Seokjin mematut dirinya di depan cermin untuk terakhir kali, merapikan anak rambutnya sebelum yakin bahwa penampilannya cukup presentable, sebelum keluar dari apartemennya. Dilihatnya sekali lagi alamat yang dikirimkan oleh N, orang yang ia kenal dari aplikasi rekomendasi Jimin, lalu berjalan menuju stasiun kereta terdekat.
Dua puluh lima menit kemudian, Seokjin telah berdiri di depan restoran yang disepakati. Sesuai perkiraan, ia sampai sepuluh menit lebih awal dan melangkahkan kakinya masuk ke dalam restoran. Langkahnya terhenti saat ia menyadari bahwa ini bukanlah restoran daging biasa; restoran ini memiliki interior mewah dan Seokjin yakin, harga dagingnya bisa sampai sepuluh kali lipat dari yang biasa ia makan. Matanya lalu tertuju pada bayangan di kaca; kaos tipis dilapisi dengan cardigan berwarna abu tua, celana jeans yang sudah terlalu sering digunakan, serta sneakers usang yang selalu dipakainya dari kuliah. Tentu, untuk restoran berkelas seperti ini, Seokjin terlihat terlalu sederhana. Baru saja Seokjin ingin berbalik badan dan pergi saat pelayan restoran memanggilnya dan mempersilahkannya untuk naik ke lantai dua.
Lantai dua restoran ini tak kalah mewah dari lantai satu, hanya saja tak ada satu orangpun disini sementara tadi di bawah cukup ramai. Seokjin berdiri canggung karena pelayan yang tadi mengantarkannya langsung turun ke bawah sementara ia tak tahu harus berjalan kemana sampai matanya menangkap seorang pria duduk membelakanginya dengan atensinya tertuju pada jalanan di luar jendela. Seokjin menarik nafasnya dan dengan perlahan menghampiri pria tersebut, yakin bahwa ia adalah orang yang sama yang menghubunginya beberapa hari yang lalu.
“Permisi, saya- Pak Namjoon?!”
Sapaan Seokjin yang semula terdengar lembut, tiba-tiba menaikkan volume suaranya saat orang di depannya berbalik menghadapnya. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, takut jika matanya memainkan ilusi pada otaknya, bahkan diam-diam mencubit lengannya sendiri memastikan bahwa ia sedang tidak bermimpi. Namun di depannya masih terdapat orang yang sama, Kim Namjoon dengan segala pesonanya, tersenyum hangat padanya.
“Kamu kenal saya?” Tanya Namjoon saat Seokjin masih terus menatapnya dengan mulut terbuka.
Seokjin mengangguk. “I-I mean, semua orang tahu Bapak. Kim Namjoon, pemilik franchise supermarket terbesar sekaligus pemimpin anak perusahaan Kim’s Corp., jelas saya tahu.” Jawabnya sambil menunduk.
Namjoon tersenyum lalu mempersilahkan Seokjin untuk duduk. “Nama kamu siapa?”
“Kim Seokjin.”
“Kim Seokjin.” Ulang Namjoon. “Wait, kamu kenapa kayaknya familiar ya?” Tanyanya sambil memangku dagu di tangan.
Salah tingkah, Seokjin mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, berdoa di dalam hati agar Namjoon tak mengingat kejadian berminggu-minggu yang lalu di lift, saat Seokjin mempermalukan dirinya sendiri di hadapan atasannya.
“Kamu yang di lift, bukan?” Tanya Namjoon menyelidik.
“Lift? Lift apa ya, Pak? Saya ga pernah naik lift. Mungkin Bapak naik lift sama yang lain kali, ga pernah sama saya. Kita ga pernah satu lift.” Seokjin lalu menutup mulutnya, sadar dirinya sedang mengoceh.
Namjoon tertawa, pria di depannya ini terlalu menggemaskan. “Right, you were the one at that time. Maaf ya, saya waktu itu lagi terima telepon, ga maksud buat bikin kamu malu.” Ucap Namjoon dengan tulus meminta maaf pada Seokjin.
Seokjin yang cemberut lalu menganggukkan kepalanya. “Iya, Pak, itu saya.”
“Jadi kamu kerja di perusahaan saya? Divisi apa?”
“Marketing, Pak.”
“Oh marketing. Di bawahnya Hara, betul?”
Seokjin mengangguk.
“Great. Anyway, tadi saya sudah pesan semua makanannya, kalau nanti sudah datang dan ada yang kamu ingin pesan, just say it, ya.” Ucap Namjoon tersenyum yang dibalas dengan anggukan dari Seokjin. Ia kemudian merogoh tas di sebelahnya, mengambil satu lembar amplop dan mengeluarkan isinya, serta memberikan satu dokumen untuk Seokjin.
“Data diri serta kontrak kita.” Jelas Namjoon saat melihat ekspresi bingung dari Seokjin. “Kamu ga pernah ngelakuin ini sebelumnya?”
Seokjin menggeleng pelan. “Baru pertama kali.”
“Okay, jadi disini ada data diri dan persetujuan kita masing-masing soal kinks dan batasan. Kalau kamu bersedia untuk melanjutkan ini, kamu bisa isi semua pertanyaannya dan dikirimkan ke saya, sebelum nanti diserahkan ke lawyer dan tanda tangan kontrak.” Jelas Namjoon. “Well, kamu gimana?”
Seokjin terkesiap. Ia sudah sangat bersyukur bahwa ia tidak bertemu dengan orang berusia dua kali dari umurnya. Dan mendapati bahwa di depannya kini adalah Kim Namjoon, Seokjin senang bukan main. Namun satu hal yang membuatnya ragu dan mengganggu pikirannya sejak tadi melihat Namjoon di depannya. “Pak, kita kan satu kantor, ga masalah?”
“If you want to proceed, hubungan kita ga boleh berkaitan dengan pekerjaan sama sekali. Nanti bisa ditambahkan di kontrak. Gimana?”
“Hmm… Bapak sendiri, gimana?”
“You’re cute, masa saya tolak?” Jawab Namjoon dengan seringai tipis yang berhasil membuat Seokjin salah tingkah. “Jadi?”
Setelah berpikir beberapa menit, akhirnya Seokjin menganggukkan kepalanya, membuat Namjoon tersenyum.
“Good. Kita obrolin masalah kontrak setelah makan, ya?” Ucapnya setelah melihat pelayan membawakan makanan mereka ke atas meja.
“Pak, di lantai dua kenapa ga ada orang ya? Kayaknya tadi di bawah ramai.” Ucap Seokjin saat makanan di piringnya sudah hampir habis.
“Saya sewa satu lantai soalnya.” Jawab Namjoon santai.
“Wha- why?!”
“Karena kita butuh privacy buat ngobrolin kontrak?”
Seokjin kemudian mengangguk mengerti. Matanya lalu melihat seluruh makanan yang terhidang di meja dan memperhatikan seluruh bagian restoran. Ia tak dapat membayangkan berapa banyak uang yang harus dikeluarkan Namjoon hanya untuk makan siang bersamanya.
“Makanannya, suka?” Tanya Namjoon setelah pelayan membersihkan meja mereka beberapa menit kemudian.
Seokjin tersenyum dan mengangguk. Menurutnya, makanan barusan adalah makanan terenak yang pernah menyapa lidahnya.
“Ini restaurant punya Yoongi, I asked him to prepare everything.”
“Yoongi? Maksud Bapak, Yoongi, Min Yoongi?”
Namjoon mengangguk dan Seokjin membelalakkan matanya, tak percaya bahwa ia baru saja memakan hidangan dari restaurant milik Min Yoongi, chef yang juga sekaligus pemilik rantai restaurant terbaik di seluruh negeri.
“Yoongi teman saya saat kami di Amerika. Beruntung setelah balik kesini, kami malah sekaligus menjadi partner bisnis.”
Seokjin menganggukkan kepalanya, mengetahui kerjasama antara Namjoon dan Yoongi dalam urusan distribusi daging untuk usaha mereka masing-masing.
“Anyway, let’s talk about the contract, shall we?” Ucap Namjoon sambil mengeluarkan dokumen kontrak yang tadi disimpannya saat mereka menikmati makan siang.
Namjoon dan Seokjin lalu mengisi formulir data diri masing-masing. Setelah selesai, Seokjin menarik nafasnya sebelum menatap Namjoon karena bagian selanjutnya adalah tentang kink dan batasan mereka di ranjang.
“I know ngomongin ini bakal awkward, tapi kita harus saling mengenal batasan masing-masing. Jadi disini akan ada beberapa list, kalau kamu ga nyaman atau ragu-ragu, tell me.”
Seokjin mengangguk dan berdehem, list pertama di kertasnya saja sudah membuatnya mengernyitkan dahi.
“Bondage?”
Seokjin mengangguk.
“Shibari?”
Seokjin menggeleng.
“Breathe play?”
Seokjin terdiam dan berpikir sebentar, “Belum pernah coba.”
“Mau coba?” Namjoon melirik Seokjin dan melanjutkan saat Seokjin mengangguk. “Okay, next sex toys. Vibrator. Butt plug. Cock ring. Sounding rod?” Namjoon dan Seokjin saling tatap di nama barang terakhir, lalu keduanya sepakat untuk tidak menyetujui penggunaan alat tersebut.
“Too extreme.” Gumam Seokjin yang disetujui oleh Namjoon.
“Okay, watersports?”
Seokjin mengernyitkan alisnya bingung. “Maksudnya kita mau berenang, Pak?”
Jawaban polos Seokjin membuat Namjoon tertawa lepas sementara Seokjin semakin bingung karena pertanyaannya tak mendapat jawaban. Namjoon menarik nafas berkali-kali untuk menenangkan dirinya dan kembali menatap Seokjin. “It’s a no then. Know what? Ini terlalu awkward kalau diomongin berdua. Isi masing-masing aja ya.” Seokjin mengangguk dan meletakkan dokumennya kembali di sebelahnya.
“Kamu katanya juga part-time? Setiap hari apa?”
“Setiap Senin sampai Jumat dari jam 7 sampai 12 malam. Weekend biasanya sih full shift, tapi hari ini saya izin.”
“Berhenti dari sana.”
“Gimana, Pak?”
“Aku bakal butuh waktu banyak sama kamu. Plus I’ll provide for you. Ada di kontrak.”
Seokjin mengangguk mengerti, “Baik, Pak.”
“Hmm let’s fix that. Kita ngobrolnya lebih santai aja kalau berdua, toh aku bukan atasan kamu di luar kantor.”
“Terus saya panggil apa?”
“Namjoon.”
“Okay, Namjoon.”
“Hm apa lagi ya? Oh iya, are you clean?” Namjoon tersenyum saat Seokjin menaikkan kedua alisnya. “Down there.”
“Oh! Iya, aku bersih.”
“Good. Tapi aku butuh hasil pemeriksaan kamu, aku juga bersih dan akan nunjukin hasilnya nanti saat tanda tangan kontrak.” Namjoon lalu mengeluarkan kartu nama dari dompetnya dan memberikannya pada Seokjin. “Periksa disana, bilang kamu direkomendasiin sama Kim Namjoon, they’ll know what to do.”
“Kamu ada pertanyaan?”
Seokjin menggeleng, masih belum punya pertanyaan lebih tepatnya.
“Okay. Setelah ini mau kemana?”
“Ga kemana-mana. Paling balik ke rumah.”
“Aku antar kalau gitu. Yuk?”
Setelah memberitahukan alamatnya pada supir yang mengendarai sedan hitam termewah yang pernah Seokjin naiki selama hidupnya, mobil itu melesat dengan cepat ke tujuan. Seokjin lalu melirik ke pria yang duduk di sebelah kanannya yang sedang sibuk dengan apapun di layar HP-nya. Dari tadi dirinya terlalu gugup sehingga tak sempat memperhatikan Namjoon. Berbeda dengan hari biasanya yang selalu mengenakan kemeja serta celana formal, hari ini Namjoon memilih mengenakan hoodie putih dan jeans biru. Rambutnya yang biasanya ditata ke belakang dengan gel, hari ini diturunkan, membuatnya terlihat lebih muda dan lebih cocok dikira mahasiswa dibanding pemimpin perusahaan.
“Take a picture, it will last longer.”
Ucapan Namjoon barusan membuat Seokjin kembali mengalihkan pandangannya ke jendela, menyembunyikan rona merah di wajahnya karena ketahuan menatap terlalu lama. Melihat reaksi Seokjin, Namjoon tersenyum tipis, siapa sangka bawahannya ini menggemaskan?
“Boleh pinjam HP-nya?” Seokjin hendak bertanya untuk apa namun urung dan langsung menyerahkan HP-nya pada pria di sebelahnya. Ia baru mengerti setelah Namjoon menghubungi nomornya sendiri melalui HP milik Seokjin.
Tak berapa lama setelahnya, mobil hitam itu sampai di depan apartemen Seokjin. “Terima kasih, Namjoon.” Ucap Seokjin sebelum keluar dari mobil.
“See you tomorrow, Seokjin.”
Demi Tuhan, Seokjin tidak sedang meleleh melihat senyum manis milik Namjoon padanya barusan.
You must be logged in to post a review.
Related Paid Contents
-
🔒 Sugar, Baby – Special Ch
Author: Narkive94 -
🔒 I Feel You pt.2 (NC)
Author: _baepsae95 -
🔒 Braven – 14. Credence
Author: Miinalee -
🔒 Code Name : V (NC)
Author: _baepsae95
Reviews
There are no reviews yet.