PROLOGUE

Rp 2,500

Author: fluffourite

CHERNOVA

PROLOGUE

 

Arkananta Jayendra.

Atau mereka menyebutnya dengan, “Tuan Muda.”

Di waktu di mana langit tampak seperti lengkungan yang disiram tinta, dia yang jadi awal dari kisah ini ternyata sedang menikmati secangkir kopi hitam yang tak lagi panas. Matanya yang bulat sedang memantulkan gemerlap bintang. Ia tampak kosong, terhisap oleh heningnya malam. Hanya diam, pun abai pada suara yang sudah memanggilnya empat kali.

Di bawah malam tanpa rembulan, wujudnya masih terlihat tampan. Punggung bersandar pada kayu penyangga gazebo, kaki jenjang yang diangkat satu, serta rambut kelam yang tersapu semilir angin. Wajahnya dingin namun memikat.

Akan tetapi, tak seharusnya dia seperti ini. Dia adalah lelaki yang penuh kehangatan. Dia adalah sosok yang disukai semua orang. Harapan satu-satunya keluarga. Si anak tunggal kaya raya yang menanggung segala bebannya sendirian.

“Tuan Muda.” Ini adalah panggilan yang kelima.

“Nanta! Nanta!”

Samar-samar, suara wanita memanggil namanya. Tak ada yang sadar. Tak ada yang mendengar, kecuali dirinya sendiri.

Secara ajaib, dia yang awalnya tak mau tahu, mendadak bersedia untuk menolehkan kepala. Detik itu juga, matanya bertemu dengan wajah lelaki yang akrab dengan dirinya sedari kecil.

Laki-laki itu dibalut dengan jas formal berwarna gelap. Khas seperti pengawal pada umumnya. Kulitnya putih, nyaris pucat, dan terlihat tipis. Bahkan birunya garis-garis nadi tampak jelas di pergelangan tangannya.

Nyaris tidak ada hal yang istimewa. Begitu kata orang-orang.

Yang menarik dari laki-laki itu hanyalah titik hitam manis di bawah sudut kiri bibir plum miliknya. Separuh atas dari wajahnya tertutup oleh poni hazel yang sedikit bergoyang diterpa angin malam.

“Arya,” balasnya menyebut nama, “Minggir.”

Yang dipanggil sebagai Arya tak bergeming. Dengan tinggi seratus sembilan puluh sentimeter, sosoknya mampu memblokade penglihatan tuannya. “Tuan Muda, Nyonya memanggil un—”

BOOM! Ledakan keras terdengar dari arah rumah utama.

“Bunda…”

“Tuan Muda, tolong tenang.”

Kejadian ini begitu singkat dan mengejutkan. Bunyi debuman demi debuman terus menyusul dengan nyala api di kejauhan sana. Rasa syok itu mampu membuat dua lelaki tujuh belas tahun mematung tak bergerak. Sebab mereka tahu, bahwa di sana, di kediaman utama keluarga, segalanya telah hancur di depan mata.

“Tuan Muda?”

“Ayah…”

“Jayen.” Akhirnya, Arya memanggil dengan nama yang hanya bisa disebut olehnya. Jayen, teman kecilnya, sahabatnya, tuannya— kini bergetar menahan emosi yang meluap-luap. Mata yang semula kosong, saat ini terisi oleh kumpulan emosi yang susah untuk dimengerti.

Nanta marah, sedih, putus asa, bingung. Dia harus apa? Dia harus apa? Yang barusan memanggilnya… Ibundanya…

“Jayen, kita ke—”

BRAK! Tubuh Arya didorong dengan keras. Tubuh bongsornya jatuh ke atas tanah dengan melewatkan Jayen yang berlari kesetanan ke arah sumber ledakan. Sial seribu sial, Arya jatuh dengan betis yang membentur batuan tajam.

Kakinya robek. Ia berdarah.

Rambut poni yang menutup matanya terangkat, membuat iris abu-abu jernihnya dapat jelas menangkap samar dari sosok Nanta yang berlari menjauh darinya. Pengawal sepertinya akan menjadi lumrah jika memiliki kekuatan sebesar gunung, dan hati sekeras besi. Namun, Arya bukan pengawal yang seperti itu. Tubuhnya tak sebanding dengan kemampuannya dalam melindungi sang tuan. Maka dari itu, abu-abu di matanya hanya bisa bergetar, menahan sakit, serta mati-matian menguatkan diri agar bangkit.

“Jayen…” lirih Arya seraya meraih apa pun yang ada di dekatnya. Pelan-pelan, kaki penuh merah itu dipaksa untuk dibuat menyangga tubuhnya.

Dadanya naik turun. Arya tersengal-sengal sebelum ia meneriakkan nama, “JAYEN!”

 

***

 

Sedangkan jauh di sana, Nanta tergopoh-tergopoh menuju ke titik pusat kekacauan. Hitam dari irisnya memantulkan merah api yang menyala-nyala. Wajahnya panas, jantungnya berdebar keras. Istana megah yang jadi huniannya telah roboh satu per satu. Asap membumbung tinggi di langit malam, seolah mengumumkan pada dunia bahwa dia tak lagi menjadi Tuan Muda.

Ini adalah neraka yang muncul ke permukaan bumi.

Abu berterbangan di sekitarnya. Perlahan matanya memerah. Dadanya kian sesak.

“Bunda…” gumam Nanta. Suaranya terdengar parau. Selangkah demi selangkah, Nanta mendekat ke arah rumah yang hampir rata dengan tanah.

Selama ini ia dibesarkan oleh ibunya. Tanpa sosok ayah. Tanpa figur orang tua yang lengkap. Dia yang dipanggil sebagai Bunda adalah orang yang berusaha keras memberikan setitik perhatian pada bocah lelakinya. Memikul tanggung jawab sebagai pemilik dari perusahaan farmasi swasta terbesar, jelas hampir mustahil baginya untuk sekadar menanyakan bagaimana kabar sang anak di setiap harinya.

Namun, ibunda Nanta berbeda. Wanita itu adalah ibu, ayah, teman, dan segalanya. Wanita itu adalah wanita ajaib yang memilih mengisi satu jam dalam tiga jam jatah tidurnya untuk membuatkan sarapan untuk putra semata wayangnya.

Nanta adalah seorang anak yang kelewat mujur. Ia selalu merasa seperti itu, sampai beberapa hari ini, dirinya terjebak pertengkaran dengan satu-satunya orang yang menjadi cahaya hidupnya. Jika kesialannya ternyata terpupuk menjadi bencana, maka Nanta tak pernah berharap bahwa kehidupannya selama ini dipenuhi dengan keberuntungan.

Permasalahan terbesarnya saat ini ialah: ia belum mengucap maaf. Ia belum bersimpuh dan memohon pada kemurahan hati dari sang ibu.

“Bunda…”

Dia menggumamkannya lagi.

Satu tetes air jatuh dari pelupuk matanya, kiri dan kanan, diikuti oleh luapan emosi yang tak dapat dikendalikan sama sekali.

Nanta ingin masuk ke dalam sana. Ia ingin menyelamatkan ibunya.

Akan tetapi, “Jayen!!!” Arya memanggilnya.

“Jayen! Jangan masuk!”

Sayang sekali, Nanta tak peduli. Yang ada di kepalanya hanyalah rasa takut akan kehilangan. Rasa takut akan menghadapi dunia tanpa sang ibu di sisinya.

“Bunda, Nanta belum siap.”

“Bunda, jangan tinggalin Nanta.”

“Bunda, jangan pergi…”

Suara hatinya melontarkan kalimat demi kalimat, menggerus pertahanan Nanta yang serapuh gelembung udara. Ia bisa pecah dengan satu sentuhan kecil. Tapi ia terus berlari, ia sangat ingin menemui.

Di belakangnya, Arya mulai kehabisan napas. Darah terus mengucur dari lebarnya luka pada betisnya. Di kondisinya yang tak menguntungkan, paru-parunya terus dipaksa untuk menghirup karbon monoksida. Darahnya tak lagi banyak, dan ia malah meracuninya.

“Jayen… Jangan—”

Terlambat.

Tuannya telah hilang di balik pilar rumah yang jatuh ke bawah. Tanah bergetar dengan asap yang terhempas ke wajah Arya. Di momen ketidakberdayaannya, ia hanya bisa mengingat titah terakhir dari sang nyonya, ibunda dari Nanta, Nyonya Amanda; “Tolong pergi ke Nanta. Bilang bahwa Bunda minta maaf. Arya, jaga dia. Tolong. Tolong jaga Nanta. Keluarkan dia dari kotak yang mengurungnya. Tolong bawa dia pergi dari sini.”

Lembutnya suara wanita itu terus terngiang dalam kepalanya. Dirinya seolah ditampar dan terus ditampar, dipaksa dan terus dipaksa, agar sadar bahwa— dia adalah pelindung dari tuannya. Arya tak boleh meringis pedih di atas tanah yang bercampur arang. Ia harus bangkit. Ia harus berlari. Ia harus melindungi apa yang harus dilindunginya.

“Anak lemah penyakitan gitu mau dijadiin apa sama mereka? Gila.”

“Lah? Hahaha. Gak kebalik?”

“Kasihan banget, ya? Nanta punya ‘bodyguard’ yang bahkan lari aja gak kuat.”

Bunyi itu lagi. Kalimat itu lagi. Arya merasa bahwa tubuhnya yang ringkih terus ditarik ke dalam jurang penderitaan. Sakitnya seolah tak berujung. Akan tetapi, melihat bahwa kobaran api di depannya tak menemui tanda akan segera padam, dirinya pun tak punya pilihan lain selain merangkak dan memaksakan diri agar bisa melewatinya.

Langkahnya tertatih-tatih. Di sesaknya asap yang mrngerubunginya, Arya akhirnya mendekat ke arah tuannya. Selangkah demi selangkah. Jarak terkikis, walau hanya sedikit demi sedikit.

“Bunda…”

Lirih, namun Arya bisa menangkap ratapan pilu dari seorang anak.

Krkkk—srak.

Kayu-kayu di atasnya mulai merekah, menampakkan bahwa api yang menyalutnya semakin marah. Tidak lama lagi, atap yang harusnya melindungi, akan roboh dan menjadi bencana tersendiri.

Tidak jauh di depannya, Nanta duduk bersimpuh di samping seorang wanita. Sang puan masih memiliki garis-garis indah yang membentuk wajah. Hanya saja, matanya terpejam dengan merah yang menghias rupanya. Tetes demi tetes hangat jatuh membasahi paras jelita yang tak lagi sadar. Sang anak sedang menangisi ibunya. Tak ada napas di sana. Tak ada jantung yang berdenyut.  Tak ada lagi secercah harapan untuk sebuah kehidupan.

Raga wanita itu didekap. Nanta merengkuhnya dengan sisa tenaga yang ada di tubuhnya. Pikirannya hanya penuh dengan fakta bahwa ini mungkin adalah saat terakhir yang ia punya bersama dengan sang ibunda.

“Bunda, maaf,” bisiknya. Ia terisak begitu bibirnya menyentuh kening ibunya.

Arya bisa merasakan kesedihan mendalam yang dipancarkan oleh tuannya. Benar bahwa iris mata Nanta punya warna hitam legam selayaknya obsidian. Tapi untuk saat ini, rasanya netra itu kian menggelap dan terasa kelam. Nanta terlihat seperti orang yang kehilangan arah. Kepedihan itu jelas bisa dirasakan Arya. Bagaimanapun, ia turut bersalah pada apa yang sedang terjadi saat ini.

“Tuan!” teriak Arya.

Di jarak ini, akhirnya Nanta mengalihkan perhatiannya dari sang ibu. Untuk kedua kalinya, ia bertemu tatap pada Arya. Namun, berbeda dengan yang sebelumnya, Arya yang sekarang bukan lagi Arya yang menatap sendu dari balik rambut yang nyaris menyentuh hidung. Arya yang berdiri di depannya adalah Arya yang bersimbah darah. Tubuh kurusnya tampak gemetar dengan dada yang naik turun tak karuan.

Dia sekarat.

Nanta terkejut. Pupilnya mengecil, menyusut, dan bergetar ketakutan. Dia sangat ingin segera bergerak dan memapah Arya keluar dari sini. Tapi, mengapa? Mengapa kakinya justru beku? Kenapa tubuhnya kaku?

Krrkk.

Bunyi rekahan kayu kian terdengar. Merah yang menyala-nyala sedang menari-nari di sekitar mereka. Beberapa kali hinggap dan menciptakan sengat kecil saat bertemu dengan kulit.

Atap akan segera ambruk.

Empat pasang mata menatap ke titik yang sama. Kepala mendongak ke atas, menyaksikan bagaimana kayu-kayu di atas akan segera jatuh. Waktu seolah melambat. Mata dibuat membelalak secara perlahan. Nanta berpikir di dalam hati. “Apakan detik-detik terakhir sebelum mati selalu terasa selambat ini?”

Krrkk. Krrk—BRAK.

Kayu jatuh membentur tanah. Nanta menutup mata rapat-rapat. Tidak ada pengharapan lebih untuk selamat. Ia seakan-akan hanya memiliki satu nasib, yaitu mati.

Khhk!”

Rintihan hinggap di pendengaran Nanta. Aneh mulai terasa saat tidak ada sakit yang menerpa badannya. Nanta justru merasa hangat.

Tes. Begitu menoleh ke atas, pipinya merasakan basah.

Sial kepalang sial. Penglihatan Nanta seburam harapan hidupnya. Ia tak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi di detik itu. Sebab di detik berikutnya, Nanta kehilangan kesadarannya.

 

***

 

Kedip. Kedip.

Napasnya berat. Dadanya sesak.

Nanta berusaha membuka mata. Namun, ia tetap tidak bisa melakukannya.

Kepalanya tertoleh ke kanan. Mengabaikan pada nyeri yang menyerang sekujur badannya, Nanta berusaha memahami kondisi di sekitarnya. Setidaknya, ada beberapa hal yang sudah bisa ia mengerti; dirinya berada di rumah sakit, ada alat bantu pernapasan, juga banyak alat lain yang menempel di sekujur badannya. Lalu… di sampingnya, ada nada monoton yang membuat seluruh tenaga medis dilanda panik.

 

Nanta memang tidak sepenuhnya sadar, tapi dia masih tahu betapa kerasnya dokter dan perawat dalam bertindak atas pasien di sebelahnya. Tanda-tanda vital terus dicek berulang kali, voltase alat pacu jantung terus dinaikkan seiring dengan harapan yang terus ditinggikan. Akan tetapi, apa yang jadi akhir adalah sebuah titik yang absolut.

Mereka menyerah.

Nanta tidak mendengar apa yang diucapkan oleh dokter itu. Hanya saja, saat menuju kalimat akhir, Nanta mendadak terkejut pada apa yang diutarakan.

“… Arya dinyatakan meninggal dunia.”

 

***

 

“BUNDA!”

Teriakan menggema di salah satu kamar di rumah sakit. Namun, sepi.

Nyatanya, tidak ada yang benar-benar berteriak. Sebuah plang nama tampak berayun pelan, membunyikan suara derit dari rantai berkarat yang menggantung di ujung ranjang yang reyot. Pagi itu, Nanta tersadar dari tidur panjangnya.

Kali pertama membuka mata, kepalanya terasa sakit luar biasa. Sekujur badan terasa kaku. Bahkan netranya masih kesusahan dalam menerima cahaya yang menyelinap dari jendela. Telinganya samar-samar mendengar berbagai suara. Ada irama khas kardiogram, kicauan burung pipit, dan percakapan tak jelas dari beberapa orang di balik pintu.

Cklek. Pintu dibuka.

“Bakso bulat, seperti bola pingpong. Kalau lewat, membikin— DOKTER! Pasiennya gak jadi metong!!”

Pekik gemulai dari seorang perawat laki-laki sedikit membuat tersentak. Nanta sungguh tak mengerti pada apa yang sedang terjadi.

Berikut adalah rangkuman dari apa yang ia alami dalam waktu singkat. Pertama, ada seorang dokter yang terlihat seakan-akan dia dibalut dengan rasa lega yang luar biasa. Kedua, seorang perawat yang sempat memekik tadi tampak tak ingin beranjak dari ruangan Nanta. Ketiga, Nanta diberi tahu bahwa; ia sedang berada di ujung dari negaranya.

“Huh? Maksudnya?” tanya Nanta.

Beberapa jam sejak membuka mata, akhirnya Nanta bisa bicara dengan baik dan benar.

Perawat yang duduk di samping ranjang sedang mengupaskan sebuah apel untuk sang pasien. “Iyaaa. Kita lagi ada di Pulau Timoa, tiny boy.”

“Timoa?”

Dengan bibir yang merengut serta bola mata yang dirotasikan ke atas, perawat dengan pin nama ‘James’ terlihat kesal dengan pertanyaan dari pasiennya. “Gak tahu Timoa? It’s at the southern tip of our country, sweetheart.”

“Oke. sebentar… James?”

“NO!!” James terlihat marah, “Call me Jammy.”

Nanta mengangguk ragu. “Hm. Jammy,” lirihnya.

“Jammy, kenapa saya ada di sini? Siapa yang bawa saya ke sini? Kenapa seorang perawat bisa punya waktu sesenggang ini buat, ehm, ngupas apel? Kenapa dokter tadi kelihatan seneng sewaktu saya sadar? Saya… bener Nanta, kan?”

Akhirnya, Jammy diberikan kesempatan untuk memberikan dongeng untuk menjawab serentetan pertanyaan yang diajukan oleh Nanta. Sedikit, perawat itu tertawa saat melihat bahwa remaja di depannya ini tampak ragu dengan dirinya sendiri.

“Ini cuma klinik kecil di kota yang penduduknya lebih sedikit dari satu desa di pulau utama. Sepi, tiny boy. So all my time is for you.”

Jika dilihat-lihat, Jammy punya penampilan yang cukup menarik. Ia mendapatkan ras kaukasian yang membuat kulitnya seputih salju dengan mata yang sebiru lautan. Jujur, Nanta bisa berkata bahwa Jammy tak hanya tampan, tapi juga cantik sekali.

“Jammy won’t answer another question. Tanya Mami aja, Nanta. Tugasku selesai di sini. She will pick you up at… Hm,” Jammy berjalan ke arah pintu, membukanya dan berteriak, “DOKKK!! Nanta pulang kapaannn?”

Samar, Nanta mendengar bahwa ia akan diperbolehkan untuk pulang sekitar empat hari lagi. Permasalahannya, ke mana dirinya akan pulang?

Sebab, rumahnya sudah hancur.

Jammy menyadari perubahan ekspresi Nanta dari kejauhan. Dengan penuh simpati, dirinya mendekat untuk menepuk sebuah bahu, memberinya segenap semangat. “Cheer up, little boy. Oke?”

Di mana saat Nanta mengangguk, di situ air matanya jatuh. Hatinya tergerak oleh emosi yang tak dapat diterjemahkan. Kebingungan, kesedihan, marah, kecewa, dan sebagainya. Semuanya menumpuk dan tak dapat diutarakan oleh kata. Hingga pada akhirnya, hanya ada air mata yang berbicara.

“Aku pergi dulu, Nanta. Bye bye~

 

***

 

Dipenuhi linglung, Nanta di empat hari berikutnya, sedang berdiri di depan seorang wanita cantik yang juga terlihat nyentrik.

“Panggil saya Mami. Sekarang, saya adalah wali kamu, Nanta.”

Dandanannya begitu mewah. Kerutan di dahinya tak bisa membohongi umurnya, namun auranya masih terasa muda. Wanginya semerbak. Posturnya terlihat angkuh dan menyeramkan. Nanta jadi penasaran, siapa sosok Mami ini?

Sayangnya, Nanta tidak banyak bertanya. Dirinya punya satu sifat menyebalkan yang susah dihilangkan, yaitu bibirnya akan terkunci jika bertemu dengan orang kurang familier dengannya. Nanta itu sangat, sangat, sangat, sangaaat— tidak bisa berbasa-basi. Tidak bisa bergaul lebih dulu. Tidak bisa memulai percakapan pada orang asing.

Ia patuh dan menurut. Sama sekali tak mengucap sepatah kata saat tubuhnya dibawa oleh sebuah mobil untuk melintasi jalanan desa.

Hingga tahu-tahu, dia yang disebut sebagai Mami, menghentikan laju kendaraannya dan membuka pintu untuk Nanta.

Bagaikan tokoh utama yang bertransmigrasi ke dunia fiksi, Nanta merasa bahwa ia sepenuhnya dibawa ke dunia lain. Ke dunia yang sangat jauh dari bayangannya.

“Mami,” panggilnya.

“Hm? Apa?”

Nanta mendongak, memusatkan matanya untuk menitik pada satu papan lampu neon yang menempel di atas sebuah bagunan sederhana. Love-Love-Me. Begitu tulisannya.

Glek. Nanta meneguk ludah. Sial, perasaannya tidak enak.

“Kita tinggal di sini? Bukannya ini—”

Belum selesai, ucapan Nanta dipotong oleh wali-nya, “Prostitusi. Iya, di sini rumah kita.”

Dalam hati, lelaki itu hanya bisa berdoa kepada Tuhan, “Jika ternyata aku memang mati dan sedang dikirim ke semesta yang lain, sepertinya lebih baik aku langsung ke neraka”

 

***

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “PROLOGUE”
Beranda
Cari
Bayar
Order