakinya dengan perasaan berdesir. Orang-orang mengandung itu mulia, ia tahu karena itu ada di dalam kitab suci. Tapi di alkitab tidak dijelaskan soal ini… Taehyung tidak tahu kalau orang hamil semengerikan ini.
Taehyung makin bingung sekarang. Ini situasi yang benar-benar tidak terduga. Terjebak di dalam lift, bersama seorang pemuda tempramen yang akan melahirkan, ditambah lagi…
Mereka akan terjebak cukup lama disana, melihat tidak ada respon. Setidaknya itu pemikiran awal Taehyung, sampai terdengar suara petugas dari radio lift…
“Maaf untuk ketidaknyamanannya, tuan. Lift macet selama beberapa saat, kami sedang berusaha memperbaikinya. Dan karena kalian terjebak di antara lantai delapan dan sembilan, mohon maaf karena mungkin akan memakan waktu lebih lama untuk mengeluarkan kalian. Dari kamera kami melihat seseorang duduk di pojok lift… Apa dia pingsan? Atau kesulitan bernapas?”
Taehyung mengerjap, ia mengatur nafasnya, sebisa mungkin tampak tenang sebelum menyahut, “Disini ada yang mengalami kontraksi, air ketubannya pecah. Tolong kirimkan bantuan segera. Sekarang!”
“E-eh? Apa yang terjadi disana, tuan?”
Jungkook melenguh. Habis sudah kesabarannya.
“KONTRAKSI, KAU TIDAK DENGAR?! SOMEONE GONNA POP A BABY IN HERE. SENT HELP, MORRRRRROOOOONNNNNN!”
Nguuuung—
Taehyung tertegun dan suara petugas di sebrang tiba-tiba menghilang.
“Cepat kirim bantuan atau seseorang akan terbunuh disini!”
Taehyung menelan ludah, “U-um, sir?”
“K-kami mengerti. kami kesana sekarang, tunggu sebentar.” –TUT
Usai meraung, Jungkook kembali meringis dan mengeluh, merutuki nasibnya. Kali ini Jungkook sudah tidak sanggup bersandar ke dinding lift. Ia memiringkan tubuhnya perlahan-lahan, lalu berbaring miring di lantai lift yang dingin, masih sambil meringis dan mencengkeram perut.
Taehyung ternganga memandang Jungkook dengan raut pasrah. Kalimat ‘seseorang akan terbunuh disini’ terus terngiang-ngiang dalam benaknya. Karena diam-diam, Taehyung juga menghitung dirinya sebagai manusia. Sebagai orang. Di ruang sempit itu.
“Ouuuh—“ Jungkook meremas perutnya. Otot-otot di bawah perut dan sekitar selangkangannya kian mengencang, mengendur sesaat, lalu mengencang lagi. Nyeri itu terus terasa dan tiba-tiba menghilang –sejenak, lalu kembali muncul seolah mempermainkan Jungkook yang bahkan kesulitan untuk mengatur tempo napasnya.
Jungkook bisa merasakannya. 5 menit, jarak kontraksinya semakin pendek dan ia yakin sekali kalau petugas bodoh itu tidak bisa mengeluarkannya dari lift sialan ini dalam 20 menit… Jungkook terpaksa harus mengedan disini.
Pemuda itu merintih. Dua airmatanya terjatuh, dan Jungkook menghapusnya dengan kasar. Sungguh, mana pernah ia menyangka akan terjebak di dalam lift sekaligus mengalami kontraksi seperti ini. Semua ini salah Yoongi! Kalau saja si bodoh itu tidak ngotot dan menuruti perintahnya… Ia tidak akan mengalami kesialan ini! Hyungie bodoh! Hyungie bodoh!
Dug.
“Ahh—“ Jungkook meringis, lalu meringkuk menahan perutnya. Baru saja bayinya menendang keras, tepat mengenai tulang rusuknya. Sakit sekali rasanya sampai-sampai Jungkook bernapsu untuk menjambak rambut Yoongi hingga botak. Saking bernapsunya, Jungkook sampai bernapas tersengal-sengal dan terus merutuk dalam hati.
Namun beberapa saat kemudian, merasakan bayinya terus berputar seolah mencari jalan keluar dan sesekali menendang kasar, Jungkook menyadari sesuatu…
Pemuda menunduk memandangi perut buncitnya. Lalu menyeringai sinis, “Ohh… Kau marah karena dada memaki ayahmu, hm?” Jungkook bicara pada makhluk kasat mata itu, sambil ringisan. Dan bayi di dalam perutnya seolah balik menantang, menendang makin kuat dan bertubi-tubi.
Dug!
Dug!
Jungkook mencengkeram perutnya, lalu meringis-ringis kesakitan. Ia sudah mengangkat tangan dan berpura-pura akan memukul perutnya sendiri, namun tentu saja Jungkook tidak sungguh-sungguh melakukannya karena ia sendiri yang akan merasakan sakitnya. “Yah! Kenapa kau ini bandel sekali, hiks!” bentak Jungkook lagi. Matanya sudah sayup-sayup terasa, Jungkook nyaris jatuh tidak sadarkan diri kalau saja bayinya tidak kembali memberontak. Menendang-nendang makin menantang.
Dug! Dug! Dug!
“Aaah! Appo! Hentikan, baby. Appo! Appo!” tangis Jungkook pecah. Tak sanggup menahan sakitnya kontraksi ditambah dengan tendangan bertubi-tubi yang tepat mengenai rusuknya, pemuda belia itu tersungkur di lantai lift. Basahnya ketuban yang menggenangi lantai, merembesi seluruh pakaian, dan kini ikut mengotori kulit wajahnya, sudah benar-benar tidak ia pedulikan. “Hentikan, baby. Hentikan…” bisiknya lirih, memohon ditengah isak dan sedu sedan.
Sedangkan satu lagi eksistensi yang bernafas di dalam kotak besi itu, masih tercengang. Taehyung berdiri tepat di depan pintu lift yang terkunci. Bingung barus berbuat apa saat ia menyaksikan interaksi seorang ibu dengan bayinya –yang belum lahir pun sudah tampak durhaka.
Mendengar tangis kesakitan Jungkook, Taehyung ikut meringis. Suara pemuda cantik ini makin lama terdengar makin memilukan dan Taehyung semakin tidak tahan. Bulu kuduknya meremang. Apa sesakit itu? Sepertinya benar pepatah yang mengatakan ‘Hidup mati seorang ibu adalah saat ia mempertaruhkan nyawa demi melahirkan bayinya.’ Kalimat yang sungguh suci dan indah, dalam waktu bersamaan memilukan dan menyesakkan dada. Ahh, rasanya ia ingin mengupdatenya ke dalam twitter. Pasti banyak orang yang akan me-retweet…
Aaah! Paboya, Kim Taehyung!
Sontak Taehyung menggeleng-geleng sembari menampar-nampar kepalanya. Berusaha mengembalikan kewarasannya yang tadi nyaris melayang kemana-mana. Bagaimana bisa ia berpikiran untuk mengupdate twitter saat di hadapannya –seseorang sungguh-sungguh tengah bertarung nyawa??
“Ju-Jungkook-sshi? Anda baik-baik saja?”
Taehyung berjongkok di hadapan Jungkook, menunggu jawaban. Namun pemuda itu tidak menjawab, Jungkook masih memejamkan matanya rapat-rapat dan bernafas tersengal-sengal. Cicit tangisnya terdengar, semakin lama semakin samar dan hal itu semakin menakuti Taehyung.
“J-Jungkook-sshi?” Taehyung menoel pipi Jungkook, dan dibalas dengan lenguhan panjang. Taehyung nyaris menjambak rambutnya sendiri, frustasi setengah mati. Wajah cantik itu kian pias dan bibirnya mulai membiru, dan itu benar-benar menguji nyali seorang Kim Taehyung.
Sial, pasti pemuda ini kedinginan… Taehyung melirik lantai di bawah sepatunya, kecipak air terdengar. Ketuban yang menggenang itu tak lagi hangat. Pemuda ini pasti kedinginan karena kuyup oleh air ketubannya sendiri.
Taehyung baru saja akan mengangkat tubuh Jungkook ke posisi duduk, saat sebuah suara dari radio menginterupsi.
“Taehyung-sshi, Jungkook-ah? Kalian bisa mendengar kami?”
“Y-ya!” sahut Taehyung buru-buru. Sontak pria itu berdiri, memandang tepat di depan kamera sembari menghela napas lega. Lebar sekali senyumnya merekah mengira mereka akan segera keluar dari ruang sempit itu, sayangnya…
“Kami khawatir lift tidak bisa terbuka untuk beberapa saat. Karena itu kami butuh bantuanmu, Taehyung-sshi.”
“Y-ya?” Taehyung mulai ragu, senyum lenyap. Keningnya mengerut oleh prasangka-prasangka yang bahkan tidak bisa menjangkau kenyataan yang ternyata lebih buruk daripada prasangkanya. Taehyung menelan ludah getir, menunggu respon dari seberang. Suara rusuh seorang lelaki yang memanggil-manggil Jungkook dan juga suara lain yang mengatakan.
‘Tenang, Yoongi. Tenang!’ terdengar dari belakang
“Saya Dokter pribadi Jungkook. Bisa beritahu kami bagaimana keadaan Jungkook-sshi sekarang?”
Taehyung berpaling, lalu meringis melihat pemandangan Jungkook yang masih terpekur di lantai lift. Wajahnya pucat itu menggigil, antara kesakitan dan kedinginan.
“Keadaannya—“ mata Taehyung berpendar kemana-mana, bingung bagaimana harus menjabarkannya. Ia benar-benar frustasi sampai akhirnya Taehyung sewot sendiri. “Aisssh! Disini ada kamera, kalian pasti bisa melihat kami, kan?”
“Ya, kalau Anda bersedia untuk menyingkir sebentar. Anda menghalangi kameranya, Taehyung-sshi.”
Taehyung mendelik. Baru saja menyadari kalau tubuhnya yang tinggi itu menutupi kamera CCTV. Pemuda itu bergeser ke samping, memberikan akses bagi orang-orang di luar sana untuk melihat keadaan Jungkook.
Sesaat hening—
Lalu terdengar suara helaan napas, dan seruan,
“Baby??”
“Apa Jungkook-sshi pingsan, Taehyung-sshi?”
“Sepertinya tidak,” jawab Taehyung kontan, meskipun sedikit ragu tapi ia merasa kalau pemuda ini tidak pingsan. Deru napasnya masih berhembus liar. Tangannya gemetar, mencengkeram perut.
“Air ketubannya pecah?”
“Ya,” katanya sambil mengangkat kaki, “Menggenangi lantai.”
Lalu terdengar suara helaan napas lain.
“Kalau begitu tolong angkat tubuh Jungkook-sshi ke posisi duduk, dan tolong lepas seluruh pakaian bawahnya.”
“H-huh?” Taehyung melotot. “L-lepas celana??”
“Ya. Dan tolong cepat Taehyung-sshi. Kami khawatir Jungkook-sshi tidak bisa menunggu sampai lift berhasil diperbaiki, karena itu Jungkook-sshi harus melahirkan di dalam sana.”
“H-HAH?” Taehyung mendelik, mulutnya menganga, mengatup, menganga lagi.
“Anda mendengar apa yang saya katakan, tolong cepat Taehyung-sshi. Nyawa Jungkook-sshi dan bayinya terancam. Keselamatan mereka bergantung pada Anda.”
Taehyung menelan ludah. Ingin rasanya ia mengelak, namun begitu Taehyung berpaling dan melihat kondisi pemuda di belakangnya. Betapa wajah itu terus mengerut dan meringis, memucat, seolah dekat dengan ambang kematian… Melihat itu, hati kecil Taehyung bergetar tidak tega.
“B-baiklah. Saya akan lakukan apa yang saya mampu. Mohon bimbingannya.” Taehyung merutuk dalam hatinya, tapi cepat sekali pemuda itu berhasil menguasai diri.
Taehyung berjongkok, dengan hati-hati diangkatnya tubuh limbung Jungkook ke posisi duduk dan disandarkannya ke sudut lift. Taehyung tetap berjongkok dekat di sisi Jungkook, menjaga tubuh lemah itu agar tidak terjatuh.
“Sekarang apa?”
“Celananya, Taehyung-sshi.”
Taehyung menepuk keningnya. Ia memandangi tubuh Jungkook dari ujung rambut ke ujung kakinya. Tubuh dengan perut buncit itu tidak terlalu buruk juga, manis malahan. Tapi tetap saja, Taehyung malu setengah mati bahkan hanya untuk mendengar perintah dokter barusan. Wajahnya bersemu merah. Taehyung berkali-kali harus menepuk pipinya. Saat ini ia benar-benar dibutuhkan, tentu dalam keadaan waras.
“A-aku rasa, tidak perlu sejauh itu, hyung. Kita bisa memaksa petugas untuk segera memperbaiki lift. Lagi pula hyung sendiri yang bilang kalau jalur normal Jungkook terlalu rapuh…” suara di sebrang menyela tangan Taehyung yang baru saja membuka pengait jeans Jungkook.
“Mereka sedang berusaha memperbaikinya, Yoongi. Tapi kalau sampai terlalu lama, nyawa Jungkook terancam. Kita terpaksa melakukannya. Anak itu sudah overdue dan tubuhnya terlalu lemah. Akan lebih beresiko lagi jika harus menunggu.”
“T-tapi— Ah. Baiklah, hyung.”
Taehyung masih membeku, dan entah kenapa tangannya belum siap. Masih melayang siaga untuk melepas celana Jungkook.
“A-apa yang harus kulakukan?” tanya Taehyung saat tak terdengar lagi suara dari sebrang.
“Lepaskan celananya Taehyung-sshi.”
Taehyung menurutinya. Dengan hati-hati, Taehyung menarik jeans longgar abu-abu itu sembari sebelah tangannya menjaga tubuh Jungkook agar tidak ikut merosot.
Pemuda itu kini hanya mengenakan pakaian atasnya beserta celana dalam. Taehyung tidak sanggup untuk melanjutkannya, sampai sang dokter harus kembali mengingatkan.
“Lepaskan seluruh celana Jungkook-sshi, Taehyung-sshi. Tolong cepat.”
Taehyung melenguh, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan memejamkan mata, ia menarik pakaian berpotongan kecil itu, teramat hati-hati. Jungkook sudah dalam keadaan telanjang dan Taehyung masih belum berani membuka matanya.
“Lipat kedua kakinya, beri jarak sedikit agak lebar. Dan bisa tolong menyingkir sejenak, Taehyung-sshi? Aku ingin melihat seberapa besar jalurnya,”
Taehyung melakukannya, ia menyingkir meski posisinya tetap siaga. Siap menangkap tubuh Jungkook kalau pemuda itu limbung sedikit saja. Taehyung tidak berani melihat ke bawah. Ia hanya menatap wajah pucat Jungkook, menatap mata yang terpejam dan bibir berbisik lirih itu. Entah apa yang diucapkan bibir pucat Jungkook.
“Sekarang tolong lipat kakinya,”
Oh Tuhan. Taehyung melenguh. Ia melipat kaki Jungkook, gerakannya sempat terhenti saat pemuda itu meringis kesakitan.
“Maaf Taehyung-sshi, bisa kau angkat penis dan testis Jungkook-sshi, sebentar saja?”
Taehyung mendelik. Ada segumpal saliva tersangkut di kerongkongannya. Perintah itu benar-benar nyaris menyabut nyawa Taehyung. Ia melotot seolah malaikat pencabut nyawa datang menjemputnya.
“H-HAPA?!” sentak Taehyung bersamaan dengan suara seseorang di sebrang. Tidak hanya Taehyung, Yoongi pun terkejut mendengar perintah Dokter Kim.
“T-tapi, dokter/hyung…” Kali ini mereka masih mengucapkannya beriringan.
“Sekarang, Taehyung-sshi.”
Taehyung menelan ludah susah payah. Hanya dengan melihat penis di tengah selangkangan Jungkook, Kim Taehyung merasa seolah dunianya akan berakhir seketika itu juga.
Tuhan, aku berdosa. Lirihnya meski alih-alih dengan tangan gemetar, Taehyung tetap meraih penis Jungkook. Bukan hanya dirinya yang menghela napas, di sebrang sana, seseorang juga menghela napas berkali-kali.
Yoongi juga merasakan ketegangan itu, meski untuk kasusnya, ia merasa cemburu sekaligus kesal. Namun apa daya, sikap posesifnya hanya akan menyulitkan Jungkook saat ini. Karena itu Yoongi mati-matian menahan dirinya, Demi Jungkook, Demi Jungkook. Hiburnya dalam hati.
Sesuai dengan perintah dokter Kim, Taehyung menarik penis dan testis Jungkook dengan jemarinya. Menahan posisi benda itu untuk beberapa saat sambil memejamkan mata dan berdoa terus-menerus. Kenyalnya penis dan testis Jungkook yang terasa di kulit jemarinya, membuat Taehyung semakin merinding saja.
“Tsk!” Suara Dokter Kim berdecak, tampak kecewa. Dari layar kamera CCTV yang gelap, Ia tidak bisa melihat dengan jelas lubang kedua yang tersembunyi di bawah penis Jungkook, namun samar-samar ia melihat tetesan darah.
“Jungkook-sshi sudah mengalami bukaan sempurna. Ia harus melahirkan bayi itu sekarang. Aku yang akan membimbingnya, dan Anda harus siaga untuk menangkap bayinya. Anda paham, Taehyung-sshi?”
“Y-Yea?” Taehyung menjawab gugup, setengah tidak yakin.
“Kookie? Kookie?”
Mendengar namanya dipanggil-panggil, mata Jungkook sayup-sayup terbuka. Diantara bertarung untuk mempertahankan kesadaran dan menahan rasa sakit, Jungkook berbisik lirih, “It hurts, Hyungie.”
Pemuda itu terlalu dikuasai rasa sakit untuk menyadari bagian bawah tubuhnya tidak mengenakan apapun lagi.
“Koo—” Yoongi menyahut dari sebrang. Suaranya serak.
“Hyungie, appo…” suara Jungkook lirih mengadu saat ia kembali tersadar. Pemuda itu bernapas tersengal-sengal sembari mencengkeram perutnya. Sakit itu terasa semakin intens saja. Jungkook hanya bisa menangis dan mengaduh-aduh.
“Jungkookie. Dengarkan hyung. Jangan tertidur, sayang, baby membutuhkanmu sekarang.”
“Jin-hyung… Aku tidak tahan lagi— Tidak tahan lagi.” lirih Jungkook dengan airmata yang terus berlinang, semakin membasahi wajahnya yang sudah kuyup.
“Kau pasti bisa, Koo. Kau harus bisa demi baby.”
Jungkook merintih.
“Kau ingin baby selamat, nde?”
“Nde…”
“Kau mau berusaha, nde?”
Jungkook tidak menjawab. Terlalu lemas untuk menjawab.
“Siapa yang begitu kuat membawa baby selama 9 bulan?”
“Aku…”
“Siapa yang paling menyayanginya?”
“Aku.”
“Siapa dadanya?”
“Aku!”
Jungkook mulai beranjak. Susah payah menopang tubuhnya sendiri untuk bisa duduk tegap. Meski masih bernapas tersengal-sengal, Jungkook menarik kedua lututnya. Taehyung yang menyaksikan kejadian barusan nyaris saja tersedak, matanya berkaca-kaca.
“Bagus, sekarang tarik napas perlahan –dan dorong Jungkookie! Dorong!”
Jungkook mengedan. Wajahnya memerah dan airmatanya terus mengalir. Taehyung yang melihat itu refleks mendekat dan siaga duduk di depan Jungkook, ia bahkan sudah tidak peduli lagi pada lantai basah yang membuat kuyup celana kerjanya. Yang ia pikirkan hanya –fokus. Fokus pada lubang lahir yang untuk pertama kalinya ia lihat secara langsung. Memerah dan melebar, dengan tetes-tetes darah, bersiap untuk mengeluarkan seorang bayi dari celah sekecil dan serapuh itu.
“A-aku bisa melihat kepalanya!” Taehyung bersorak haru, jelas sekali ia melihat ujung kepala mungil yang dipenuhi rambut menyembul di lubang sempit Jungkook yang kini melebar paksa.
Jungkook mendengus, tapi semakin bersemangat untuk mengedan mati-matian, meski lama sekali tidak ada kemajuan kecuali tetes-tetes darah yang semakin menderas saja keluar dari lubang lahirnya.
“Ahn!” Jungkook berhenti karena kelelahan. Dan refleks kepala baby-nya kembali masuk saat ia berhenti mengedan… Pemuda itu bersandar ke belakang dan menghirup udara sebanyak-banyaknya, dadanya terasa sesak, dan rasa sakit kontraksi sama sekali tidak menolong. Justru semakin terasa jelas dan mendorong Jungkook nyaris ke batas kesanggupannya. Mati-matian Jungkook bertahan untuk tetap sadar.
“Lubangnya terlalu kecil, baby tidak bisa keluar—“ Jungkook tersedu lagi, sembari memeluk perut buncitnya yang berpeluh.
“Koo, kau harus coba lagi. Stay with us, baby?”
Jungkook mengangguk lemah. Ia mencobanya lagi. Mengedan dengan segenap napas. Satu menit, dua menit, lima menit berlalu. Setiap kali kepala bayinya mulai menyembul, Jungkook akan kehabisan napas dan terpaksa berhenti mengedan. Dan setiap kali Jungkook merasakan lembut kepala bayinya kembali masuk ke dalam tubuhnya melewati tulang pinggul, rasanya Jungkook ingin mati saja. Pemuda itu merasa dipermainkan, tapi ia sendiri tidak tahu harus marah pada siapa. Jelas sekali ia bisa merasakan kepala bayinya naik dan turun di ujung tulang pinggulnya. Seolah siap untuk terlahir ke dunia namun selalu kembali tertarik ke dalam.
Jungkook nyaris putus asa— tidak. Ia benar-benar sudah putus asa. Entah harus bagaimana lagi. Ia sudah tidak sanggup melakukannya.
Jungkook menggeleng, dan menggeleng lagi. Setiap gelengan akan terasa semakin berat dan melemah.
“Tidak bisa— Aku tidak bisa”
“Jungkookie—“
“Tidak— tidak.” Jungkook menggeleng lemah. Menolak semua perintah Seokjin dan panggilan Taehyung.
“Koo kau harus bertahan! Ayo coba lagi, baby—“
“Noooo!” Jungkook histeris. Benar-benar frustasi dan tidak ingin melakukannya lagi. Tubuhnya serasa tercabik-cabik dan bahkan baby sama sekali tidak bisa keluar.
Biar saja seperti ini… Biar saja…
Tubuh Jungkook perlahan limbung, beruntung Taehyung siaga dan segera menangkap tubuh lemah itu.
“Sadarkan Jungkook-sshi, jangan biarkan ia jatuh pingsan.”
“N-nde!” Taehyung dengan gugup merengkuh tubuh Jungkook.
“Taehyung-sshi… Tolong duduk dibelakang Jungkook, biarkan ia menggunakan tubuhmu sebagai sandaran.”
Taehyung tidak punya sanggahan, ia tidak punya waktu untuk menolak. Pemuda itu melepaskan jas hitam Armani yang baru dibelinya minggu ini, melipatnya sedemikian rupa dan diletakannya tepat di bawah Jungkook. Lalu dengan gesit, pemuda jangkung itu mengambil posisi di belakang Jungkook. Ia melebarkan dua kaki Jungkook dan membiarkan Jungkook duduk di depannya sambil bersandar di dadanya.
“Koo kau dengar hyungmu? Ayo bangun, dongsaengie—“
Jungkook menggeleng lemah. Benar-benar sudah menyerah.
Seokjin menghela napas. Miris melihat keadaan adik iparnya dari layar CCTV. “Yoon, kau saja yang bicara.”
“Baby, kau dengar aku?”
“Hyungie—“ Jungkook menangis lagi mendengar suara itu. Matanya sayup-sayup tertutup.
“Koo, maafkan aku—Aku janji kau boleh melakukan apapun, aku akan menuruti apapun yang kau mau. Maakan aku, Koo—”
Jungkook tersenyum getir. Matanya tertutup tapi separuh kesadarannya masih tersisa.
“—Tapi kau harus bertahan, demi aku, demi baby. We wait months for her.”
Mendengar itu, Jungkook menangis terisak-isak..
“Jangan menyerah, alright? Aku mencintaimu, aku mencintai baby. Jangan menyerah untuk kami.”
Jungkook terbatuk-batuk, meski perlahan-lahan semangatnya kembali muncul.
“Kami membutuhkanmu,” lirih Yoongi lagi. “I love you.”
Jungkook mengerjap. Ditariknya kembali kedua lututnya sambil menghela napas dalam. “Aku juga mencintaimu, aku juga mencintai baby,” bisik Jungkook sebelum kembali mengedan. Sesekali pemuda itu tersengal-sengal, namun sandaran di belakang tubuhnya sedikit membantunya merasa nyaman.
Sambil menyemangati pemuda di hadapannya, Taehyung membiarkan tangan kanannya diremas oleh Jungkook, diabaikannya rasa pedih itu. Toh pedih yang dialami Jungkook masih ratusan kali lipat lebih sakit daripada telapak tangannya. Sedangkan tangan kirinya yang panjang menyelusup melalui bawah kaki Jungkook, tepat di atas jas Armaninya, siap menangkap kepala bayi keluar dari sana.
“NNGGGHHH!!!” Jungkook mengedan sekuat tenaga.
Tangan Taehyung gemetar, tapi sesaat setelah merasakan beban basah di atas telapak tangannya, bulat dan hangat. Pemuda itu mati-matian menjaga posisinya.
“Kepalanya keluar!” Sorak Taehyung penuh haru. Spontan ia menarik tangan kanannya, untuk membantu tangan kirinya yang tadi menahan kepala bayi Jungkook yang masih menggantung di lubang lahir pemuda itu.
“Oh Tuhan!” Suara di sebrang ikut bersorak haru.
“Terus Koo. Only you can do this, hun.” Seru Seokjin ikut menyemangati.
Jungkook kembali menyiapkan napasnya. Kehilangan tempat berpegang, kedua tangan Jungkook merayap ke lengan Taehyung, menjadikan lengan panjang itu sebagai tempat pelampiasan saat ia kembali mengedan.
“NGGGHH!!!”
“YAAAH!” ketiga nama yang terus menyemangati Jungkook, –Yoongi, Seokjin, dan Taehyung, sama-sama bersorak. Hanya butuh tiga kali dorongan, dan kedua bahu mungil itu menyusul keluar. Setelah itu, semuanya semakin mudah. Jungkook mengedan dan seluruh bagian tubuh mungil bayinya merosot keluar. Gesit tangan Taehyung menangkap tubuh mungil itu, yang masih tersambung tali ari dan plasenta ke tubuh Jungkook.
Taehyung tersenyum penuh haru, disusul dengan tawa puas Yoongi dan hela lega Seokjin.
Taehyung mengangkat jas Armaninya yang masih cukup kering, lalu menyelimuti sekujur tubuh si bayi dengan jas mahalnya itu. Lalu dibawanya tubuh bayi itu hati-hati ke pada Jungkook. Tidak peduli pada tali ari yang masih tersambung antara ibu dan anak itu, tidak peduli juga pada plasenta yang belum keluar dari tubuh Jungkook, membuat perut pemuda itu masih membuncit meski tampak kenyal dan rapuh.
Dan Jungkook menerimanya. Jungkook –diantara tawa dan tangis, dengan mata berkaca-kaca dan senyum yang terkembang, menerima bayi itu dengan hati-hati, seolah bayi itu adalah makhluk paling rapuh sedunia, Jungkook ingin melindunginya. Didekapnya tubuh mungil itu hati-hati, dekat ke dadanya agar bayinya tetap mendengar suara detak jantungnya.
Begitu kepala bayi itu menyentuh dada Jungkook, suara tangis bayi itu pun pecah. Wajahnya yang semula biru pucat karena lendir dan air, kini perlahan-lahan berubah merah. Wajah mungil itu mengerut, menangis susah payah saat ia menghirup oksigen untuk pertama kalinya.
Jungkook tertawa melihat ekspresi mungil itu, mengerut merah. Benar-benar wajah yang jelek. Lalu Jungkook menangis… Dan tergagap memanggil nama Yoongi,
“Hyungie… Baby…” lirihnya lagi. “Seobin—“
“Ya, Seobin.” sambung Yoongi lagi. Meski suaranya tenang, pemuda itu baru saja menghapus dua bulir airmatanya. Airmata haru. Seobin-nya lahir ke dunia. Melengkapi kebahagiaan rumah tanggannya bersama Jungkook. Putri mereka. Kim Seobin.
TING!
Suara lift terbuka menginterupsi kebahagiaan empat orang itu. Akhirnya, lift terbuka juga. Meski sudah sangat terlambat dan Jungkook sudah malas untuk marah-marah ke petugas apartemen.
“YAH!” seru Yoongi kaget begitu pintu lift terbuka, buru-buru ia melepaskan jasnya untuk menutupi bagian private Jungkook yang terekspos.
“Taehyung-sshi, bisa tolong gendong putriku sebentar?”
Siap dengan gunting di tangannya, Seokjin memutus tali ari yang menghubungkan tubuh istrinya dengan tubuh Seobin. Meski Jungkook tampak enggan, Yoongi tetap ngotot mengoper Seobin ke dalam gendongan Taehyung.
“Tolong berikan putriku pada dokter Kim…” Yoongi menunjuk sosok tampan yang berdiri mengenakan jas dokter di depan lift. Taehyung baru sadar ternyata bukan hanya mereka berdua yang berdiri menanti di depan lift. Ada sekerumunan orang; petugas apartmen, kerabat, dan tim medis.
Yoongi menutupi tubuh bawah Jungkook dengan jasnya, lalu dengan hati-hati dibantu oleh seorang perawat, mereka mengangkat tubuh Jungkook.
“Kita harus ke rumah sakit sekarang.” Yoongi melirik perut Jungkook yang masih buncit dan kenyal itu dengan cemas. Jungkook hanya bisa mengangguk lelah, lalu bersandar di telapak tangan Yoongi. Sayup-sayup matanya mulai tertutup.
Sebelum Jungkook tertidur pulas, Taehyung bisa mendengar jelas pemuda itu berbisik lelah,“Kau harus jadi ayah baptisnya, ya?”
Taehyung tersenyum. Dan mengangguk tanpa berpikir panjang.
“Dan Taehyung-sshi…” panggil Jungkook lagi dengan suara lirih.
“Ya?”
“Terima kasih banyak.”
.
.
.
.
.
.
.
.
End nih
Mau giveaway lagi?
Weleee, review dulu sambil tag @saga_project di twitter, jangan lupa temennya suruh follow Saga ya. Biar makin rame wkwkwk
You must be logged in to post a review.
Reviews
There are no reviews yet.