Braven – Special Chapter

Author: A Little Bits of Everything

Om Athhuww abis ulang tahun niii, ucapin dong

Om Athhuww abis ulang tahun niii, ucapin dong

Arthur akhirnya mengabulkan mimpi kecil Jungkook. Separuh halaman di bagian kiri rumah mereka disulap jadi toko kecil yang menjual barang sehari-hari. Keinginan itu sebenarnya sudah sering disebut-sebutnya, bahkan sejak mereka masih tinggal di rumah lama Arthur di Detroit, di masa-masa itu hidup terasa sekelam malam selama 24 jam. Saat David bersikeras mengejarnya hingga ke ujung dunia, saat kelompok lain bermaksud menggulingkan Arthur, saat Julien berkhianat dan membawa DEA ke depan pintu cartel mereka…

Sampai akhirnya Arthur berhasil membawanya kabur ke tempat ini. Tidak ada yang lebih penting dari ini. Jungkook melirik, dari balik meja kasirnya, melongok menatap ke halaman rumah. Saat dilihatnya Nymeria berjalan mondar-mandir memungut sesuatu di tanah dan sibuk bermain sendiri sambil menggendong anak ayamnya, Jungkook tersenyum tertahan. Seketika merasa puas dan aman.

Mereka tidak punya banyak tetangga disini. Itu hal bagus bagi Arthur, tapi tidak bagi Jungkook.

Siapa yang akan membeli barang tokonya bila tetangga terdekatnya hidup berjarak nyaris 500 meter dari rumahnya sekarang?

“Sudah dua hari, kau yakin tidak mau aku membantu membenahi barang-barang itu?” Jungkook menunjuk dengan dagunya.

Di tengah ruangan berdinding kayu, ada tumpukan barang-barang yang belum dikeluarkan dari dalam dus, berderet-deret di atas lantai menghalangi jalan. Sebagian besar rak-rak kayu mereka masih kosong, tapi Arthur tidak ingin Jungkook membungkukkan badannya demi menyusun benda itu satu demi satu, dan perintah itu langsung dituruti Jungkook dengan senyum lebar dan jempol teracung. Dua bulan sejak sadar ada makhluk lain menumpang di tubuhnya, Jungkook mulai kesulitan melakukan hal-hal biasa, salah satunya sekedar untuk membungkuk memungut benda di atas lantai. Untuk melakukan hal-hal sepele macam itu biasanya ada Nymeria. Saat teringat lagi akan putrinya, Jungkook melirik lagi ke luar rumah.

Nymeria melangkah berderap-derap menuju pintu. Jo—anak ayam kesayangannya, terapit dekat di ketiak. Lalu di hadapan Jungkook bocah 4 tahun itu mendongak terheran-heran.

“Belum ada pembeli datang, Dada. Aku sudah melihat, kesana, kesana, dan kesana,” katanya sambil berputar menunjuk segala arah. “Dada yakin ingin pilih jalan karir yang begini?” ujarnya dengan tampang kelewat khawatir.

Jungkook nyaris meledak tertawa, cara bicara Nymeria tidak selayak anak seusianya, pun bila ia begitu lancar mengatakannya. Lidah kecilnya berkembang lebih cepat dari anak-anak biasa, tapi betapa polos sekaligus menghakimi tatapan di wajah mungil itu, membuat Jungkook dengan malu mengakui… Nymeria tidak sepenuhnya mewarisi watak Arthur. Kadang-kadang bagai duplikat, ada kilat jahil dirinya terpancar di wajah mungil itu.

Yaaa! You doubt me, baby? Dada bisa berdiri di belakang konter sambil menghakimi orang lewat, baby. Pekerjaan mana yang lebih bagus dari itu? Ya, kan, Popa?”

“Ya, bird. Good choice,” kata Arthur datar, dikecupnya kening pemuda itu sambil lalu menuju belakang toko. Bagian belakang toko kecil mereka belum sepenuhnya tertutup. Pintunya yang terbuat dari kayu dipasang serampangan. Ada suara derit engsel memekikkan telinga tiap kali pintu itu ditutup dan terbuka.

Lemme help, Popa!” katanya, sambil berjongkok mantap di sisi tubuh besar ayahnya.

Berdua mereka duduk di belakang, memunggungi Jungkook sambil berjongkok. Kontras perbedaan ukuran tubuh keduanya membuat Jungkook mengusap-usap bibir, tidak sanggup lagi menahan senyumnya yang mengembang begitu lebar. Seperti melihat beruang duduk bersisian dengan seekor anak rusa. Entah apa yang mereka lakukan, berisik sekali Nymeria mengomentari sesuatu sementara suara berat Arthur membalas pelan berusaha menjelaskan segalanya, sekomprehensif mungkin.

“Engselnya terlalu kecil, dan kayunya terlalu berat, jadi kita ganti dengan yang lebih besar. Pertama-tama kita lepas dulu engsel yang lama, bongkar mulai dari sekrupnya, lalu ganti dengan yang baru.”

Nymeria mengangguk dan mengangguk, menyentuh engsel dan baut yang disebut sang ayah dengan sok mengerti.

“Apa bisa selesai cepat?” tanyanya setengah memerintah, bagai mandor. Arthur melirik anak itu dulu, alisnya bergerak-gerak geli tapi pria itu masih tenang mempertahankan ekspresi datarnya.

“Mungkin tiga puluh menit sampai terpasang di pintu lagi. Ada permintaan khusus?”

No, begini sudah bagus, good job Popa. Good job!” kata anak itu sambil menepuk-nepuk pintu kayu yang melintang di hadapannya. “Okay, kalau sudah selesai pintunya kabari aku, Popa. Aku cari pelanggan dulu,” ujarnya sambil berdiri, melangkah besar-besar. Jo masih setia terapit di gendongannya. “Pelanggan baru untuk Dada!” katanya sambil berseru.

“Bilang banyak diskon dan promosi, baby. Dan penjaga tokonya cantik jelita,

“Ya, dada! Little Jo akan bantu promosi. Ya, kan, Little Jo?”

Dan anak itu melesat cepat menghilang dari pandangan. Saat Nymeria tidak terlihat lagi, Arthur menghampiri Jungkook. Ditinggalnya begitu saja pintu yang copot belum selesai dipasang.

Pria itu tertawa pendek sambil berkacak pinggang, melirik keluar seakan bermaksud menangkap siluet mungil tubuh Nymeria dari kejauhan. Hidung besarnya berkembang saat dua pipi penuh janggut ditarik membentuk seulas senyum lebar. Ada rona bangga yang terkembang di wajahnya dan tampak amat asing hingga Jungkook ternganga-nganga menatapnya.

“Kau tertawa,” Jungkook terbengong menatap suaminya. Arthur meliriknya, seperti disadarkan dari kenyataan. Tampang pria itu berubah datar lagi. Matanya melirik jengah dan bibirnya mengatup kaku.

“Masa?”

“Kau tertawa, Arthur!” serunya gemas, diraihnya Arthur dan dipijit-pijitnya wajah pria itu. “Coba lagi, aku belum lihat jelas tadi!”

What?”

Ayo, tertawaaa!” Jungkook berjingkat-jingkat jengkel. Dijenggutnya lembut pipi Arthur di kanan dan kiri.

Begitu dekat mereka berdiri dan Jungkook berusaha keras mengimbangi tinggi badan Arthur hingga pria itu harus memeluk pinggangnya menjaga pose pemuda itu. Ada bayi di antara mereka dan kadang yang kerap terlupa justru Jungkook meski makhluk itu menumpang hidup di perutnya.

“Cepat, Arthur!”

There… happy?” pria itu menarik bibirnya dengan terpaksa.

“Itu senyum bukan tertawa. And that’s creepy as fuck, man.”

Arthur hanya mendengus. Diusap-usapnya pinggul Jungkook. Wajah kesal pemuda itu justru membuatnya merasa geli. Direngkuhnya Jungkook lebih dekat, rangkulan melindungi kini berubah jadi pelukan intim. Arthur memeluk tubuh itu sambil menyesap aroma rambut Jungkook dan menatap keluar pintu, melihat tubuh sibuk Nymeria berjalan kesana kemari. Sekali lagi senyum lebar terulas di wajahnya.

Jungkook tahu-tahu terlena, ikut-ikutan menikmati pose itu sambil menghirup aroma kayu yang melekat di bahu suaminya.

“Kuharap yang ini laki-laki,” katanya tiba-tiba. “Supaya kau punya teman merenovasi rumah ini,”

“Putriku baru saja bertanya soal baut dan sekrup. Menurutmu laki-laki atau perempuan penting di rumah ini?”

Good point.”

Jungkook mengangguk-angguk di depan tubuhnya, agak sengaja mengusap-usap wajahnya ke dada Arthur. Membayangkan mereka berdua berpelukan seintim ini sambil mengendus aroma satu sama lain, di depan pintu rumah kayu yang terbuka lebar… Dalam mimpi pun Arthur belum pernah berani membayangkan kehidupan macam ini bakal terjadi. Ketenangan hidup yang mungkin tidak pantas didapatkannya. Lebih-lebih dilaluinya bersama tiga orang lainnya. Jungkook, Nymeria, dan satu nyawa tambahan hasil kerja lembur mereka.

Untuk hal ini, rasanya ingin sekali ia mengatakan seribu kali.

I love you, bird.”

Jungkook terbengong dulu begitu mendengarnya. Pemuda itu mendongak sampai lehernya pegal. Ditatapnya Arthur dengan sorot tidak percaya.

“Bilang lagi, aku tidak dengar.”

“Bilang apa?”

“Yang barusan kau katakan!”

“Sekrup dan baut?”

“Arthur! Jangan suruh aku melahirkan sekarang, cepat ulang!”

“Ulang apa?”

I love you?”

“Ya I know thatthank you?”

“Arthur!” Jungkook memekik emosi, kejengkelannya membumbung sampai ke ubun-ubun hingga tanpa sadar pemuda itu menghentakkan sebelah kakinya. Dan segera disesalinya. “Fuck!” erangnya sambil membungkuk memeluk perut.

Arthur ikut membungkuk, sesaat panik saat ikut-ikutan berusaha memapah Jungkook dan perutnya. Pria itu membantu Jungkook duduk bersandar ke meja sambil meluruskan kakinya, lalu Arthur sendiri ikut-ikutan duduk disana tidak peduli remah sisa serbuk gergaji berhamburan di lantai. Jungkook menghela napas beberapa kali sambil mengusap-usap perutnya, gerak tangannya diikuti Arthur, yang turut mengatup tangan di atas sana dan mengusap selembut yang bisa dilakukan tangan besarnya.

He likes it.”

“Kau butuh pengingat ada tenant sewa kamar di perutmu.”

“Haha, lucu,” Jungkook mencebik. “Gendong aku, old man. Perutku sakit.”

Kapan terakhir ia menggendong Jungkook begini? Belum lama. Dua hari lalu ia kalah bermain kartu dengan Nymeria dan hukuman membuatnya menggendong Jungkook keliling rumah. Tapi merengkuh Jungkook erat dalam gendongannya begini melempar ingatannya ke masa-masa yang lebih lama… di Toledo, dalam balutan tuksedo mahal, digendongnya Jungkook keluar dari mobil remuk. Itu hari pernikahan mereka. Hari yang Arthur tidak kunjung hapal kapan tanggalnya, tapi terpatri begitu detail dalam ingatannya. Bagaimana Jungkook menatapnya di altar Gereja… Mendongak padanya, dengan seribu binar kenaifan seakan yakin bahwa kehidupan bahagia mereka dimulai disana di depan pendeta.

Tapi toh akhirnya, mereka bahagia.

Mungkin ia yang harus percaya saat itu.

Sampai maut memisahkan mereka, katanya waktu itu.

Tidak ada dewa kematian yang mengincar mereka lagi disini. Tidak ada hidung anjing yang akan sanggup melacak mereka sampai kemari. Arthur akan bisa menikmati tiap detik waktunya bersama Jungkook tanpa dihantui ketakutan seseorang akan merebut pemuda ini.

“Nymeria sedang sibuk bekerja,” katanya sambil membaringkan Jungkook di atas ranjangnya. Ranjang yang tiada empuk-empuknya, sumber seluruh erangan dan cacian Jungkook di pagi hari. Ia membaringkan Jungkook, tanpa melepasnya. Dikecupnya tengkuk pemuda itu dan diusapnya pelan pinggul Jungkook. Pemuda itu paham.

“Ini eksploitasi anak,” katanya sambil menggoda. “Harusnya aku keluar membantu putri kita promosi, dan kau punya pintu yang harus dipasang.”

“Sekali saja…” kontras dengan tampang beringasnya, suara Arthur saat itu berbisik amat pelan, nyaris tidak terdengar.

Jungkook tidak menjawab lagi, ada gemetar aneh berkelebat di bawah pusarnya dan sesuatu memenuhi dadanya. Terasa penuh hingga membuatnya ingin tersenyum sampai pipinya sakit, tapi Jungkook segan melakukannya. Jadi ditariknya tengkuk Arthur dan dipagutnya bibir pria itu dengan setengah berkuasa.

Arthur, yang memang sering main curang di atas ranjang, tahu betul bagian mana yang membuat Jungkook mengalah pasrah. Pria itu menyelip tangan ke balik celana, mengusap paha dalamnya, dengan jempolnya yang kasar.

Jungkook mengerang, lalu sadar ini siang bolong dan Nymeria mungkin saja berdiri di ruang tamu. Jadi mati-matian ia menggigit bibir sementara tangan besar Arthur menggerayang di antara kakinya.

“Kau menyesal salah menenteng koper? Kalau kau tidak salah waktu itu, kita bisa bangun dinding yang lebih kokoh dari ini dan kau—” suara Arthur berubah pelan, “Bisa menjerit sepuasnya.”

“Diam!” katanya kesal, meski sambil tertawa. Kalau harus diulang waktu dan Jungkook dua kali salah mengambil koper, satu berisi uang dan yang diambilnya justru koper berisi pakaian, pemuda itu tetap tidak menyesal. Kehidupan macam ini bukan kehidupan yang akan disesalinya. Hanya Arthur dan Nymeria yang perlu dipacknya ke mana-mana.

.

.

.

.

.

.

Esoknya, Jungkook mendapatkan pelanggan pertamanya. Berkunjung menjelang siang untuk membeli lima kaleng sardin kemasan, sekotak susu, dan seplastik garam. Bukan jumlah yang mewah, tapi ramah sekali Jungkook menyambut pembeli pertamanya. Yang mungkin datang berkat kerja keras putrinya. Selesai membayar dan pelanggan itu meninggalkan rumah mereka, Jungkook tergopoh-gopoh menghampiri Nymeria dan berlutut –dengan amat hati-hati— di hadapan putrinya.

Good work, Miss Director! All the credit for you!” katanya sambil memeluk tubuh mungil itu, dikecupnya kedua pipi gembil Nymeria sayang.

Nymeria paling tidak senang diperlakukan seperti balita, dipeluk, dikecup, dan dielu-elukan macam itu. Tapi kali itu saja, gadis kecil itu tersenyum. Wajahnya terangkat bangga. Dada baru saja memuji hasil kerasnya, betapa ia merasa besar sekarang!

You know, Da?”

Yea, baby?”

No need to restrain yourself, okay? Don’t mind me, Imma big guurl,” katanya sambil mengangguk-angguk sok dewasa, lalu gadis kecil itu bungkuk untuk memungut anak ayamnya sambil berjalan lalu keluar rumah. “Come come little Jo, we have lotta work to do.

Jungkook bingung sebentar.

“Dia bicara soal kemarin. Ranjang.” Arthur menyahut, sama tidak peduli, lalu keluar lewat pintu depan.

You fucking serious?” Jungkook terenyak histeris. “My baby’s innocence!”

.

.

.

.

.

Seperti judulnya. Ya special chapter. Bukan chapter Braven beneran WKKWKWKWKW

Kesel gaaa. Kesel gaaa.

Bahagia dulu ya sebelum badai.

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “Braven – Special Chapter”
Beranda
Cari
Bayar
Order