sisihan mimpi di sore hari | yoonkook
bunyi berdetuk dari pensil yang saling hempas membuat nyali bunyi jantung pula alir lebih laju. meja yang menerima hantaman pula hanya diam—menjadi saksi bisu rasa bosan yang terajut di kepala.
namun lagi layar tak banyak berubah, hanya satu pertanda yang menaskah sedang kesulitan—perlu bawakan sorotan imaji baru di atas pelipis.
“ah! sialan! jika begini jadinya, aku akan lebih rajin belajar di awal masuk kampus!” itu katanya, yang berambut legam dengan kaca mata bertengger asut di atas hidungnya.
mata lancip itu tak terbuka lebar seperti seharusnya, ada gegaris hitam melengkung di bawah kelopak. bibir yang seharusnya tampak manis saat melengkung, kini tandus karena kurangnya likuid yang seharusnya isi dua dari tiga bagian tubuhnya. pula kulit lembut yang seharusnya bergelar putih bersih, kini digelar putih pucat.
bukannya tak ayal ‘tuk berhenti saat lelah, namun tujuan ada di dekat mata—seolah tarik mundur sedikit saja, maka siap pula peti mati untuknya.
ia menyenderkan kepala pada dinding yang asuk di belakang tubuhnya, mengharuk tubuh untuk bariskan kejernihan pikiran. garis tangan yang menghurak indah naik ke pangkal hidung, serak memijit ringan guna hilangkan beban. sangat pelan hingga tak berasa lagi napas sudah beratur.
ia teringat kala nampak satu lagi daun lepak di dekat jendela, warna jingga kemerahan yang jadi ciri khusus musim gugur, yang mulai eratkan hawa dingin di badan. pula teringat satu sorot yang hinggap sekejap di kepala, betapa hangat sorot itu menatapnya. entah hilang ke mana—mungkin bila ada, lebih mudah pula kerjanya.
“min yoongi”, tulisan yang pajang di atas kertas buat pelayan beraporan hijau datangkan satu gelas kopi dingin. es amerikano untuk temani pejuangan melangkah menuju kebebasan, yang harusnya mudah lakukan bila ia senang dengan tujuan.
“slowly walking through primrose,
only routes that we both know.
autumn leaves kissing the trees,
ohh i’m in paradise.
vision clouded by the haze,
i’ve been on my knees for days.
wishing you were here with me,
right by my side.”
baru saja kecapi rasa yang usuk di lidah, yang berambut ikal membuka matanya lebar-lebar pada perundungan musik ringan yang terus berputar.
ah… rindu…
“hai, kamu tampak kesulitan?” ia datang.
sangat cerah, sangat indah. dengan senyuman megah bak malaikat yang selalu ia bawa di singsingnya, mengapik cantik untuk ditaklit pada sang pasangan. tanpa alasan, namun ia jatuh cinta berpuluh kali pada yang di hadapan.
“jungkook, selamat sore.” itu sapanya, kaku.
tentu buatkan yang lebih muda setahun dari dirinya melepas gelak—yang lagi selalu ia angkat dalam jiwanya.
terpanggil jungkook memilih untuk tersenyum dari sudutan duduk bersisihan. melepak tas selempang di sembarang atas meja, manjut buat ambil alih laptop yang ada di depannya.
“biar aku yang membuat tugas makalah kakak, dan kakak menyelesaikan tugas matematikaku saja”
itu kata dia saat ada jemari menari di atas penatri, berjentik antarfraksa untuk bawakan sang pemuda koloni diksi yang patri lebih bari.
sangat cantik, hanya kata itu yang laruh buat gambaran seorang jeon jungkook.
kulit mulus dengan mata berbinar cerah, lentik bulu mata yang jatuh perlahan, hidung yang turun indah mengacung, serta merta fitur rahang yang tegas kalap pada lansekap sempurna.
jungkook-nya sempurna.
“susah, kak?”
“hm?” yoongi menggelengkan kepala pelan untuk menghentikan tatapan yang sudah asut terlalu lama, pula yang ditatap arah balik pandangan. buatkan yang lebih tua kelimpungan cari jawaban.
“sma kelas dua belas, sudah awal semester dua—sepertinya susah.” jelasnya.
yang ikal legam tersenyum tipis, kali ini membiarkan matanya potretkan lansekap indah itu lebih lama menjawab “agak. karena yang susah itu sebenarnya adalah tekanan dari orang lain,”
“aku harus lulus dengan nilai bagus untuk masuk univ bagus pula.” lanjutnya.
yang jenama jungkook mengangguk, buatkan rambut lurus berombre laut itu bergoyang halus mengikut geraknya. mata cantik yang dipejam bersamaan bibir yang terpaut. dia mengetuk di pipinya, pikir sederhana.
“kenapa harus univ bagus? kakak memiliki bakat bagus untuk mendapat undangan! aku tidak mengerti, padahal kakak sangat pintar pada bidang matematika dan musik! lagipula kak yoongi tidak suka berkerja di kantor!” dia panjang lebar.
wajah kalut yang pajang begitu menggemarkan, yang beraut cendrawama itu pula suksesi penambatan tawa sore hari.
ah, senangnya jika ada yang mengerti isi pikiran tanpa perlu disebutkan.
“my hidden nirvana,
now you’ve become.
something that i’ll never forget
(keeping my head above the water)
something that i’ll never forget
(ohh, keeping me warm)”
pula dengan kafe dekat sekolah, dengan musik rendah dan lagu berputar indah, ada rasa terus lagi muncul menghadangkan diri.
seorang min yoongi jatuh hati, pada seorang jungkook yang miliki senyum bahari. paling akan tangsik selalu pada hati.
16.39
daun yang memerah tampak menyapa setapak lebih sering, satu per satu gugur simbahi jalanan sempit—hanya tujukan tempat yang sisihan dengan kanal tersuruk yang tutup pada rimbunan pohon berdaun api.
jungkook masih tersenyum cerah, yoongi tahu betul keinginannya. karena ketika pemuda yang rambut bersisir lurus hampir tutupi mata itu bawa badannya lewati jalan sempit yang bahkan tak ada orang pernah lewati—berjenama min tahu betul alasannya.
adalah jalan satu yang mereka dua bagi berahasia. tak cukup sana-sini mereka di pelopor pada satu balutan kata hati.
lantas sore itu dia bawa turun melewati lapangan primrose menuju birai sederhana kanal, membawa pemuda berwajah cerah itu turun untuk amati sekali lagi taman rahasia mereka. gondola kecil yang mereka jumpai dua tahun lalu pula lepas dari kaitan kala yoongi menyiapkan arungan.
“sini, ggukie. pegangi tanganku.” sang pemuda berambut ikal yang turunkan diri lebih dulu atas gondola, ulurkan tangannya pada sang kekasih sebelum menggenggamnya perhatian—usaha selembut mungkin. layaknya ukiran kaca.
yoongi menggenggam tangan itu lembut, membantunya duduk antarpapan. saat diri sudah disetel pada keseharusan, pula yoongi mengasuk dayung. dengan perlahan arak sunyi dan sisihkan air agar gondola sederhana itu laju pada tengah kanal.
tenang. itu yang paling jelas dipandang yoongi ketika air berhenti berdelisik, dan angin berhenti berdengung di dekat telinga.
oranye dari atas kepala, yang jumantara asuk masih sedikitnya berdebu—bersisa dari bercak surya yang menyuruk pada sebelah bumi barat. kanal kecil yang menampung bias cahaya sore, menyentuh bagian kecil agaknya syahdu dipandang mata.
yang paling disuka.
jungkook-nya tersenyum kelut saat sikit seruput minuman perisa kukis dan krim itu, mengangkat gelas pelastik agak tinggi sebelum lagi menyarut gelas itu di hadap yoongi.
“buatmu saja, kak.” katanya, ringan di wicara.
jungkook merintih tangan untuk menyelip di sebalik tas selempang yang ia jinjing sedari tadi, keluarkan buku sketsa dan tangkai grafit yang sembunyi sedari tadi. jemari terangkat, ajakkan pensil yang disebut untuk ikut menari di atas kertas—bariskan garis dan halusan berkas garis yang tangsik tinggal.
matanya turun begitu lama, jejerkan silia yang seolah kedip lambat di atas mata. masih satu pandangan untuk fokus pada gambaran.
cantik, sangat cantik.
bibirnya yang selalu tersenyum indah, tertutup rapat-rapat kadang memaut lucu. memerah sedikit karena gigi yang hadir menghimpit tiap beberapa kejap, buah hasil dari analogi bingung dan gelisah.
kalimat yang akan yoongi lontorkan akan terdengar layaknya omong kosong murahan, namun itu yang sebenarnya. jelas, hanya sangat jelas satu itu saja yang bisa diungkap.
bahwa jungkook-nya sangat indah, sangat lemah—dan membuatnya lemah.
garik demi garis saling membentuk, satu per satu menyesuk obyek indah di matanya. araknya jungkook hanya aja tatap min yoongi, lalu turun lagi. dia mengembang senyum indah yang tak ada pudarnya, terus berepesisi tak buat yoongi bosankan diri. mengamat liuk wajah cantik kekasihnya adalah segalanya—tak ada lelahnya.
yang bawakan nama min yoongi keluarkan ponselnya, memotret sang pasangan dengan balik layar yang tak kalah indah. membuat yoongi tarikkan lengkungan indah kala hasilnya hadap dengan kata sempurna.
salah, keberadaan jungkook membuat hasil potret itu sempurna.
“kamu punya lagu kita, kak?” tanya jungkook tanpa pandang atas, terfokus pada gegaris yang ia padu padan.
tak pilih jawab, dia hanya lanjut gerai tangan pada layar pilah sana sini untuk suguhkan satu lagu yang selalu mereka putar saat sama. nyalar beriring di rungu, lagu terus berputar bahkan ketika langit jingga mulai tenggelam balik cahaya kehitaman.
“slowly walking through primrose,
picture painted now it’s sold.
to a vessel filled with love,
and now i’m all alone.
many colours fade away,
sugar sweets have lost their taste.
clutching onto secrets shared,
kay’s never letting go.”
tenggelam dalam keberadaan masing-masing, paripurna pada keindahan diseling tatap.
jungkook tersenyum kembang beberapa saat kemudian, membalik sketsanya, menampak goresan-goresan yang tampak begitu cakap. terstruktur begitu rapih dengan sisa-sisa grafit yang ukirkan wajahnya dan pemandangan balik kanal.
“bagus,” komentar yoongi.
“terima kasih.” jungkook merobek sketsa itu sesaat kemudian. masih diam dalam tatap ketika ia memberikan helai itu pada yoongi. “kak yoongi yang simpan, ya?”
jungkook tersenyum, masih sama indah—namun ada nyilu di sebalik tarikan dua garis itu. ada yang tersangkut pada pangkal lidah, karena yoongi jelas sadari itu. karena itu pula ia bawakan satu asuk pertanyaan, yang biasa ia akan tanyakan pada asak suasana sama.
“kamu ingin mengatakan apa, ggukie?” mata yoongi berbinar, sentuhan ringan dari sisa-sisa amukan matahari. yoongi mengangkat minuman untuk menyeruput sedikit frappe yang diberikan jungkook, menunggu jawaban.
namun yang di hadapannya masih menahan senyum pahit ketika ada air mata turun dari okulusnya. membentuk satu sayatan pada dada sang pasangan, membeberkan rasa pahit pada lidahnya, membuka mata pemuda min.
yoongi dengan laju memajukan diri untuk merengkuh sang kekasih, mendaratkan kepala jungkook pada atas bahunya. mengelus helai rambut itu lembut, barengi kecupan lembut di atas pucuk kepala.
“maafkan aku, kak. namun aku merasa kita harus berpisah.” dia menahan pelan suara yang sesengukan diselubungi fabrik busana yoongi, sangat ringkih—pula terdengar begitu jelas dan menyakitkan.
yoongi menarik diri lebih erat untuk merengkuh sang kekasih, kali ini memohon dengan sungguh, “maafkan aku, ggukie, jika aku berbuat kesalahan padamu. aku mohon, jangan. aku mencintaimu, kamu tahu itu ‘kan?”
namun ada rematan yang yoongi rasakan pada balik fabriknya, eratan yang begitu lemah. sebelum ada sebuah suara menyahut, “ini bukan kesalahan kamu, ini semua karena aku.”
yoongi menggeleng, ada yang melemah dalam dirinya—memilih merengut rangkulannya pada tubuh kecil sang kekasih. “aku mohon, aku tidak bisa melewati ini tanpamu.”
sang kekasih mengelus helai rambut yoongi, “maaf,” bisiknya tepat pada samping telinga.
“aku… akan pindah ke amerika, kak.” dia melanjutkan kekata, menombak yoongi lebih menyakitkan. perpisahan yang bodoh, bukan begitu?
“ayah harus pergi, aku tak bisa tinggal di sini. beliau sudah menyiapkan kepindahanku. jika dibatalkan, biayanya akan terlalu mahal.”
yoongi diam, namun jelas ada curah menyorak keluar dari bola mata. hanya pelukan yang ada, pikiran entah kemana. min yoongi berhenti menghenyak seberapa waktu, hanya untuk mengambil lebih banyak rengkuhan.
hahaha, life is hilarious.
baru beberapa detik lalu yoongi membayangkan dirinya yang melewati hidup bersama sang kekasih—dan kini, pemuda cantik itu akan meninggalkan ia ke negeri yang teramat jauh dari mata.
“kak?” pemuda itu memanggil, tak mendengar yoongi barang ucap sepatah kata pun.
ketika suara lembut itu sentuh ujung telinganya, pula ia melepas pautan. mengangkat mata tajam pada yang tersayang, “apa kamu mencintaiku, ggukie?”
ada senyum bertarik pada wajah, pula pemuda jeon mendekatkan diri—menangkup wajah orang yang bukan lagi pasangannya itu. ada pautan yang tersanggah pada bibir keduanya, sebelum ada kekata selip di antara bayu, “selamanya.”
17.00
“my hidden nirvana,
now you’ve become.
something that i’ll never forget
(keeping my head in the water)
something that i’ll never forget
(oh, keeping me warm)”
matanya terbuka, dengan cepat pula tubuhnya berjengit. membangkitkan diri dari meja yang sedari tadi ia sanggahi. matanya yang sembab bantu ia menyadari mimpinya tadi tengah memainkan ulang memori dari empat tahun lalu.
ia mengasuk tangan pada wajah untuk menyadarkan diri dari sembunyian ingatan yang lagi menyakitkan. sebuah perpisahan.
yoongi tak bisa harap lebih, tak dapat dipungkiri—dari sebalik kesedihan itu, rasa sayang yang masih ada pakukan rindu di dada.
jadi, dibanding diam di sana mendengar lagu mereka dan menghasuk rasa sakit, lebih baik ia bangkitkan diri dari duduknya. tangannya risak mengumpul kepemilikan, menghujam seluruhnya ke dalam tas.
ia berdiri dari duduknya dan menyender tas itu pada pundak, bersiap balik karena pula sore hampir hilang, kafe ini mulai sepi pengunjung.
yoongi baru saja berjalan ketika suara dentingan bel pertanda pengunjung baru mengarahkan matanya pada suara.
mata menjarak dari kelopak, menyesak otak untuk berfungsi sebagaimana mestinya. sadar betul pada yang di hadapannya, pula wajah terkejut yang sama gantung di sana. perlukah yoongi membangun diri dari mimpi kedua?
“all we got are memories,
shadows of things that we can’t see.
all we got are memories,
shadows of things that we can’t see.”
karena yang dihadapannya begitu tidak nyata.
“it’s alright, it’s alright.”
itu dia. []
You must be logged in to post a review.
Related Paid Contents
-
🔒 Braven – 25. Bonding
Author: Miinalee -
🔒 Manager Jeon pt.2 (NC)
Author: _baepsae95 -
🔒 Sugar, Baby – Special Ch
Author: Narkive94 -
🔒 Muscular Hands
Author: _baepsae95
Reviews
There are no reviews yet.