of the deep end; (Bayibulan/Fanbook Buyer)

Author: saga_project

of the deep end;

bayibulan

 

Pairing : YoonKook

Rating : 18+ (NSFW)

Genre

Warning : Nsfw, Smut, Dub-Con, Emotional manipulation, Vore, Dirty-talks, Mentioned!underage-sex (briefly), Rimming, Overstimulation, Bare-backing, Multiple orgasm,  Dead-dove: do not eat.

Disclaimer : Pinocchio original story belongs to Carlo Collodi.

 

jungkook sama sekali tidak bisa menghilangkan keinginan itu dari pikirannya. sebab keinginan itu begitu besar; menghantuinya siang dan malam, dan membuatnya tidak bisa tertidur nyenyak. menjelang tidur, keinginan itu akan membuatnya melempar pandangan jauh ke arah laut. menyaksikan airnya yang biru beriak dalam gelap, dan dalam hati hanya bisa berharap; bahwasanya kesempatan paling aneh pun, akan datang kepadanya, dengan cara yang aneh pula.

sejujurnya, jungkook pula, bukan seorang penggemar dongeng carlo collodi. dia tidak menyukai cerita yang terlalu fiktif dan memaksanya untuk berimajinasi, sama sekali. namun, kalau pun harus memilih, ia lebih menyukai konsep dongeng yang dibangun oleh andersen karena beberapa di antaranya, terdengar lebih logis. namun, secara partikular, ia merasa memiliki sebuah keterikatan yang erat dengan si dongeng pinokio. entah bagaimana, ia juga tidak tahu. padahal, kalau boleh jujur, cerita itu terasa terlalu menghayal. mengajari anak untuk tidak berbohong dengan kutukan hidung yang panjang, terkesan sangat tidak mendidik. kenapa pula, kita harus repot-repot mengatur bagaimana seseorang harus bersikap, dengan sebuah ancaman? terkadang, kita bahkan tidak bisa menghindari sebuah kebohongan kecil untuk kebaikan, tapi dongeng itu sama sekali tidak bersikap toleran. membayangkan akan memiliki hidung panjang ketika kamu terpaksa berbohong demi kebaikan (seperti misalnya mengatakan muffin buatan nenek itu luar biasa lezat ketika rasa aslinya lebih seperti bencana), sama sekali tidak membuatnya menarik. ia justru akan nampak sangat bodoh. si bodoh jungkook berhidung panjang yang dipaksa ber-parade sepanjang siang bolong hanya karena tidak menjadi anak baik.

namun, dari keseluruhan isi dongeng italia itu, jungkook selalu akan kembali ke satu sesi secara partikular. bagian dimana pinokio ditelan oleh si paus raksasa, dan menghabiskan waktunya mencari cara untuk keluar. satu bagian itu—satu bagian krusial itu, selalu membuat pikiran jungkook melayang semakin jauh. bulu kuduknya bergidik, dan jantungnya berdebar penuh antisipasi.

ia ingin—sangat ingin—untuk berlari ke arah dermaga. menjatuhkan diri dengan sengaja ke dalam riak air laut yang penuh kuasa. menanti waktu dimana hari yang aneh itu akan tiba; menanti pada saatnya ia akan ditelan oleh seekor paus raksasa.

 

hari itu datang, akhirnya.

di suatu siang dimana jungkook memilih untuk menghabiskan waktunya terombang-ambing di atas sekoci. meninggalkan kapal ikan, membiarkan ayahnya menjerit-jerit memanggil namanya dari dermaga, dan dengan penuh percaya diri, ia lantas mendayung perahu kecilnya semakin jauh ke lautan. 

“menjauhlah dari laut!” salah seorang warga berseru, “kalau kamu tidak mau berakhir dimakan oleh rorqual!”

ia menghabiskan waktu nyaris separuh hari untuk sampai di palung terdalam. melewati garis batas yang ayahnya—seorang pelaut sekaligus nelayan yang tahu percis apa yang dia lakukan—tetapkan, dan menunggu dengan harap-harap cemas. langit yang semula cerah kebiruan, kini dilingkupi awan kelabu tebal, diselingi suara gemuruh guntur yang saling bersahutan. jungkook tidak tahu apa yang ia harapkan; kembali pulang dan menetapkan bahwa ini adalah ide yang buruk, atau menunggu sebuah kilat dengan lancang menyambar dan membuat perahu kecilnya terbalik hingga ia tenggelam ke dasar lautan. yang manapun bukan pilihan yang bagus; sebab kembali pulang ke dermaga, berarti bersiap untuk menerima omelan seharian penuh, dengan konsekuensi untuk tidak pernah kembali melaut.

jungkook terlalu terhanyut di dalam pikirannya sendiri, hingga tidak menyadari bahwa riak ombak kini tidak lagi bersahabat. permukaan air laut bergelombang dan berguncang hebat hingga membuat perahunya limbung—di satu sisi, menghadiahi sebagian lambungnya terisi oleh air laut, dan ikan kecil yang berkecipak putus asa. ada bagian-bagian dari laut yang membentuk sebuah pusaran; dan jungkook tidak terlalu tertarik untuk mengetahui, apa yang akan terjadi apabila ia nekat untuk berenang ke dalamnya. 

dia terlalu sibuk menyeimbangkan permukaan perahu kecilnya yang semakin mengancam untuk membalik. terlalu sibuk membuang air yang berulang kali menghantam ke dalam lambung sekoci—membasahi tubuhnya dari ujung kepala hingga kaki—, mengumpati hujan yang tidak lantas berhenti, sampai tidak menyadari, bahwa mulut si raksasa laut, tengah membuka. menghampirinya secara diam-diam, dan menutup hari dengan menariknya ke dalam kegelapan.

 

;

 

di dasar laut, jungkook sempat berpikir bahwa sang rorqual itu bakal langsung menelannya bulat-bulat seolah dirinya tidak lebih dari salah satu di antara ribuan kawanan ikan sarden. namun, justru disinilah ia sekarang. berada di dalam rongga mulut si raksasa laut, terduduk rapi di atas puing-puing sisa sekoci. mungkin seharusnya dia merasa putus asa, dan meraung menyedihkan meminta untuk pulang. menyesali betapa keras kepalanya dia yang dengan lancang tidak menghiraukan nasehat ibu, dan memilih mendayung sekocinya melampaui batas wajar lautan. namun, dia justru lebih merasa terkagum-kagum ketika kini, ia mendapati sebuah palatum sebagai langit-langit. bau asin memenuhi ruangan kedap itu, dikelilingi barisan gigi runcing tipis yang berdiri seperti sikat bulu. jungkook merasakan lantai yang ia pijaki sedikit berguncang, diikuti suara gemuruh, yang ia simpulkan bahwa si raksasa laut itu baru saja bersendawa.

ini luar biasa, dia ingin berseru. seperti dongeng pinokio, dia kini sedang berjalan-jalan di rongga mulut tidak berujung. jungkook penasaran sebesar apa ukuran uvula-nya. apakah dia bisa bergelantungan disana? atau, dia bakal lebih dulu masuk ke dalam perutnya dan dihancurkan oleh asam lambung hewan tirani itu, sebelum dia mampu menjelajah seluruh anggota tubuhnya?

jungkook berharap, dia bisa memberitahu seluruh warga desa tempatnya tinggal bahwa, dimakan hidup-hidup oleh seekor hewan besar seperti paus tidaklah seburuk itu. bahwa sesungguhnya, manusia dan kepala besarnya itu tidak lebih agung dari cuilan-cuilan alga mikroskopik yang bisa saja tersangkut di antara barisan gigi runcing itu. bahwa sesungguhnya, mereka begitu kecil, dan dunia di sekitarnya sangat-sangat besar.

manusia dan segala ke-naifannya. manusia dan segala kepongahannya. sains dan ilmu pasti tidak akan ada yang bisa menjelaskan sesuatu yang lebih ajaib ketimbang berada di tengah mulut si raksasa laut yang akan membawanya entah kemana. bahwa, terombang-ambing di ruang kedap antariksa, tidak lebih luar biasa ketimbang berada di suatu tempat, entah dimana, di kedalam laut yang tidak bernama.

 

jungkook berpikir, mungkin, sebenarnya dia sudah mati. dan apa yang ia pikir ia pijaki, ia lihat, dan ia ciumi ini tidak lebih dari sekedar ilusi optik yang akan membawanya menuju gerbang perantara hidup dan mati. rasanya gemas sekali; dan tangannya terasa gatal ingin menelanjangi dirinya sendiri, dan berguling di atas lidah si raksasa laut yang tidak berhenti berkontraksi kecil. seolah bulatan-bulatan papil di permukaannya ingin merasakan tubuh jungkook yang menekuk sensual di atasnya. 

jungkook bergidik; membayangi tubuh telanjangnya dijilati si raksasa laut, membuatnya merasa begitu diinginkan. ia tidak pernah lebih bergairah dari ini sebelumnya, dan ia membayangkan bahwa raganya sangat seksi. tiap lipatan kulitnya menciptakan sengatan-sengatan kecil yang membuatnya terasa semakin agitasi, hingga tidak ada yang lebih ia inginkan ketimbang menanggalkan pakaiannya yang terasa gatal semakin lama ia kenakan.

seharusnya begitu. ia mungkin sudah mati. tapi, ada secuil keraguan dari kalimat itu, ketika pada suatu barisan waktu yang terlewat, membuatnya melihat secercah cahaya berpendar dari suatu sudut di dalam kegelapan. cahaya itu berwarna temaram; seperti lampu pijar yang ayahnya ciptakan ketika malam terlalu gelap untuknya melarung melaut. mengerjap-ngerjap seperti kunang-kunang yang membuatnya tergelitik ingin mencari tahu. jungkook membatalkan kuasa jemarinya yang baru akan membuka kancing bajunya satu per satu, dan memilih untuk menyusuri kegelapan, dengan debaran penuh antisipasi ketika dari ujung matanya yang memicing, ia melihat ujung sayap sebuah sekoci.

“halo?” 

jungkook memanggil. suaranya seolah menggema dalam ruang hampa. tidak ada yang menyahut, selain suara gemuruh dari si raksasa laut yang memecah arus di luar sana.

ia mendengar suara seperti air hujan yang menetes di atas plafon baja. suaranya terdengar tik tik tik mengiringi langkah jungkook yang nampak ragu di atas papila lidah si ikan paus. kalau tidak berhati-hati, ia bisa saja tergelincir, dan meluncur pasrah hingga tercebur di lautan asam lambung. dan dia tidak bisa mengambil resiko yang riskan seperti itu; tidak, sebelum si raksasa laut bisa mengecap rasa kulitnya yang halus, dan merasakan bulir-bulir papilanya yang besar itu menggelitik kemaluannya.

“hei, apa ada orang disana?” 

ada suara geraman—jungkook pikir, mungkin dia bukan satu-satunya makhluk hidup disini. bisa jadi seekor anjing, babi hutan, atau sesuatu yang jungkook tidak bisa tebak seperti apa rupa dan bentuknya. ia memikirkan sejuta kemungkinan terburuk yang merayap-rayap di dalam pikirannya, akan makhluk macam apa yang ia temui. sampai semua imajinasi abstraknya lebih dulu terpecah selepas hidungnya mencium bau pengit yang begitu khas seperti tembakau.disana, di atas sekoci kecil yang masih nampak utuh itu, duduk seorang laki-laki yang tengah memainkan cerutu di antara jari-jarinya yang kurus. laki-laki itu nampak tidak acuh; bahkan dia tidak sekalipun merasa bahwa menjawab pertanyaannya itu perlu. dia cuma duduk, menghisap cerutunya lamat-lamat, lalu dihembuskan perlahan hingga asap kelabunya terpecah di atas rambutnya yang acak-acakan. dia bahkan tidak menoleh ke arah jungkook; yang dengan segala—nyaris—ketelanjangannya nampak begitu mulia. 

“uh, tuan….” jungkook mencicit. aneh rasanya melihat manusia lain di dalam mulut ikan paus, sebab nyatanya, ini tentu bukan sebuah tempat pertemuan yang terbilang lazim, “apa yang kamu lakukan disini?”

laki-laki itu menghembuskan asapnya yang lain, sebelum melirik dari sudut matanya yang menyipit seperti badam, “pertanyaan yang sama untukmu.”

“aku yang bertanya lebih dulu, jadi setidaknya, tolong jawab aku.”

laki-laki itu mendengus, lalu menjentikkan abu cerutunya yang sisa separuh, “aku sudah menghabiskan waktu yang lama sekali terombang-ambing di laut, nak.”

“bukan nak, dan itu sama sekali tidak menjawab pertanyaanku.” jungkook menggerutu, “memangnya kemana tujuanmu?”

“kemana pun laut membawaku.” ia menjawab, yang sama sekali tidak memberikan kepuasan apa-apa kepada jungkook dan jiwa mudanya yang begitu penasaran.

“tidak menjelaskan kenapa kamu ada disini.” ia meniti laki-laki itu dari ujung kepala hingga kaki. pakaian yang dikenakannya nampak necis dan eksentrik, tidak seperti yang dikenakan orang-orang di desanya. jadi, jungkook menyimpulkan, bahwa laki-laki ini mungkin berasal dari negeri yang jauh sekali, “apa kamu seorang pendatang?”

“aku pengembara, ya.” angguknya, “beritahu aku. apakah ada pulau yang berada di dekat sini?”

tentu saja, jungkook menyahut remeh di dalam kepalanya, “tapi, pulau itu kecil dan tidak ada apa-apa selain perkampungan nelayan. orang sepertimu, tidak akan menemukan apa-apa kalau kesana, tuan.” sahutnya, “dan sepertinya, kita sudah berenang menjauhi rumahku. entah kita bakal keluar dari sini dalam keadaan hidup, tapi, pertanyaanmu tadi seperti mengandung harapan yang besar sekali.”

“siapa namamu?”

“jungkook.” gumamnya pelan, “anda sendiri…uh, tuan?”

“yoongi. min yoongi.”

“namamu bagus. jungkook berkata jujur, “kalau begitu, uh, tuan min? kalau kamu tidak keberatan aku memanggilmu begitu. um, kita sebenarnya berada dimana?”

“seperti kelihatannya.” laki-laki itu menyahut singkat, “kita berada di dalam mulut ikan paus.”

“seperti cerita pinokio?” suaranya terdengar antusias, “paus bungkuk?”

“paus bungkuk tidak akan bisa menelan kita, jungkook. kenyataan itu akan membuatnya terdengar tidak terlalu mengerikan.” ujarnya, “ini paus sperma. dan kalau kamu tidak bisa menjaga kakimu agar tetap stabil, kamu bisa saja tergelincir memasuki esofagusnya, dan berakhir di salah satu dari empat bilik perutnya.”

kedengarannya sangat menggairahkan, jungkook bergidik, “kamu terlihat tenang.”

laki-laki itu mendengkus. senyumnya terulas tipis, dan di sekitarnya ditumbuhi anak-anak janggut. rambutnya panjang dan berantakan—ujung-ujungnya nampak ikal. pakaiannya yang semula seharusnya nampak eksentrik, kini tidak lebih dari sekedar mantel mahal kusam yang tidak terurus, “sudah berapa lama kamu berada disini?”

sebuah jeda sesaat, sampai laki-laki itu berdeham, “cukup lama untuk membuatku mengalami dehidrasi biologis.”

jungkook tidak mengerti. dehidrasi apa katanya? 

“maaf, tapi aku tidak mengerti.” ia menggeleng, dan laki-laki itu menatapnya sebentar. matanya menelusuri jungkook—menjelajahi tiap lekuk tubuhnya dan sesaat, jungkook merasa benar-benar telanjang di bawah bola matanya yang kelam.

laki-laki itu mengarahkan dengan kaitan telunjuk, kedikan dagu, juga mata yang berbinar oleh pantulan temaram lentera sambil berkata, “kemarilah, dan biar kutunjukkan apa maksudku.”

jungkook hampir saja menurut, kalau bukan karena suara-suara yang menggaung lemah di belakang kepalanya, “ibuku bilang, jangan percaya pada orang asing.”

“apa aku orang asing buatmu?”

“kita baru saja bertemu.”

“ya, dan kamu sendiri sudah tahu namaku. bukankah itu saja sudah cukup?”

“tapi—”

“kemarilah,” ia memburu. telapaknya yang terulur, menuntun jungkook untuk perlahan-perlahan mendekat. kakinya sempat melangkah ragu menaiki sekoci, dan nyaris limbung ketika lidah si ikan paus merasa tergelitik oleh kakinya yang berjinjit. hingga yoongi lantas tersenyum puas, ketika jungkook sudah terduduk sempurna di salah satu bilah papan kayunya, “nah, begitu. anak baik.”

“lalu, sekarang aku harus apa?”

yoongi menatapnya dari ujung kepala hingga kaki—jungkook sudah hilang hitungan berapa kali laki-laki itu sudah menatapnya, semenjak mereka bertemu. tapi, dia tidak mengeluarkan protes untuk itu—sambil menyesap cerutunya. pengit asapnya membuat hidung jungkook gatal terusik, tapi dia cuma diam.

“berapa usiamu?”

“tujuh—delapan belas, september ini.”

“bagus.” angguknya. jungkook sempat kebingungan; dimana bagian bagusnya?

jungkook disana berdiri dengan sangat tidak yakin, ketika lagi-lagi yoongi membawa bola matanya bergulir dan meneliti tiap sudut dan lekuk tubuh jungkook yang berdiri canggung. jari-jarinya yang panjang dan kurus, sekilas menyentuh punggung tangan jungkook—rasanya dingin, kasar, sedikit lembab, dan cengkeramannya begitu kuat. dia tidak pernah merasakan bagaimana rasanya digenggam begitu pasti; tidak pernah merasakan keintiman dua mata yang menatapnya begitu penuh ingin, sampai ketika yoongi berbisik.

“sampai batas mana aku boleh menyentuhmu?”

bisikan itu membuat jungkook bergidik. suara yang dalam dan serak itu, menggaung di seluruh langit-langit mulut, dan menggelitik tiap inchi kulit jungkook, seolah mengajaknya untuk luruh dan terlarut, terjatuh dan patuh dalam genggaman laki-laki yang mengulas seringai penuh, kala mendapati bagaimana sinar mata jungkook kini berbinar redup.

 

mungkin, apabila ibunya juga berada disana, ia akan mengatai jungkook adalah anak laki-lakinya yang paling keras kepala, pembangkang, tidak bisa diatur, dan juga bodoh. jungkook bisa membayangkan raut perempuan itu ketika marah. rambutnya yang dihiasi helai-helai abu keperakan, dengan anak rambut yang mencuat kemana-mana, pastinya akan membuat wajahnya yang dipenuhi kerut keriput itu nampak lebih mengerikan. belum lagi, matanya yang bulat—kata ayah, jungkook mewarisi mata belo milik sang ibu—akan terlihat lebih besar lagi ketika perempuan itu menatapnya sambil melotot. jungkook bahkan bisa mendengar suara sang ibu yang mendengkik marah di telinganya, sambil berkacak pinggang ketika melihat apa yang tengah jungkook lakukan sekarang.

seharusnya, dia bisa membela diri. seharusnya, yang jungkook lakukan adalah memukul kepala laki-laki itu dengan combat boots yang dikenakannya, hingga laki-laki itu tidak sadarkan diri. dia bisa saja mencaci laki-laki itu dengan serapahan rapalan nama binatang, sambil melayangkan pukulan demi pukulan di rahang sempurnanya. jungkook bukan anak laki-laki yang lemah. bertahun-tahun menemani sang ayah mengarungi laut, melarung sampan, dan mengangkat jala yang penuh dengan ikan, membuat otot-otot yang membentuk lengannya itu bukan sekedar bualan. jungkook bisa mematahkan dahan dedalu yang bahkan melebihi lebar pahanya dengan tangan kosong. dia bisa mengangkut dua drum yang berisikan anggur merah dari rumahnya, menuju pasar yang terletak di kaki bukit. menjegal laki-laki ini, dan mengirimnya langsung ke neraka bukanlah satu pekerjaan besar, bukan?

namun kenyataannya, jungkook justru hanya bisa berbaring di atas papan sekoci seperti orang bodoh, seraya laki-laki itu melucuti celananya tanpa permisi. membiarkan kedua tungkainya terbebas bagi mata asing menjelajahi tiap jengkal kulit yang tersembunyi, sebelum laki-laki itu menarik dalamannya, dan membuangnya asal. 

jungkook bisa merasakan hembus nafas si raksasa laut pada kelaminnya. dari posisinya yang dibiarkan terbaring menghadap langit-langit, dia bisa melirik ke arah dimana penis itu berdiri tegak, dengan ujungnya yang merembeskan cairan mani. jungkook mungkin manusia paling sinting yang pernah kalian tahu. dia baru saja menyuarakan pikirannya dalam diam akan keinginannya ditelan oleh ikan paus. oleh fantasi-nya agar ikan itu menjilati sekujur tubuhnya. dan sekarang, selayaknya buah ceri di atas krim kocok, jungkook tidak bisa tidak bergairah ketika menghadapi kenyataan, bahwa laki-laki yang mengangkanginya kini, bisa saja akan memperkosanya saat itu juga.

ini salah. ini tidak benar. tidak seharusnya jungkook merasa tidak sabaran ketika laki-laki itu berkutat dengan resleting celananya. tidak seharusnya jungkook mengantisipasi ketika penis laki-laki itu pada akhirnya berdiri tegak tepat di depan mukanya dengan berdebar. tidak seharusnya jungkook membiarkan laki-laki itu membuka kedua kakinya lebar-lebar, dengan dia yang senang hati mempersilahkan laki-laki itu berada di antaranya.

satu rintihan terselip dari bibirnya yang ranum, ketika ujung kelamin pria itu menyentuh kerut lubang pelepasannya yang kering.

“paus sperma bisa menghabiskan waktu hingga enam belas jam untuk memuntahkan isi perutnya ke dalam lautan, jungkook.” ujar yoongi sambil menyugar rambutnya yang berantakan. bulir-bulir keringat berkilauan pada dahinya yang diterpa temaram lentera.

jungkook menatapnya tenang. seolah dia tidak sedang separuh telanjang. seolah yoongi tidak dengan terang-terangan berusaha mencabulinya saat itu juga. yang ada di pikiran jungkook saat ini adalah; betapa gila-nya mereka, untuk bercinta di dalam mulut seekor ikan paus raksasa.

“aku tidak berhenti menghitung.” ujarnya lagi, “dan kupikir, aku sudah terjebak disini selama delapan? sepuluh jam? tidak ada hiburan untukku sama sekali. dan sekarang, aku justru dihampiri seorang anak laki-laki, begitu penurut, begitu patuh, dan dengan senang hati membuka kedua kakinya untukku, bukan begitu?”

jungkook mengangguk, seraya memposisikan pinggulnya agar lebih nyaman. kedua lengannya dibiarkan terkulai di kedua sisi kepalanya. sepenuhnya pasrah atas kuasa yoongi atas dirinya, bahkan ketika laki-laki itu hanya sekedar menggerayangi perutnya dengan bantalan jemarinya yang dingin.

“bagaimana perasaanmu, jungkook?”

“baik,” jungkook menyahut cepat, “tidak pernah merasa lebih baik dari ini.”

laki-laki itu mendehum, mengangguk, “begitu, ya?”

“aku sangat menginginkan ini.” ujarnya lagi, “tidak tahu. itu aneh. tapi, satu hari aku pernah berbaring di atas batu karang. membiarkan kulitku disapukan oleh gelombang berpasir. rasanya aneh, tapi aku suka ketika kulitku digerayangi kepiting-kepiting kecil.”

“dan situasi ini tidak mengganggumu sama sekali?”

jawaban yang seharusnya adalah, iya, sangat. namun, jawaban yang sebenarnya menggaung di dalam kepala kecil jungkook adalah, tidak tahu. maka, jungkook dengan seluruh kebijaksanaan akalnya, memilih untuk diam. kenyataan bahwa tubuhnya tengah separuh telanjang, dan langit-langit di atas kepalanya memperingatkan bahwa dia sedang tidak berada di atas kenyamanan ranjang, membuatnya benar-benar tidak bisa berpikir waras.

yoongi melihat langit-langit. wajahnya mengernyit ketika mendengar suara gemuruh yang dicipta hewan itu, menggetarkan badan sekocinya.

“kedengarannya tidak untuk waktu yang lama.”

“apanya?”

pria itu tidak menyahut lagi. kali ini, laki-laki itu meraih kedua lengan jungkook untuk dikaitkan di belakang lutut, seraya mengungkit kakinya hingga menyatu dengan dada. posisi ini, membuatnya semakin jelas terlihat oleh yoongi yang menatapnya dengan pandangan berkilat. lubang analnya berkedut ketika laki-laki itu membawa wajahnya mendekat. ujung hidungnya mengendus di sekitar kulit perineum hingga membuatnya bergidik, sebelum memberikan satu kali jilatan percobaan.

“a-ah,”

jungkook mendeguk. jilatan demi jilatan, berubah menjadi kecapan ketika bibir yoongi ikut mencumbunya disana. telapaknya yang lebar dan kasar menahan kedua paha dalam jungkook dari mengapit kepalanya di antara. ruang hampa mulut paus itu membuat suara decakannya menggaung cabul di telinga jungkook yang hanya mampu merintih menerima. untuk seorang anak laki-laki yang sehat, jungkook tentunya tidak pernah menyentuh dirinya sejauh itu. sensasi benda lunak dan basah itu terasa menggelitik di sekitaran kulitnya yang mengerut. ujung tumpulnya yang hangat, seperti berusaha meraih sesuatu di dalam sana yang tidak akan pernah jungkook tahu. 

rasanya aneh, namun bukan dalam artian jungkook tidak menyukainya. lidah yoongi bergerak secara acak disana. membasahi dinding analnya yang semula kering. ibunya dulu pernah berkata, bahwa tidak seharusnya anak laki-laki memasukkan apapun ke dalam lubang analnya—sekalipun jungkook suatu hari pernah dibuat terlalu penasaran, dan mencoba menarik-narik pinggirnya dengan telunjuk. ibu menangkapnya di tengah aksinya ketika hampir memasukkan linting pecahan kayu bakar ke dalam sana di usianya yang masih dua belas tahun, dan mengakibatkan jungkook yang menangis pilu pasca pantatnya habis dipecut oleh tangkai sapu.

gerakan itu semula lamban. menjilat-jilat, mengoyak masuk pelan-pelan, sebelum memutar jauh di dalam. jungkook mengatur nafasnya pelan-pelan, namun berakhir tercekat dalam pekikan ketika gigi yoongi justru menggigit kerutnya di antara koyakan lidahnya.

‘mm, tuan min, uh,’ sahutan yoongi yang berupa dehuman, mencipta getaran yang membuat jungkook bergidik. dia mendekut, ‘ini—uh, ini aneh.’

“aneh?” yoongi menyelesaikannya dengan suara kecipak basah. lagi, jungkook bersemu ketika mendapati bibir laki-laki itu berkilat, dan seuntai benang liur enggan lepas dan menggantung pada sudutnya.

dia tidak tahu kenapa dia merasa kecewa ketika rasa aneh itu hilang. separuh nuraninya berkata bahwa hal itu sangatlah tidak pantas. cabul. jorok. tapi, sebagian kecil suara dari sudut pikirannya yang sempit, berkata bahwa apa yang dilakukan yoongi, terasa sangat menyenangkan.

“bukan dalam artian jelek.” gumamnya, “hanya saja… aku tidak pernah… menyentuh diriku disana.”

“oh?” suara laki-laki itu seperti terhibur, “perjaka, rupanya.”

“ibuku tidak pernah mengizinkan aku untuk menyentuh tempat itu.” katanya. bibirnya merajuk, “kata ibu, itu tidak pantas, dan… kotor.”

“ibumu terdengar seperti orang yang sangat tidak bijaksana.” laki-laki itu menyahut. jarinya melayang pada pinggir lubang jungkook yang baru saja dia lecehkan, “sekarang bilang padaku, jungkook. bagaimana menurutmu?”

“entahlah.” jujur, jungkook bahkan tidak tahu apakah ia harus tetap memercayai ibunya?

yoongi, si laki-laki asing yang baru saja ia temui, baru saja menunjukkannya sebuah nirwana di kaki bumi. membawanya terbang mencicip surgawi, hanya dengan terbaring di atas sekoci. bertahun-tahun ibunya mengatai bahwa apa yang ia percayai adalah sesuatu yang jorok, tabu, tidak pantas, dan sangat tercela. namun, kepercayaan itu pula mampu dipatahkan hanya dengan permainan lidah yoongi atas tubuhnya. lalu, bagaimana?

“jungkook?”

“aku—uh, aku tidak tahu.” ia menggeleng. nafasnya kian memburu, dan yoongi menyakup sebelah pipinya, sambil menghembuskan kata pelan, sayang. atur nafasmu.

“rasanya… aneh, kurasa.” dengungnya, dan yoongi menaikkan sebelah alis, memintanya untuk mengaku lebih jauh, “aneh, tapi enak. yah… enak, kurasa.”

“semisal begitu, bisa buka kakimu lebih lebar, sayang?” panggilan sentimentil itu, membuat jungkook mendengkur. dengan patuh ia membuka kakinya lebih lebar. mengungkit betisnya jauh lebih menempel pada dadanya yang berpeluh. pandangannya terpaku pada kelamin yoongi yang terlihat marah.

telapak laki-laki itu melukiskan guratan-guratan pembuluh darah yang timbul sepanjang kulit punggung tangannya. memanjang mencapai lengan bawah, dan mengeras tiap kali laki-laki itu memijat penisnya. suara geramannya yang menggaung, membuat jungkook bergidik. pikirannya sedikit kacau ketika yoongi menggerakkan pinggulnya lagi—mempertemukan ujung kelaminnya dengan lubang anal jungkook yang basah lengket, dan nafas jungkook tertahan disana.

carlo collodi tidak menulis bahwa ada secuil kemungkinan jungkook bisa bertemu dengan seorang pengembara asing yang duduk di atas sekoci sambil menyesap cerutunya. dia juga tidak menulis seberapa besar kemungkinan jungkook bisa bertahan hidup di dalam mulut si paus raksasa, tanpa mengambil resiko jatuh tersungkur ke dalam kantung perutnya dan terjebak disana selamanya. dari cerita yang pernah jungkook baca, tidak ada satu pun yang pernah menulis bahwa; ada seorang manusia yang terhirup masuk ke dalam mulut ikan, dan bercinta di dalamnya. jungkook tidak tahu mana yang lebih aneh; dia yang pada kenyataannya sedang menunggu waktu menjadi santapan makan siang raksasa laut, atau kelamin yoongi yang mencabulinya secara cepat dan keras, hingga suaranya menggaung di dalam rongga mulut yang sewaktu-waktu bisa memuntahkan keduanya?

penis yoongi itu besar. panas. keras. dan suaranya ketika mengoyak lubang anal jungkook yang tidak tersentuh itu, membuat jungkook tidak berhenti meraung-raung. jungkook tidak mengerti apa yang membuatnya terdengar begitu becek, tapi, wajah yoongi menyiratkan bahwa itu sama sekali bukan masalah. pria itu memejamkan matanya, menggerakkan pinggulnya seolah-olah itu sudah biasa, sementara jungkook merasa badannya seperti terbelah dua. 

tubuh jungkook menghentak-hentak di bawah badan yoongi yang semakin tidak karuan menggaulinya. suaranya tersengal seperti orang yang kehabisan napas setelah berlari menaiki puncak bukit elbio. berbicara soal itu, pikiran jungkook melayang-layang ke gambaran sang ibu yang biasanya menghabiskan waktu sepanjang siang untuk mengasinkan ikan. biasanya, jungkook bakal mendapatkan dua—tiga hardikkan dari sang ibu yang menyuruhnya membalik ikan yang dijemur dengan lebih cepat. biasanya, jungkook akan menghabiskan waktu sepanjang siang dengan menguliti sisik-sisik ikan dan menyisakan tubuhnya yang bersimbah peluh, berbau amis, dan kulit kemerahan akibat berjemur terlalu lama. 

 

jungkook sempat berpikir; bagaimana reaksi ibunya, kalau tahu bahwa jungkook—anak laki-laki satu-satunya yang sering dia rundung untuk bekerja—saat ini sedang dikangkangi laki-laki? tidak terbayang pula bagaimana wajah ibunya kalau dia melihat bagaimana jungkook nampak begitu keenakan karena menghangatkan penis laki-laki yang sibuk merisak kelopak kuncup yang selama ini mati-matian ia haramkan untuk pernah jungkook sentuh? bagaimana geram raungannya ketika melihat daging basah, merah, dan keras itu berulang kali keluar-masuk dari anal jungkook, mengisinya penuh dengan gumpal demi gumpal sperma, dan mengawininya seperti hewan kesetanan? sayang sekali, jungkook membatin, dia benar-benar ingin melihat bagaimana reaksi ibunya yang sepertinya akan nyaris menjadi gila ketika tahu anaknya justru sedang dicabuli dengan senang hati.

yoongi di satu sisi, tengah mengerjap-ngerjap keenakan, sebab anal jungkook yang perjaka itu—yang tidak pernah sekalipun disentuh, dijamah, bahkan dikoyak oleh benda-benda lain—kini menjepitnya begitu kuat. suara decak ketika selangkangannya bertemu dengan daging pantat jungkook, juga becek sperma yang turun basah di antara kulit yang semakin bergairah bertaut, membuatnya semakin bersemangat untuk mencabuli laki-laki yang kini sibuk menggeliat mencari nyaman. kulitnya yang putih dan bersih itu mengilap oleh lelehan peluh. begitu mulus tanpa sedikit pun ruam biru—sesuatu yang sangat disayangkan; seandainya dia tidak terlalu terburu-buru ingin menumpahkan hasrat biologis, mungkin yoongi juga akan membuainya dalam sesi ranjang yang jauh lebih nyaman ketimbang dirogol di atas sekoci.

 

“kamu menikmatinya, huh?” yoongi berdecak; tertawa kecil ketika melihat jungkook bersenggama lagi dengan wajah sembab oleh air mata, “bagaimana, enak di rudapaksa di dalam mulut ikan?”

jungkook terisak. mulutnya sibuk megap-megap memburu nafas selepas pecah eufori yang merenggut udara dari relung paru-parunya, di sela air matanya yang masih sibuk memburu turun, “enak, um—enak.”

“ya?”

“enak sekali, ini enak.” jungkook meracau; air liur mengalir dari sela bibirnya yang membuka lebar, “oh, tuan min. penismu besar sekali. penuh… mm, enak.”

suara geraman yoongi dan raungan jungkook menjadi senandung berisik yang menggaung berkali-kali. mereka melakoninya seperti dua insan yang sedang kesetanan—sibuk menjelajahi tubuh satu sama lain, sibuk menunggangi dan mengoyak berulang kali dalam beragam posisi. satu kali jungkook dibuat menungging, kali yang lain, jungkook diharuskan mengejar pelepasannya sendiri. di antara kesadaran mereka yang mulai mengabur, jungkook dipaksa menempel di antara sekat gigi rorqual, dan menggesekkan kelaminnya di tepi gerigi runcing yang kalau salah, bisa membuat kelaminnya putus dan tersangkut di antara deretan giginya. dalam waktu yang lain lagi, jungkook dipinta untuk meliukkan badannya di antara papil-papil lidah sang paus; menggeliat disana dan melumuri sekujur tubuhnya oleh ludah yang basah dan lengket, sebelum membiarkan yoongi menyetubuhinya lagi.

jungkook menghabiskan delapan belas tahun hidupnya, tanpa pernah merasakan kehangatan tubuh seorang laki-laki; dan sekarang, ketika dia baru mencicipi hangat gairah dan kenikmatan pasca senggama, rasanya ia tidak menginginkan hasrat itu direnggut kembali dan dipaksa untuk padam, ketika api yang berkobar di dalam perutnya baru saja mengeluarkan letupan. 

keduanya terlalu sibuk terlarut dalam balutan tubuh yang saling memeluk, sampai tidak menyadari bahwa sang rorqual sudah mencapai titik kelaparannya yang lain. langit-langit mulut gemuruh, dan lidah sang raksasa, kini mendecak dan mengecap. membuat serangkaian gempa kecil yang semakin membawa kelamin yoongi merisak jungkook semakin jauh. jungkook menggaungkan ah, ah, ah, keras sekali, sampai tidak menyadari bahwa si raksasa laut baru saja menggerungkan lagu peneman tidurnya yang terakhir.

tepat di puncak senggama; ketika tubuh keduanya terasa begitu kenikmatan menyambut tiap letupan, ketika keduanya terlalu sibuk mengejar kepuasan satu sama lain—yoongi yang mengisi jungkook dua kali penuh, dan jungkook yang memuntahkan spermanya heboh sampai sebagian mampu menodai langit-langit mulut si raksasa laut. gempa kecil itu, berubah menjadi suatu gemuruh yang mengguncang seluruh mulut. sang tirani yang kini terbangun, menggerakkan lidah—berusaha menyecap rasa kasmaran yang membuat lidah besarnya penasaran. mengobrak-abrik seluruh isi mulut, dan menghancurkan rangkaian kawin yang baru saja keduanya lakoni. penis yoongi tercabut, dan jungkook melenguh. laki-laki itu lebih dulu terlempar dalam kegelapan tidak berujung, dan jungkook menyusul kemudian menyelami kekelaman tanpa setitik pun cahaya kecil untuk menuntun.

 

malam itu, permukaan laut nampak begitu sunyi. rorqual melenguhkan salam terakhir dari ujung tepi tempat batas biru langit dan laut saling bercumbu. jauh dari kedalaman, jungkook dan yoongi kini berenang-renang menuju samudera atlantik; tanpa adanya harapan untuk pulang kembali. para warga avarua yang tengah menanti kepulangannya di dermaga—masing-masing dengan segenggam lentera—kembali melantunkan lagu nyanyian angin. 

 

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “of the deep end; (Bayibulan/Fanbook Buyer)”
Beranda
Cari
Bayar
Order