KKB -4. No touch! Taehyung’s Kookie!

Author: A Little Bits of Everything

“Loh? Namjoon dan Jinnie-hyung kemana?” Taehyung yang baru keluar kamar bertanya bingung. Jungkook yang melangkah di belakangnya pun tak kalah bingungnya, mutan itu memeluk perut Taehyung dan menolak melepaskan Taehyung.

“Mereka sudah pergi sejak pagi. Namjoon harus membuka kafenya, kan?” Yoongi menjawab, sembari menyeruput kopi.

“Ah, ya! Aku juga harus bekerja nih, aku titip Jungkook di sini ya, hyung!” ujar Taehyung mengambil kesempatan, ia buru-buru melepas tangan Jungkook dari pinggangnya dan sebisa mungkin mengabaikan tampang memelas dan mata berkaca-kaca mutan itu.

“Yah, Kim! Kita sudah membicarakannya kan! Aku juga sudah bilang pada Namjoon, kau akan membawa Jungkook setiap bekerja!”

“M-Mwo?”

“Kau akan membawa serta Jungkook ke kafe, Kim! SETIAP HARI!”

W-WHAT? H-hyung! Yang benar saja! Kau pikir aku mau main-main, apa? Aku ini mau bekerja, hyung!” protes Taehyung tidak terima. Jungkook yang berdiri di belakang Taehyung sedikit berjengit saat mendengar majikan barunya ini membentak. Meskipun bukan ditujukan pada dirinya, tetap saja, Jungkook menciut, meremas lengan Taehyung dengan kepala tertunduk.

“Kita sudah membicarakannya semalam, Kim! Aku juga sudah mengatakannya pada Seokjin dan Namjoon, mereka saja tidak keberatan kenapa kau yang ribut?”

“T-tapi! Bagaimana kalau Jungkook tidak mau lepas dariku? Bagaimana aku bisa bekerja nanti!” Taehyung melirik Jungkook jengkel, ia sudah bisa membayangkan bagaimana mutan manja ini merengek dan mati-matian menempel padanya sedangkan ia harus menjalankan tugas kesana-kemari sebagai pelayan kafe.

“Tidak mau tahu! Pokoknya jaga Jungkook selama 24 jam!” Jimin melotot sambil menunjuk-nunjuk wajah sepupu iparnya. “Kalau kau berani meninggalkannya di jalan…” suara Jimin mengecil, bibirnya naik membentuk seringai jahat. “Kau akan tahu akibatnya!”

BLAM!

Taehyung tercekat dengan mulut menganga lebar, tidak sanggup berkata-kata saat pintu mansion itu membanting tepat di depan wajahnya. Taehyung dan Jungkook berdiri canggung di depan mansion Yoongi, Taehyung masih melongo sedangkan Jungkook tidak berani menyela. Kesadaran Taehyung belum terkumpul sepenuhnya saat pintu mansion kembali terbuka.

Krieeet…

Pintu hanya terbuka sedikit, cukup bagi kepala Yoongi menyembul dari dalam.

“Jangan terlalu dipikirkan Tae, Jimin hanya sedikit moody karena Jungkook masih menolak disentuhnya. Tenang saja, kalau Jungkook sudah sedikit terbiasa, kau boleh menitipkannya di sini sesekali. Oke? Good luck, dongsaengi~”

BLAM!

 

www

 

Dan di sinilah Taehyung sekarang, di sebrang jalan, di depan bangunan terbuka dengan gaya manis yang stylist.

Kona Beans.

Berdiri, masih dengan wajah jengkel.

Coba kalau tadi Yoongi menawarkan tumpangan, ia pasti tidak perlu mengeluarkan uang untuk membayar ongkos Sky Bus!

Haisssh!

“Taenggg~” Jungkook memanggil Taehyung meski samar dengan suara mendengung. Mereka tengah bergandengan tangan di sebrang jalan tepat di depan Kona Beans. Dan yang membuat Jungkook heran, Taehyung tidak juga mengajaknya masuk ke dalam. Padahal ini sudah mulai jam kerja. Hufh.

Jungkook mengayun-ayun tangan Taehyung, bermaksud menarik perhatian majikan mudanya ini. Namun malangnya mutan manis ini, Taehyung malah menampiknya dengan ekspresi galak.

“Diam, Koo! Jangan ganggu aku! Aku sedang berpikir!

“Uuung~” karena ketakutan, Jungkook menunduk dalam-dalam. Ia nyaris menangis namun ditahannya kuat-kuat buncahan panas airmatanya yang sudah menggenang. Taehyung sepertinya marah sekali, harusnya ia tidak ikut kemari. Tapi di sisi lain, Jungkook tidak ingin ditinggalkan Taehyung, ia ingin ikut Taehyung kemanapun majikannya pergi.

Taehyung masih sibuk mengawasi keadaan kafe dari luar. Ini sudah jam 11 dan pelanggan mulai ramai memenuhi Kona Beans. Sebagian besar kerumunan pelanggan itu adalah gadis-gadis muda dan remaja SMA. Sebenarnya ia bisa saja segera masuk kesana dan menjalankan tugasnya. Namun Taehyung mengurungkan niatnya. Dari luar, tampak terjadi sedikit kericuhan di dalam Kona Beans. Sebenarnya hal ini biasa terjadi, yang membuat Taehyung sedikit bergidik, hanya ada tiga pelayan yang melayani fangirl-fangirl itu. Bogum, Sungjae, dan Jinki. Taehyung bukan orang bodoh yang berani melemparkan tubuhnya ke kerumunan hiu-hiu lapar itu.

Kemana Mingyu, Minho, Jonghyun dan yang lainnya?

Taehyung mendengus. Apa mereka tidak tahu, terlambat sepuluh menit saja, pelayan-pelayan yang lain yang akan jadi bulan-bulanan fangirl-fangirl frustasi itu!

“Aisssh!” Taehyung mengacak rambutnya, sekarang bingung harus bagaimana. Ia tidak berani masuk. Seiblis apapun dirinya, Taehyung tidak sanggup menghadapi ratusan fangirl yang berkerumun dan berebut ingin menyentuh tubuhnya.

“Bagaimana ini? Issh!”

Mendengar keluhan barusan, Jungkook mendongkak, dengan mata membulat polos ia mengawasi Taehyung yang tengah ‘risau’ ini. Sebenarnya Jungkook ingin sekali membantu, tapi Taehyung sedang galak begini… Ia jadi tidak berani menyela sama sekali.

“Hoi, Taehyung!”

Taehyung dan Jungkook refleks menoleh ke arah sumber suara barusan. Di samping Taehyung kini, berdiri seorang pemuda pendek bertubuh kekar. Dengan tas selempang, mengenakan jeans dan kaos longgar, pemuda ini tampak begitu santai.

“Jong!” Taehyung mendelik, hampir-hampir menempeleng rekan kerjanya ini saking kesalnya. “Lihat pakaianmu! Kau pikir jam berapa sekarang!”

“Masih jam 11,” Jonghyun terkekeh, wajahnya sumringah, sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah. Padahal ini bukan sekali dua kali ia terlambat datang bekerja. Tapi lihat sekarang! Jonghyun mengawasi Taehyung dari ujung rambut ke ujung kaki. Taehyung belum mengenakan seragam kerja, tumben sekali rekannya yang paling teladan ini terlambat datang kerja.

“Lihat dirimu sendiri, Tae! Kau sendiri terlambat! Kenapa tidak masuk? Malah berdiri di sini, dasar bodoh!” ejek Jonghyun sembari memandang dengan mata mencibir. Taehyung tidak menggubrisnya, ia hanya merengut dan menunjuk ke arah Kona Beans dengan dagunya.

“Lihat sendiri! Aku tidak mau bunuh diri!”

Alis Jonghyun naik. Tentu saja ia bisa melihat keadaan di dalam kafe. Dinding kaca transparan itu menunjukkan dengan jelas betapa ricuhnya suasana di dalam Kona Beans sekarang. Dari sini Jonghyun menerka-nerka, tangan siapa itu yang menyembul sambil memengangi nampan di tengah kerumunan gadis remaja. Sepertinya Bogum, atau Sungjae.

“Aku juga tidak mau bunuh diri, Tae. Ayo lewat pintu belakang,” Jonghyun baru akan turun ke jalan, bermaksud menyebrang. Namun ia urung dan berbalik sekali lagi. “Lagipula bodoh sekali sih, kenapa tidak sejak tadi lewat belakang, huh?”

Taehyung baru ingin menyela dengan beralasan bahwa ia pekerja teladan dan tidak akan pernah masuk kerja lewat pintu belakang, namun urung karena mata Jonghyun sendiri sudah tidak tertuju ke arahnya.

“L-loh? Ini siapa Tae?” Jonghyun menunjuk sosok bercuping kucing yang bersembunyi di belakang tubuh Taehyung.

Taehyung hanya melirik Jungkook sebentar, mutan yang sempat terlupakan itu meremas lengannya ketakutan, membuat Taehyung memutar bola matanya malas. Awas saja kalau mutan ini menangis di pinggir jalan!

“Oh my God, jadi kau menabung mati-matian demi makhluk ini?” Jonghyun terpesona, senyum mesum terkembang di wajahnya. Mutan bukan peliharaan murah. Biaya perawatannya saja melebihi gaji kerja mereka. Dan mutan secantik ini? Tampaknya Taehyung sedang banyak uang, ternyata inilah tujuan Taehyung selama ini menabung dan bersikap kelewat irit—Jonghyun mengambil kesimpulan sendiri.

Jujur, Jonghyun bukan tidak pernah melihat mutan. Tentu sering, di majalah, TV, atau di jalan kalau kebetulan ada majikan kaya raya yang mengajak mutannya jalan-jalan. Tapi seumur hidup… Jonghyun belum pernah menyentuh mereka. Sepertinya cuping runcing itu imut sekali…

“Jangan pegang, Jong! Dia cengeng! Kalau sampai dia menangis gara-gara kau, kau yang harus mengurusnya!” ujar Taehyung refleks sembari menunjuk-nunjuk wajah Jonghyun, tidak sadar apa yang baru saja dikatakannya membuat Jonghyun tersenyum makin mesum. Taehyung jadi menyesal berkata begitu.

“Mengurusnya? Oke, biar aku yang mengurusnya kalau kau tidak mau. Kemari kucing kecil, puss puss~” Jonghyun bermaksud mengusap kepala Jungkook, namun Taehyung buru-buru menampik tangannya.

“Sudah kubilang jangan sentuh, Jong!”

“Aih, kau bilang aku yang harus mengurusnya~” Jonghyun pura-pura kecewa, sekali lagi bermaksud meraih mutan itu, namun Taehyung buru-buru merentangkan tangannya untuk menghalangi Jonghyun.

“Jong!” bentak Taehyung murka.

“H-hiks—” Jungkook menggigit bibirnya, dua isak berhasil lolos meskipun Jungkook sudah berusaha keras untuk menahannya. Apa barusan orang ini mau mengambilnya dari Taehyung? Dan yang lebih parahnya… Taehyung yang menawarkan duluan!

T-tidak! Kookie tidak mau!

Jungkook tersedu memikirkan kemungkinan Taehyung memberikan dirinya pada orang ini. Ia memeluk dan memendam wajahnya di punggung Taehyung. Pokoknya ia tidak mau berpisah dari Taehyung! Tidak mau! Tidak lagi!

“Aish, kan!” Taehyung mendengus, disentuhnya dua tangan mungil yang melingkar di perutnya. Tampaknya Jungkook tidak akan mau melepaskan pelukannya sekarang. Taehyung bermaksud melepas pelukan Jungkook barusan, dengan lembut, namun mutan itu justru semakin mengerat perut Taehyung, membuat Taehyung kesulitan bernapas.

“Dia benar-benar menangis, Tae? Aku hanya bercanda, kok!”

Taehyung menyerah, membiarkan Jungkook menangis di punggung dan terus memeluknya. Sekarang suara tangis Jungkook dan pemandangan melodrama ini makin memancing perhatian orang-orang.

“Aish, sudahlah. Ayo masuk lewat belakang, sekarang!”

 

www

 

“Cepatlah, Jinki! Berikan spatula itu padaku, kau bantu Bogum dan Sungjae di depan!”

“T-tidak mau! Biar aku saja yang masak, kau saja yang bantu melayani di depan!”

“Jinki!”

“A-aish! Iya-iya!”

Taehyung menciut. Ia baru akan memutar kenop pintu namun suara bentakan Seokjin bahkan menembus sampai keluar, pintu besi pun tidak menjadi halangan.

“Haha, kau takut Tae? Hahahaha.”

“Cerewet! Kau saja yang buka!” Taehyung mendengus. Ia mundur perlahan, takut mutan di balik tubuhnya tersandung dan jatuh. Jungkook masih memeluk Taehyung erat dari belakang, seperti anak kera yang menempel pada induknya.

“Ehehehe,” Jonghyun terkekeh lalu memutar kenop pintu. Setidaknya dalam hal ini, ia jauh lebih pengalaman dari Taehyung. Hampir setiap hari Jonghyun diceramahi Seokjin dan sepertinya ia sudah cukup kebal sekarang. Hanya sepertinya sih. Karena begitu pintu belakang terbuka…

“Jonghyun! Taehyung!”

Baik Taehyung atau Jonghyun sama-sama mengkeret ketakutan.

 

www

 

Seokjin mencacah daging dengan kesal. Nyaris saja ia menampik maidroit yang tengah membawa keranjang sayuran dan tidak sengaja menyenggol lengannya. Nyaris! Untung tidak terjadi. Seokjin harus kehilangan dua ribu dollar kalau ia sampai merusak maidroitnya sendiri.

Seokjin menggerung. Emosinya sudah sampai ke ubun-ubun. Ia sampai harus turun tangan dan memasak di dapur begini, karyawan-karyawannya memang keterlaluan! Mereka kira sudah jam berapa ini! Saat jam sibuk begini malah hanya tiga karyawan yang datang!

Klik

Seokjin mendelik, cukup familiar dengan suasana ini. Dapur yang sibuk dan tiba-tiba terdengar suara pintu belakang terbuka. Siapa lagi kalau bukan…

“Jonghyun!” teriak Seokjin murka. Sudah cukup ia sabar menghadapi satu karyawan bandel ini! Dan Seokjin semakin mendelik saat ditangkapnya sosok kurus jangkung berdiri di belakang Jonghyun.

“Taehyung!”

Seokjin melempar spatulanya murka, dan sialnya tidak tepat sasaran. Benda malang itu mendarat di sisi pintu, membuat dua sosok yang berdiri di sana hanya bisa mematung tanpa suara. Takut bergerak apalagi menyela.

“Cepat kemari! Kalian pikir jam berapa ini?”

“M-mianhae, hyung~” Taehyung dan Jonghyun mencicit, sama-sama maju dengan langkah was-was. Takut kalau-kalau mereka akan dilempari dengan benda lain.

Seokjin masih sibuk melotot saat telinganya menangkap suara aneh berasal dari belakang Taehyung. Seperti suara isak samar. Suara yang cukup familiar…

Kening Seokjin mengkerut, ia baru sadar kalau ada dua tangan melingkar di perut Taehyung. Rasanya ia bisa menebak siapa itu…

“Jungkook-ah?”

Begitu Seokjin memanggil nama itu, tangan yang melingkar di perut Taehyung berjengit dan mengerat.

“Oh Tuhanku, Jungkook-ah—” raut Seokjin melunak, merasa tidak enak hati karena membentak-bentak karyawannya di depan Jungkook. Mutan malang itu pasti ketakutan.

“Cepat ganti bajumu Jonghyun,” perintah Seokjin sembari melangkah mendekati Taehyung.

Jonghyun yang diberi perintah begitu dengan senang hati melaksanakannya. Entah siapa mutan bernama Jungkook ini, pokoknya ia telah menyelamatkan hidup Jonghyun.

“Ganti bajumu, Tae. Biar aku yang jaga Jungkook,” Seokjin meraih tangan Jungkook, namun mutan itu berjengit dan menggerung, seolah menolak disentuh.

“See? Aku tidak bisa ganti baju. Mutan ini tidak mau melepaskan aku. Silahkan saja kalau hyung bisa menariknya,” Taehyung mendesah malas. Ia menggoyang-goyangkan pinggulnya, dengan maksud agar Jungkook menyerah dan melepaskannya. Namun sia-sia, mutan itu menempel padanya seperti bayi kera.

“Tck!” Seokjin berdecak, prihatin. “Yasudah, pakai baju itu saja. Ganti nanti saja tidak apa-apa.”

Taehyung mencibir, kesal. Bukan masalah seragam atau pakaian, masalahnya kalau mutan ini terus menempel padanya, bagaimana cara ia bergerak kesana-kemari melayani pelanggan?

“Aku tidak bisa bekerja kalau begini caranya!”

“Kau bilang apa, Tae? Hmmm?”

“E-eh, tidak hyung. Hehe.”

 

www

 

Taehyung berjalan dengan langkah berat. Bagaimana tidak? Jungkook masih kukuh menempel di punggungnya. Taehyung sudah berhasil menggunakan seragam kerja, namun tetap saja, ia merasa seperti harus menyeret beban kemana-mana. Aish.

“Jungkook-ah, ayo lepas. Aku harus bekerja. Nanti kau tunggu di meja kasir ya?”

“Unggg!” Jungkook menggeleng kukuh. Hidung mancungnya bergesekan dengan punggung Taehyung, tanpa sadar tindakan kecilnya itu membuat Taehyung merinding.

“H-haish! Geli!” Taehyung mengibas-ngibaskan tubuhnya, namun tetap saja Jungkook kukuh menempel erat padanya.

Taehyung berdecih. Tidak lagi mencoba mengusir Jungkook, karena makin ia berusaha mengusir Jungkook, mutan ini justru makin memeluknya sampai sesak. Taehyung menghela nafas. Ia memegangi kenop pintu, sekali lagi menghela nafas sebelum memutarnya…

“Jonghyun-oppa, kyaaaaa!”

“Bogum-oppa, aku mau pesananku dibawa Bogum oppa!”

“Sungjae-oppa! Sungjae-oppa!”

Taehyung mengernyit, telinganya sakit. Baru saja ia membuka pintu yang menyambung kafe depan dengan ruang karyawan, dan suara teriakan para remaja sudah menyambutnya gegap-gempita. Taehyung berdecak, mengawasi riuh remaja-remaja itu dari balik etalase kasir. Wajar sih kalau suasananya sericuh ini. Dengan ditangani 9 pelayan pun para pengunjung masih suka menimbulkan kerusuhan, apalagi hari ini? Karyawan Kona Beans yang tampak hanya dirinya, Sungjae, Bogum, Jinki, dan Jonghyun. Ckck!

“Jangan pasang ekspresi begitu, Tae. Sudah jelek tambah jelek saja wajahmu itu, hahaha.”

Taehyung berdecih. Diliriknya Namjoon yang duduk di meja kasir dengan tatapan sinis. “Aish, hyung! Berisik!”

“Ahahaha,” Namjoon tertawa puas, cukup bahagia karena sejak kemarin berhasil menindas sepupu iblisnya ini. Kurang lebih dengan kehadiran Jungkook, Namjoon jadi sedikit mengalami kemajuan. Karena mutan itu ia jadi bisa menjahili Taehyung, berbeda dari biasanya dimana ia yang jadi bulan-bulanan kejahilan Taehyung. Dan ngomong-ngomong soal Jungkook…

Kening Namjoon mengernyit, ia melirik bingung ke arah sepasang tangan yang melingkar di perut Taehyung. “Siapa itu? Jungkook?”

“Hmmm~” Taehyung mengangguk malas. Ia sedikit memiringkan tubuhnya, bermaksud menunjukkan pada Namjoon sosok mutan yang tengah menempel di punggungnya. “Tidak mau lepas, sejak tadi…” ujarnya malas.

“Oooh— Ahahahahaha,” Namjoon tertawa, maki geli.

“Namjoon-ah—” Seokjin keluar dari ruang karyawan dengan electro-note kecil di tangannya. Pemuda berperawakan kecil itu sedikit terkejut melihat Jungkook yang masih tetap memendam diri di punggung Taehyung. Meski alih-alih, pemuda itu tetap tersenyum lembut pada Jungkook yang diam-diam mengintip dari sela seragam Taehyung.

Seokjin menyuruh Namjoon untuk berdiri, lalu ia menepuk-nepuk kursi yang sebelumnya diduduki Namjoon. “Jungkook-ah. Kemari!” ajaknya riang.

Jungkook masih memeluk dan menempelkan pipinya di punggung Taehyung. Ia memandangi Seokjin sejenak dengan ekspresi takut-takut, lalu menggeleng enggan.

Seokjin merengut sedih. Tapi secepat mungkin ia menyembunyikannya dengan beralih pada Namjoon, “NamJoon-ah, barusan appa menelpon. Kau disuruh datang ke kantor. Sekarang.”

“Tidak apa-apa kau di sini sendirian?”

“Aku tidak sendirian sayang, ada Taehyung dan yang lainnya,” Seokjin tersenyum. “Aku bisa handle semuanya, sudah sana pergi! Abeoji menunggumu daritadi.”

“Oh, oke,” tanpa bertanya lebih jauh, Namjoon meraih jaketnya yang tergantung di punggung kursi, meraih wajah tunangannya, mengecupnya singkat, sebelum melangkah meninggalkan Kona Beans.

Hyung… Jadi bagaimana nih? Aku tidak bisa kerja kalau begini caranya,” keluh Taehyung tiba-tiba.

“Yasudah, tidak usah kerja dulu tidak apa-apa. Atau kau ajak saja Jungkook ke ruanganku.”

Taehyung merengut mendengarnya.

“Tenang saja, gajimu tidak akan berkurang. Aku bukan orang kejam, Taehyung.”

“Bukan masalah itu, hyung—” Taehyung merengut lagi. Jungkook sedikit melonggarkan pelukannya, sambil sesekali melirik wajah Taehyung, lalu ikut-ikutan merengut. Ekspresi suram Taehyung tampak seperti kesedihan yang meluap-luap di mata Jungkook.

“Aku tidak enak kalau begini caranya. Digaji tanpa bekerja…”

Mata Jungkook membulat. Ia mengerti apa maksud kalimat barusan. Kurang lebih… Apa karena dirinya Taehyung jadi merasa tidak enak? Karena Taehyung harus menemaninya dan Taehyung jadi merasa digaji tanpa bekerja?

Jungkook memberengut. Wajahnya sendu.

“Tidak, Tae. Kuanggap kau bekerja dengan menemani Jungkook-ah. Oke?” Seokjin tersenyum lembut. Berusaha membuat sepupu iparnya mengerti, namun Taehyung adalah Taehyung. Keras pada pendiriannya sendiri.

“Aish. Tidak bisa, hyung,” Taehyung memutar pandangannya, dan matanya berhenti di sudut Kona Beans. Kios kecil dengan aksen manis dan tema girly-pink berdiri di sana, satu sisi menghadap ke dalam Kona Beans dan satu sisi menghadap ke luar. Kios mungil yang didirikan di dalam Kona Beans dengan dua sisi dilingkari etalase dan kulkas-kulkas geret. Kios es krim. Biasanya Mingyu berdiri disana sebagai penjaganya, tapi kali ini…

“Loh? Kios es krim kita tutup hari ini?” tanya Taehyung bingung. Suaranya barusan ikut menyadarkan Jungkook. Mutan itu mengintip dari balik lengan Taehyung, matanya lurus tertuju ke kios es krim yang jelas-jelas tutup hari ini.

“Ya, Mingyu sedang cuti tiga minggu. Temannya menikah di Jepang.”

What?” Taehyung terkejut, dan Jungkook pun ikut terkejut.

“Tiga minggu? Dia pikir dia itu cuti bulan madu?” keluh Taehyung jengkel. Seokjin hanya tertawa-tawa menanggapinya.

Baik Seokjin atau Taehyung sama-sama tidak sadar, Jungkook melirik sendu ke arah kios es krim itu.

Mingyu? Gyu? Cuti?

Jungkook memiringkan kepalanya dan berpikir keras.

“Aha! Bagaimana kalau aku yang jaga kios es krim? Aku tidak perlu mondar-mandir kan?” ujar Taehyung tiba-tiba, wajahnya langsung berseri-seri mengingat ia tetap bisa menerima gaji dengan jalan jujur.

Namun sayang… Seokjin menggeleng. “Jangan, Tae. Kau tidak biasa menjaga kios es krim.”

“Aish, terus aku harus bagaimana?” Taehyung melenguh. Menjaga kios es krim pun tidak boleh! Bukan karena Seokjin tidak percaya pada kemampuan bekerja Taehyung, pasti gara-gara mutan cengeng ini!

Taehyung mendengus, baru akan menggoyang-goyangkan punggungnya lagi, namun rasanya… beban di punggungnya berkurang. “Eh—?”

Taehyung dan Seokjin sama-sama terkesiap. Tanpa perlawanan dan paksaan, Jungkook melepas pelukannya. Ia mundur dua langkah, masih dengan ekspresi sendu ia melirik kios es krim dari balik tubuh Taehyung.

“Kau mau es krim, Jungkook-ah?” Seokjin memandang Jungkook dengan tatapan lembut. Ia tersenyum manis sebelum kembali menawarkan, “Kau mau es krim?”

Jungkook termenung sejenak, memandangi wajah Seokjin dengan sorot kosong. Ia memalingkan wajahnya lagi, kembali ke arah kios es krim itu sebelum mengangguk lemah.

Good. Kau mau rasa apa, Jungkook-ah? Strawberry? Coklat? Vanilla? Atau yang lain?” tanya Seokjin lagi. Senyumnya makin merekah, setidaknya kali ini Jungkook merespon.

Jungkook tidak bisa menjawab. Ia menggigit bibirnya dan menunduk gugup. Sekeras apapun ia berusaha untuk menjawab, yang keluar dari bibirnya hanya gerungan samar. Jungkook mengerat ujung lengan bajunya frustasi. Nyaris saja ia menangis saking kesalnya, namun saat Jungkook menyadari kaos pinknya berlengan panjang… Mata Jungkook membulat.

“Ung!” Jungkook menyodorkan tangannya yang tertutup lengan kaos hampir sampai ke ujung jari. Dengan mata membulat semangat, mutan itu menarik-narik ujung lengan kausnya.

“Strawberry?” tebak Seokjin dengan senyum dan kening mengerut.

“Ung!” Jungkook mengangguk antusias.

Seokjin terkekeh senang, sebenarnya ia ingin mencubit pipi Jungkook karena gemas. Namun urung mengingat sikap Jungkook yang terlalu waspada.

“Taehyung-ah, ambilkan es krim untuk Jungkook. Strawberry, lima skop.”

“Oke, hyung!” Taehyung segera melaksanakan perintah Seokjin.

Seokjin tersenyum, meski sedikit heran kenapa kali ini Jungkook tidak keberatan ditinggalkan Taehyung berdua dengan dirinya di sini. Apa Jungkook sudah mulai percaya padanya?

“Jungkook-ah, kemari…”

Jungkook berjengit kaget, baru saja Seokjin menyentuh lengannya. Namun anehnya, meskipun tidak berniat mendekat, kali ini Jungkook sudah tidak begitu canggung berada di dekat pemuda cantik ini. Kali ini Jungkook berani memandangi wajah Seokjin dengan ekspresi ingin tahu.

Seokjin menepuk-nepuk kursi disisinya. “Duduk di sini, dari sini kita berdua tidak akan kelihatan pelanggan,” ajaknya lagi sembari menunjuk etalase tinggi yang membatasi ruang kasir. Memang tempat mereka sekarang dikelilingi etalase tinggi dengan meja kasir berada di ujungnya. Karena etalase dengan penutup terbuat dari kaca dua sisi, Seokjin dapat mengawasi keadaan Kona Beans tanpa seorangpun pengunjung dan pelanggan menyadari keberadaannya.

Jungkook menggembungkan pipinya, wajahnya ragu. Namun alih-alih ia mendekati Seokjin dan perlahan duduk disisinya walaupun masih sedikit menjaga jarak.

Seokjin tersenyum senang. Jungkook menunjukkan kemajuan. Entah tebakan Seokjin benar atau salah, Jungkook sedikit luluh dengan es krim. Mungkin setelah pulang dari sini, Seokjin akan langsung berkunjung ke rumah Jimin. Ia ingin membagi tips mendekati Jungkook, pasti hyungnya akan senang sekali!

“Jungkook-ah, kaosmu manis sekali~” puji Seokjin saat ia menyadari Jungkook mengenakan kaos pink berlengan panjang dengan gambar Marie-Cat di bagian depan, ditambah celana jeans denim ketat dan ekor Jungkook yang bergerak antusias kesana-kemari. Seokjin menahan hasratnya untuk tidak mencubit pipi merah Jungkook. Apalagi rambut mutan ini sekarang dicat pirang, dan collar berbulu pink yang melingkar renggang di lehernya itu… Duuuh!

Seokjin menggigit bibirnya. Mati-matian menahan tangannya yang gatal ingin memeluk mutan imut ini. Tahan Seokjin… Tahaaan! Baru saja mutan ini menunjukkan tanda-tanda bersahabat, Seokjin tidak akan menghancurkan kesempatan itu.

Jungkook tersenyum senang saat Seokjin memuji kausnya barusan. Ia berkedip dan matanya berkilat bahagia, lalu ditariknya collar pink yang melingkar di lehernya ke arah atas, seolah bermaksud memamerkannya pada Seokjin. “Unggg!” dengungnya antusias.

“Ya ampuuun! Manis sekali Jungkook-ah. Lain kali kupinjam ya!” Seokjin berpura-pura ingin meraih collar itu, namun Jungkook buru-buru menutupinya dengan tangan dan menggeleng enggan.

“Nggg!”

“Ahahaha, hanya bercanda, Jungkookie!”

 

www

 

 

Terhitung sejak sepuluh menit terakhir, mata kucing Jungkook bergerak kesana kemari, mengawasi para pelayan tampan yang berlalu-lalang dari balik meja kasir. Dari sini, Jungkook bisa mengintip mereka dengan nyaman, karena sepertinya tidak ada yang menyadari keberadaannya. Tubuh Jungkook tertutup meja kasir hampir sepenuhnya.

Jonghyun, Minho, Jinki, Sungjae, Bogum, dan Taehyung sibuk berlalu-lalang. Semua membawa nampan minuman, bill, atau makanan. Tidak heran, karena pegawai-pegawai berwajah aduhai ini, kafe milik Namjoon tidak pernah sepi setiap harinya. Hampir 90% pelanggan tetap mereka adalah wanita. 75% gadis-gadis remaja dan sisanya para ahjumma genit.

Jungkook menyendok es krimnya dan makan dengan tenang. Ia bahkan tidak rewel lagi walaupun Taehyung berkali-kali hilang dari pandangannya. Seperti anak baik yang menurut saat harus ditinggal ibunya bekerja.

Setidaknya itulah yang terjadi selama beberapa menit awal. Jungkook masih tenang sampai satu kerusuhan (yang sebenarnya biasa untuk semua pegawai di sini) terjadi.

“Taehyung oppa, tampan sekali hari ini!”

“Kesini Taehyung oppa! Kesini!”

“Kyaaa! Aku duluan! Aku duluan!”

Jungkook mendelik. Ekornya berayun liar. Sekelompok gadis berkerumun di sekeliling Taehyung. Taehyung sendiri tidak bisa pergi kemana-mana karena gadis-gadis itu berdiri melingkarinya. Beberapa berusaha menyentuh, meskipun Taehyung dengan lihai mengelak.

“Kyaaaa! Taehyung oppa jeongmal saranghae!

M-mwo?

Jungkook tersedak, kali ini ia benar-benar tidak bisa berkedip. Dengan mulut menganga, es krim lumer dan menetes dari ujung bibirnya.

Berani sekali! Mengatakan itu pada Taehyung-nya Kookie!

“Aku bawakan coklat kukis untuk Taehyung-oppa!” seorang gadis mencuat dari kerumunan itu dan berdiri di depan Taehyung.

Taehyung terdiam, sesaat. Dan Jungkook tidak memikirkan hal lain selain berharap kalau Taehyung akan menolaknya. Taehyung tidak boleh mengambil cookies itu!

‘Kookie bisa membuatkan banyak untuk Taehyung!’

Namun sepertinya, Jungkook masih belum terbiasa dengan karakter seorang Kim Taehyung. Taehyung yang irit tidak akan menyia-nyiakan makanan gratis!

“Ah, ya! Ghamsahamnida, nde?” Taehyung sigap mengambil kotak kue itu tanpa membiarkan gadis tadi menyentuh tangannya.

‘H-hung!’ Jungkook menghentakkan kakinya, matanya berkaca-kaca.

“Taehyung oppa! Taehyung oppa! Lihat, aku bawakan sapu tangan untuk mengusap keringatmu! Ayo kemari, kau pasti lelah bekerja dari tadi!” Seorang gadis lain muncul, dengan kasar mendorong gadis lainnya agar ia mendapat akses lebih luas. Dan tanpa bisa dicegah oleh siapapun, gadis itu kini sudah berdiri dekat di depan Taehyung, lalu tanpa izin ia mengusap kening Taehyung dengan sapu tangan pink miliknya.

Sungguh. Jungkook tidak tahan lagi. Ia berdiri refleks, pipinya sudah basah oleh airmata. “H-hiks!”

“Taehyung oppa jadi pacarku saja, nde?

Kali ini, Jungkook benar-benar tidak bisa berdiam diri. Entah ada badai apa, mutan itu tidak lagi peduli dengan suasana sekelilingnya, atau betapa menakutkannya orang-orang asing itu di matanya. Siapa peduli? Taehyung miliknya!

Satu! Dua!

Jungkook melangkah menghentak-hentak, karena bibirnya tidak bisa memaki, biar saja kakinya yang melampiaskan amarah. Ia berjalan ke arah Taehyung, ekornya berkibas liar. Meskipun tubuh Jungkook tidak dapat berdusta dan tetap gemetar saat bahunya sempat bertabrakan dengan gadis-gadis yang berkerumun di sekitar Taehyung. Namun tetap, dengan nekat, Jungkook menerobos kerumunan itu. Tidak membiarkan satupun orang menyadari kehadiran tubuh mungilnya dan…

Hup!

Jungkook memeluk Taehyung dari belakang, kelewat erat sampai Taehyung tersentak dan hampir menjatuhkan nampannya.

“Arrr!” Jungkook menggerung samar, balas menatap wajah para gadis yang terkaget-kaget itu dengan ekspresi yang sebisa mungkin dibuat sangar. Sesekali melotot, lalu menggertakkan giginya seperti mengancam. Namun sepertinya, para gadis itu memberi respon tidak seperti yang diharapkan Jungkook.

“Kyaaaa! Ini siapaaaa? Neomu-neomu kyeota!”

“Cuuuuteeeee!”

“Aku mau cubit! Aku mau cubit!”

“Kyaaaaaa! Aku duluan! Aku duluan!”

“W-whoa!” Taehyung nyaris jatuh, ia mundur dengan terhuyung-huyung saat para gadis itu justru berebut untuk menyentuh Jungkook.

“Uh-uh— uuung!” Jungkook mengerut, nyalinya ciut begitu puluhan tangan itu berebut untuk dapat menyentuh sekujur tubuhnya. Ia mundur ketakutan, bersembunyi di belakang tubuh Taehyung sembari mencengkeram kaos Taehyung erat-erat. Namun tentu saja, hal itu tidak bisa melindunginya. Beberapa— ah tidak, ada banyak. Banyak sekali tangan yang berhasil meraba tubuhnya. Dari ujung kepala, pipi, telinga, punggung, hingga ke bokong. Rabaan demi rabaan itu kian meliar di sekitar selangkangan dan bokongnya. Jungkook tersentak, dadanya sesak. Hidupnya seperti berada di ambang batas. Ada sekelebat memori kelam yang kembali dalam kepalanya saat puluhan tangan itu menyentuhnya dengan kasar dan memaksa. Namun Jungkook tidak bisa berbuat apapun untuk menghentikan itu, ia bahkan tidak bisa menyingkir apalagi melawan.

“U-uwaaaaa!” dan tangis sang mutan pun pecah, di antara riuh para gadis yang tidak peduli dan tetap berebut kesempatan untuk dapat menyentuh kulit mulus Jungkook.

Taehyung kelimpungan. Kepalanya berdengung-dengung. Pusing mendengar teriakan para fangirls, tangis Jungkook, dan bahkan suaranya sendiri yang teredam oleh bising keramaian. Apalagi saat ia merasakan tubuh Jungkook yang gemetar hebat dan seolah bertumpu sepenuhnya pada dirinya.

Oh, tidak… Tidak. Jangan bilang kalau mutan ini akan pingsan lagi. Oh, please!

Taehyung merentangkan tangannya, mengerahkan seluruh tenaga dan berusaha menghalau para fangirl itu dengan kedua tangan kurusnya. Namun apa mau dikata. Ia sendiri bahkan sampai terhuyung kesana kemari karena dorongan monster-monster berseragam SMA ini.

“Yah! Hentikaaaan!” Seokjin muncul dan berteriak murka. Pemuda bertubuh pendek itu berusaha menerobos ke dalam kerumunan, dengan pengeras suara di tangan kanan dan spatula di tangan kirinya. “yah! Berhenti! Berhenti kubilang berhenti!”

Berhasil! Para gadis itu sedikit demi sedikit mundur untuk menghindar dari acungan spatula dan teriakan melengking Seokjin yang semakin memekik saja lewat pengeras suara.

“Toko ditutup! Silahkan keluar! Keluar! Keluaaaar!” jerit Seokjin dengan pengeras suara yang teracung tinggi-tinggi.

Seokjin menggiring mereka dengan bantuan Jonghyun, Bogum, dan Sungjae. Gadis-gadis itu mundur keluar, sesekali terdengar sorak demi sorak kekecewaan meski alih-alih mereka tetap melangkah keluar toko.

Begitu toko mulai senyap dan suara riuh samar-samar menjauh, Sungjae dan Bogum refleks mengunci pintu bersamaan. Jonghyun dan Jinki mundur, jiwanya seolah masih berada di awang-awang.

“Haaah! Apa-apaan itu tadi?” Sungjae bernapas tersengal-sengal, ia bersandar di pintu sambil memegangi dadanya. Jantungnya masih berdegup kencang. Gila, ini bahkan lebih mengerikan dari insiden saat Taehyung pertama kali menjadi karyawan di sini.

Seokjin hanya menggeleng heran, lalu menghela nafas, memutar pandangannya, nyaris pingsan melihat keadaan tokonya yang seolah baru saja disambangi perampok. Meja-meja bergelimpangan, beberapa kursi patah, piring dan gelas–yang untungnya terbuat dari bahan keramik— berserakan di lantai. Lebih beruntung lagi etalase toko dan barang-barang mahal lainnya tidak tersentuh, hanya bagian tengah toko yang tampak begitu berantakan. Pasti karena puluhan gadis itu mengerumuni Jungkook tadi— Ah! Ia baru ingat! Jungkook!

Seokjin berpaling, dan tercekat saat ditemukannya mutan itu terpekur di lantai, bersama Taehyung yang menyerah dan membiarkan Jungkook duduk di pangkuannya. Jungkook meringkuk, matanya terpejam, tubuhnya gemetar hebat, mati-matian ia memeluk Taehyung –berusaha berada sedekat mungkin dengan majikannya. Jungkook mencicit, menahan isak tangis dengan menggigit bibirnya sekuat mungkin –hingga bulir darah merembes setetes demi setetes…

“Y-yah! Jungkook-ah? Jungkook-ah!” Seokjin berseru panik, tidak peduli lagi kalau mutan itu akan menyingkir dan menolak keberadaannya, Seokjin mengguncang-guncang Jungkook, menepuk-nepuk wajahnya dan memaksanya untuk mendongak, “Berhenti, jangan gigit bibirmu, yah! Yah!”

Seolah mengerti situasi, orang-orang di dalam toko beranjak menolong Seokjin. Sungjae buru-buru menyerahkan kain di tangannya kepada Seokjin. Sedangkan Taehyung dan Bogum menahan tubuh Jungkook yang masih memberontak. Jinki menahan kaki, sedangkan Jonghyun menahan kepala mutan itu, dan Seokjin berusaha menyelipkan kain di tangannya ke dalam mulut Jungkook.

Namun hal itu tidak memenangkan Jungkook. Merasakan banyak tangan menyentuhnya, Jungkook justru semakin memberontak, nafasnya tersengal-sengal seolah sesuatu tengah menerornya. Ia berusaha menyingkir dari semua tangan yang menahannya, meski gagal dan akhirnya mutan itu hanya sanggup terisak dengan mulut tersumpal.

“Nggh—“ Jungkook menggigit kain yang menahan suaranya, seolah merasa familiar berada dalam posisi ini. Airmatanya mengalir makin deras. Jungkook berhenti memberontak lalu memalingkan wajah, seolah pasrah pada apapun yang akan terjadi padanya.

Sejak tadi memperhatikan respon Jungkook, Seokjin menyadari sesuatu. Ia menampik tangan semua karyawannya, lalu berbisik, “Lepas tangan kalian —lepaskan dia,”

Jungkook berjengit setiap satu tangan beranjak dari tubuhnya. Begitu kedua tangan dan kakinya terbebas, mutan itu meringkuk memeluk tubuhnya sendiri. Lalu menangis dalam kebingungan. Kenapa tidak terjadi sesuatu? Atau… belum?

“Jungkook-ah… Tenang, nde?”  Seokjin berbisik lembut. Ia beringsut, begitu hati-hati saat diraihnya tangan Jungkook. Mutan itu tersentak, meskipun kali ini ia tidak menarik tangannya. Melihat respon itu, Seokjin memberanikan diri untuk menarik tangan Jungkook, membimbingnya untuk duduk. “Tenang, nde? Ada Taehyung di sini, ada aku di sini. Tenang.”

Seokjin menarik kain yang menyumpal mulut Jungkook, dan meringis melihat bercak-bercak darah mengotori kain itu. “Jungkook-ah,

Jungkook berjengit, gemetar meski alih-alih ia tergoda untuk membuka matanya. Suara lembut itu seakan menghapus ketakutannya sedikit demi sedikit.

“Ngg— hik,” dengan sisa-sisa isak itu, Jungkook membuka matanya perlahan-lahan. Mutan itu menahan nafas, siap menerima apapun meskipun dalam hati Jungkook merasa kali ini ia tidak akan menerima tamparan atau pukulan. Perasaannya mengatakan begitu. Begitu Jungkook mendongak dengan mata sembab yang terbuka lebar, bukan wajah penuh amarah Master Hyunwoo, justru senyum lembut dan ekspresi hangat menyambutnya.

Dan seketika itu, Jungkook menghambur memeluk Seokjin.  Mutan itu memendam wajahnya di ceruk leher Seokjin dan menangis mengaduh-aduh. Menunjuk-nunjuk ke segala arah seolah mengadukan nasib sialnya hari ini.

Puas memeluk Seokjin, Jungkook beranjak. Kini duduk begitu dekat di depan pemuda yang sama pendeknya dengan dirinya itu. “Ungh! Ungh!” tunjuknya entah kemana. “Ahng! Ihng! Arrrh!” Jungkook menggerak-gerakkan tangannya, membentuk isyarat ini dan itu. Menceritakan dengan panik dan terbata-bata, dengan bahasa sekenanya.

Seokjin yang sejak tadi membeku perlahan-lahan menyunggingkan senyum lembutnya kembali, ia hanya bisa tertegun saat Jungkook tiba-tiba memeluknya tadi. Sama sekali tidak menyangka, Jungkook baru saja memeluknya tanpa dipaksa. Dan kini mutan itu duduk begitu dekat, mengadu padanya dengan bahasa yang tidak ia mengerti. Namun siapa yang peduli. Seokjin hanya bisa mengangguk-angguk, berpura-pura mengerti. Matanya berkaca-kaca. Ia mengusap wajah Jungkook, membiarkan mutan itu terus bercerita sambil terisak-isak.

“Nde, nde, Jungkook-ah,”

 

www

 

“Makanya jangan sok jagoan!” bentak Taehyung, masih merasa dongkol meskipun sedikit iba melihat Jungkook yang dikeroyok pelanggan-pelanggan ganas Kona Beans tadi. Sedikit iba, hanya sedikit. Lebih banyak kesalnya. Karena tingkah kekanakan Jungkook, seragam kerjanya jadi rombeng seperti ini.

“Aaaah—“ Jungkook merengut sedih, ekspesinya suram seolah tangisnya rawan pecah kapan saja. Ia memeluk Seokjin dari samping, dan memandangi pemuda itu dengan mata memelas yang hanya butuh seper sepuluh detik, meluluhkan hati Seokjin yang juga sama rapuhnya.

“Berisik, Taehyung!” Seokjin melotot, mengancam Taehyung hanya dengan delikan mautnya yang selalu sukses membuat sepupu ipar nan kikirnya itu bungkam. “Sssh, Jungkook-ah. Kalau Taehyung nakal, nanti aku yang akan memukul bokongnya! nde?

“Ah!” Jungkook mendongak kaget, memandang Seokjin makin memelas lalu menggeleng panik. Ia menunjuk Taehyung sekali, lalu menggeleng-geleng lagi.

“Dia? Tidak boleh dipukul?”

Jungkook mengangguk.

“Tapi dia nakal!”

“Uhnggg—“ Jungkook menggerung pelan. Mutan itu menggeleng-geleng lemah, memohon dengan segenap ekspresi manis yang mampu ia curahkan.

“Haah— Ya sudahlah,” Seokjin mengalah, meski sedikit tidak ikhlas. Ia kembali mengusap kepala Jungkook, sukses membuat mutan kucing itu memeluknya makin erat. Kucing suka dibelai, tentu saja ia akan semakin rekat pada Seokjin.

Taehyung mendengus, ia baru akan kembali ke depan untuk membantu teman-temannya membereskan puing-puing toko saat Seokjin memanggilnya lagi.

“Hei, Taehyung,” Seokjin menyeringai. Seketika itu, Taehyung membeku di tempatnya. Merasa heran sekaligus ketakutan, kenapa wajah secantik itu bisa tampak lebih mengerikan daripada iblis di saat-saat tertentu.

Seokjin tersenyum begitu manis. Jungkook masih memeluknya, meskipun tatapan mutan itu tercurah seluruhnya pada Taehyung. Jungkook sama sekali tidak menyadarinya saat bibir Seokjin bergerak-gerik tanpa suara.

“Kali-ini-kau-kuampuni, Taehyung.”

Cukup. Hanya itu dan Taehyung tidak sanggup berlama-lama berada di ruang karyawan. Dengan  gugup, ia berbalik dan pergi dari sana.

 

www

 

Pukul 17.50, senja hari namun matahari belum terbenam sepenuhnya. Setelah meja-meja dan kursi dibenahi, piring-piring dan barang berserakan di lantai dibersihkan. Seluruh karyawan–yang hadir hari itu— beserta pemilik Kona Beans, berkumpul di dalam toko.

Meskipun  terjadi insiden mengerikan tadi siang, hari ini berakhir dengan menyenangkan. Menyenangkan bagi Seokjin karena Jungkook berhasil luluh padanya, menyenangkan bagi karyawan lain karena tiba-tiba Seokjin mengumumkan libur toko selama dua hari, menyenangkan bagi Jungkook karena Seokjin berjanji mengajaknya jalan-jalan dua hari ke depan, juga menyenangkan bagi Taehyung karena Seokjin juga berjanji tidak akan ada potongan gaji meskipun libur kerja.

Senja ini, semuanya berkumpul karena Seokjin belum dijemput oleh Namjoon. Dan seluruh karyawan terpaksa menemaninya, sampai sang Boss pulang barulah rakyat jelata seperti mereka diperbolehkan pulang juga.

“Ah, ya!” Seokjin teringat sesuatu, ia merangkul Jungkook yang masih sibuk dengan lolipopnya. “Aku belum mengenalkanmu dengan mereka semua.”

Bogum, Sungjae, Jinki, dan Jonghyun yang awalnya sibuk bercanda satu sama lain, kini serius memperhatikan Seokjin. Sebenarnya sejak awal mereka berempat juga saling bergantian melirik Jungkook. Mencuri pandang untuk dapat melihat seseorang yang berwajah cantik, manis, sekaligus imut yang jarang-jarang bisa dilihat secara langsung seperti ini. Sedangkan Taehyung… Taehyung hanya berpaling sebentar, sebelum kembali sibuk menghitung lembar uang beserta koin-koin receh miliknya.

“Jungkook-ah, ini— Lee Jinki. Kami biasa memanggilnya Jinki,” Seokjin menunjuk seseorang yang duduk paling pojok dari sebelah kirinya.

“Hai,” Jinki tersenyum canggung sembari melambaikan tangannya. Jungkook mendongak sebentar, mengerjap, lalu kembali sibuk menjilati permennya. Mutan itu hanya diam –tidak peduli saat Seokjin mulai menyebutkan nama karyawannya satu persatu.

“Yang ini, Bogum—“

“Hai, Jungkook-ah.”

Slurrrp…”

“Sungjae—“

“Salam kenal, Jungkook-ah~”

“Nyem…. Nyem.”

“Dan yang ini, Jonghyun!” Seokjin menunjuk orang terakhir yang duduk di sisi Taehyung dan tersenyum genit ke arah Jungkook.

“Uuuh!” Jungkook mengerut, antara takut dan marah dipandangi dengan genit seperti itu. Ia beringsut, menarik kursinya mundur dan bersembunyi di belakang Seokjin.

Seokjin yang melihat itu pun spontan terkejut, lalu melotot pada Jonghyun yang sama kagetnya diperlakukan seperti itu.

“Kau apakan dia, hah?”

“A-aku tidak berbuat apa-apa, hyung! Senyum manis apa salahnya, ya?”

“Huh!” sungut Seokjin. Meski ekspresi muramnya hanya sesaat, berganti dengan senyum manis saat ia berpaling pada Jungkook. “Kau sudah kenal semuanya ‘kan Jungkook-ah?” Seokjin bertanya lembut, meski hanya dijawab dengan angguk ogah-ogahan dari Jungkook.

Jungkook masih menjilati permennya, meski diam-diam ia melirik Taehyung dari sudut matanya. Taehyung sama sekali tidak bergeming dari tempat duduknya, begitu serius menghitung lembar-lembar uang dan koin tanpa memedulikan Jungkook sama sekali.

Reernnng—“ Jungkook menarik ujung kemeja Seokjin, meminta perhatian yang tentu dengan mudah ia dapatkan.

“Ya, Jungkook-ah?”

“Uhung?” Jungkook mengangkat dagunya, seolah menunjuk ke arah Taehyung. Bertanya kenapa hanya nama Taehyung yang belum disebutkan dari seluruh orang di ruangan ini.

“Dia?”

“Uhung,” Jungkook mengangguk semangat.

“Kenapa dia?”

Jungkook cemberut. Seokjin tidak mengerti maksudnya. Akhirnya ia menunjuk satu persatu seluruh orang yang dikenalkan Seokjin tadi.

Taehyung hanya mendongak sesaat, melirik Seokjin dan Jungkook yang tengah berkomunikasi meski dengan susah payah. Lalu ia kembali menunduk tidak tertarik. Meskipun kedua orang itu kini tengah menunjuk-nunjuk dan membicarakan dirinya, lembar-lembar dan koin uang yang ada di hadapannya ini tampak lebih menarik.

“Ung! Ung! Ung! Ung!” Jungkook menunjuk Jinki, Bogum, Sungjae, lalu Jonghyun. Dan terakhir, ia menunjuk Taehyung, “Uhng?” sembari mengangkat dagu ke arah Seokjin.

Seokjin tertawa. Mulai mengerti maksud pesan yang ingin disampaikan oleh Jungkook. Apa mutan ini tersinggung karena hanya nama Taehyung yang tidak ia sebutkan tadi? Lagipula untuk apa dikenalkan kalau mutan ini saja seolah menjadikan Taehyung sebagai separuh belahan jiwanya?

“Namanya?” Seokjin bertanya lagi, dan dijawab oleh angguk antusias Jungkook.

“Kau tahu siapa namanya?” pancing Seokjin yang memang tidak berniat menjawab Jungkook.

Jungkook menurunkan permennya, menelan ludah dan dengan susah payah melafalkan nama yang sebenarnya terpatri jelas dalam kepalanya.

“Tahnggg—“ dan Jungkook pun menunduk, tersenyum malu-malu. Meskipun suaranya mendengung tidak jelas, tetap saja ada nuansa dan gejolak aneh saat ia menyebutkannya. Namun sayang, Taehyung benar-benar mengabaikannya.

“Tahmngg!” Jungkook merengut, suaranya merajuk. Lalu mutan itu menghentakkan kakinya kesal. “Yuuung!” Jungkook baru akan beranjak mendekati Taehyung, namun gerakannya terhenti. Bukan, bukan karena tangan Seokjin yang menahannya.

Namun sesuatu di luar sana… Sosok tinggi bermantel bulu dengan sorot mata tajam yang bertemu pandang dengan Jungkook…

Jungkook tercekat. Ia membeku di tempatnya berdiri. Seakan tidak mendengar apapun kecuali suara degub jantungnya sendiri. Jungkook mendelik, dengan pandangan yang terus mengikuti langkah demi langkah sosok itu, hingga menghilang dan tak tampak dari jendela toko.

Jungkook jatuh terduduk. Tidak sanggup menahan beban tubuhnya untuk berdiri lebih lama. Memori demi memori kelam kembali menyergapnya, kali ini dengan lebih ganas dari sebelumnya. Sorot mata itu, sorot mata yang dipenuhi amarah… Sorot mata yang ia kenal dengan jelas, terpatri dengan paksa di dalam hatinya.

Master Hyunwoo. Choi Hyunwoo.

“Aah! Aah!” Jungkook mengerat rambutnya, suara-suara aneh itu kembali berdengung di dalam kepalanya. Pusing, nyeri, takut, dan segalanya seakan menekan Jungkook sampai ke batas kesanggupannya. Bahkan untuk bernapas pun sulit. Untuk mengatakan ‘jangan’ pun ia tak sanggup. Jungkook sudah terlalu mati rasa saat orang-orang dengan panik menolongnya, berusaha mengembalikan kewarasannya. Namun, suara Master Choi menariknya semakin dalam. Semakin sakit.

“Aaaaaahhh!”

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “KKB -4. No touch! Taehyung’s Kookie!”
Beranda
Cari
Bayar
Order