Sugar, Baby – 6

Author: Narkive94

Membaca notifikasi di handphone miliknya, Seokjin segera membawa beberapa dokumen yang baru dicetaknya tadi pagi, Namjoon pasti menginginkan laporan mengenai strategi marketing baru yang ia minta terapkan mulai awal minggu ini. 

Seokjin mengetuk pintu ruangan Namjoon sebelum membukanya, mendapati Namjoon sedang mengobrol dengan Jung Hoseok dari sales. Tampaknya mereka sudah selesai berdiskusi karena saat Seokjin masuk, Hoseok langsung izin mengundurkan diri dan mengangguk pada Seokjin sebelum membuka pintu, meninggalkan Seokjin dan Namjoon berdua di ruangan itu. Saat Seokjin melirik ke arah Namjoon, pria itu sudah berdiri beberapa langkah darinya, tersenyum sambil melebarkan kedua tangannya.

“Sini.” Ucapnya. Seokjin menaikkan alis namun tetap menuruti dan berjalan mendekat. Namjoon lalu memeluknya erat, membuat Seokjin salah tingkah.

“Namjoon, aku disuruh kesini bukan buat ngasih laporan?”

Namjoon menggeleng. “Belum butuh sekarang. Butuhnya kamu.” Ucapnya di ceruk leher Seokjin.

Seokjin lalu melirik jendela yang terletak di balik sofa, yang tentu saja jika orang lain melihat dari luar, akan terlihat jelas apapun yang sedang mereka lakukan saat ini. “Namjoon, jendela, nanti ada yang lihat.”

“Jendelanya one-way, cuma aku yang bisa liat keluar.”

“Terus nanti kalau ada yang tiba-tiba masuk gimana?”

“Ga bakal ada.”

“Tapi-”

“Shh let me enjoy this.”

Seokjin menghela nafas dan mengalah, tak ada gunanya berdebat dengan Namjoon. Kedua tangannya lalu melingkari pinggang Namjoon dan kepalanya bersandar di bahu kokoh milik Namjoon.

Tak berapa lama, Namjoon melepaskan pelukannya dengan senyuman dan kembali berjalan menuju mejanya. Demi Tuhan, Seokjin tak pernah mengerti pria di depannya ini.

“Terus? Udah?”

“Oh? Mau ngapain lagi?” Tanya Namjoon dengan seringai tipis di wajahnya, membuat Seokjin memutar matanya.

“Kirain kamu mau minta laporan atau apa gitu sampai akunya buru-buru kesini.”

Namjoon tertawa gemas melihat ekspresi cemberut Seokjin. “Ya udah sini taruh laporannya di atas meja, nanti aku baca. Thank you ya, baby.”

Seokjin mendengus kesal dan menaruh dokumennya di atas meja Namjoon dan langsung membalikkan badannya, pekerjaannya sungguh sangat menumpuk dan Namjoon tak membantunya sama sekali.

“Loh ga pake cium?”

Seokjin hanya menjulurkan lidahnya sebelum membuka pintu dan kembali ke mejanya. Dan Namjoon tak akan pernah puas menggoda Seokjin jika pria itu terus bersikap menggemaskan di hadapannya.

 

Tak butuh waktu lama bagi Seokjin untuk sampai di panti asuhan tempat ia tumbuh besar sejak kedua orang tuanya pergi meninggalkannya selamanya. Kunjungan tiap bulannya selalu dinanti oleh anak-anak panti, berharap Seokjin membawa manisan yang meski jumlahnya tak banyak, tetap dapat membawa senyuman pada anak-anak itu.

Seokjin duduk di teras setelah memastikan semua anak-anak tidur. Hidup di panti dengan banyak anak-anak lainnya telah merubah Seokjin yang awalnya pendiam, menjadi lebih terbuka dengan siapa saja. Mungkin juga karena satu anak yang selalu mengikutinya saat pertama kali Seokjin menginjakkan kakinya disini.

“Belum tidur?”

Suara Ibu Minjung, pemilik sekaligus pengurus panti yang biasa Seokjin panggil dengan sebutan Ibu, menghamburkan lamunan Seokjin. Seokjin menolehkan kepalanya pada Ibu dan tersenyum, “Belum, Bu. Ibu tidur duluan aja, Seokjin belum ngantuk.”

Ibu pun duduk di sebelah Seokjin dan membelai halus rambutnya. “Kepikiran Namgi, ya?”

Choi Namgi, laki-laki berusia dua tahun lebih muda darinya, yang dari awal kedatangannya selalu mengikutinya kemanapun ia pergi dan mengobrol tentang apapun dengannya, meski Seokjin tak pernah menghiraukannya.

Seokjin tersenyum dan mengangguk. “Apa kabar ya, Bu, Namgi sekarang? Namgi belum pernah kesini lagi, Bu?”

Ibu menggeleng. “Mungkin betah di Amerika. Kelihatannya orang tua angkatnya sayang banget sama dia. Orang tuanya sudah sering kesini satu tahun sebelum akhirnya adopsi Namgi loh, Seokjin.”

“Pantes dulu Namgi dapat mainan baru terus ya, Bu.”

Ibu tertawa pelan dan menggenggam tangan Seokjin, ada sesuatu yang ia ingin ungkapkan namun urung.

“Bu, kenapa?”

“Seokjin, maafkan Ibu. Dalam beberapa bulan tampaknya panti asuhan ini harus tutup. Dana dari pemerintah tidak cukup untuk menghidupi semua anak disini. Kita biasanya hidup dengan dana dari donatur, tapi satu setengah tahun belakangan tidak ada donatur yang datang kesini.” Ibu Minjung menyeka air mata yang jatuh dari pelupuk matanya yang terlihat lelah.

“Terus anak-anak gimana?”

“Ibu sudah mencari panti asuhan yang masih bisa menampung dan beberapa sudah menyanggupi, meski nantinya mereka semua harus tinggal terpisah karena tidak ada yang bisa menampung semuanya dalam satu tempat.”

“Bu, Seokjin akan cari donatur. Ibu ga usah mikirin, okay?”

“Kamu sudah berkorban banyak, Seokjin. Mungkin ini sudah waktunya, Ibu juga sudah tua. Ibu tahu pasti berat untuk kamu, tapi setiap hal di dunia pasti memiliki akhir. Kamu juga harusnya sudah mulai mikirin diri sendiri, bukan lagi anak-anak disini. Kejar mimpimu, nak.”

Seokjin tak menjawab. Tentu ia tak ingin meninggalkan tempat yang sudah ia anggap rumah ini. Disinilah ia menghabiskan sebagian besar masa kecilnya, dan ia tak mau melepas pergi memori masa kecilnya itu.

Ibu Minjung lalu meninggalkan Seokjin tak lama kemudian setelah Seokjin menyuruhnya untuk tidur. Sementara Seokjin terus berada di teras sampai tengah malam, memikirkan cara untuk menyelamatkan panti dan memori masa kecilnya.

 

Seokjin kecil menatap bangunan panti di depannya tanpa ekspresi. Ia harus tinggal disini selamanya, atau setidaknya sampai ada orang yang ingin mengadopsinya dari sini. Ia melirik ke bagian sayap kanan panti, mendapati beberapa anak kecil sedang bermain bersama di taman kecil yang tersedia. Ia hanya mengangguk saat Paman Seojun, saudara jauh ayahnya sekaligus pengacara keluarga, memberitahunya bahwa ia akan tinggal disini dan harus bersikap baik. Ibu Minjung lalu membantu Seokjin mengangkat bawaannya dan menunjukkan kasurnya, bagian atas kasur tingkat yang terletak dekat jendela.

Seokjin sama sekali tidak mencoba untuk bersosialisasi dengan siapapun. Mungkin ia sangat terpukul setelah menyaksikan kematian kedua orang tuanya di depan mata. Mungkin juga karena sifatnya yang tertutup, terutama pada orang baru. Ia sedang duduk di ayunan sendirian saat seorang bocah berpipi tembam menghampirinya dan duduk di ayunan kosong di sebelahnya.

“Hai, kata Bu Minjung namamu Seokjin, ya? Kata Bu Minjung, kamu juga lebih tua, jadi aku panggil Kakak, boleh? Namaku Namgi, Choi Namgi.” Bocah itu mengulurkan tangannya, namun Seokjin hanya menatap tanpa menyambut tangan Namgi. 

Seokjin akhirnya menatap mata Namgi yang tak kunjung menurunkan tangannya, ia pun akhirnya menyambut tangan itu dan bergumam kecil, “Seokjin.”

“Kak Seokjin kelas berapa? Kata Bu Minjung, Kak Seokjin umurnya 9 tahun ya? Berarti Kak Seokjin udah kelas 3. Kak Seokjin pintar ga di sekolah? Kelihatannya pintar. Nanti Namgi minta diajarin matematika ya, Kak Seokjin. Namgi ga bisa ngitung. Tapi Namgi jago banget bikin puisi. Kak Seokjin mau lihat?” Mata Namgi berbinar saat menanyakan ribuan pertanyaan pada Seokjin. Senyumnya tak pudar meski Seokjin tak menjawabnya dan hanya menundukkan pandangannya sepanjang waktu.

“Oh! Sudah waktunya makan siang, Kak Seokjin! Yuk kita makan!” Namgi lalu menarik tangan Seokjin, meski sedikit kesusahan karena Seokjin jauh lebih tinggi darinya. Seokjin pun mengalah dan berjalan di sebelah Namgi yang tak pantang menyerah menanyakan Seokjin berbagai macam pertanyaan, meski Seokjin kadang hanya menjawab dengan anggukan atau gelengan.

Seokjin yang sedang membaca buku mengalihkan pandangannya pada bocah kecil di sebelahnya, ia merasa tak nyaman ditatap terus-terusan oleh Namgi yang sejak hari pertama, selalu mengikuti langkahnya kemanapun. Sudah lebih dari tiga minggu Seokjin disini, dan tak sedikitpun Namgi tampaknya menyerah untuk mengajaknya mengobrol.

“Kenapa ngeliatin?” Tanya Seokjin pada akhirnya.

Yang ditanya malah tersenyum malu-malu, guratan merah terlihat di pipinya. “Ga papa. Kak Seokjin ganteng, Namgi suka.”

Pernyataan Namgi membuat Seokjin terkekeh pelan dan menggelengkan kepalanya. Ia lalu kembali membaca bukunya, tak sadar bahwa bocah di depannya melongo akibat melihat senyum darinya.

 

Namjoon menyelimuti tubuh telanjang mereka lalu membaringkan tubuhnya di sebelah Seokjin yang langsung bergeser sehingga kepalanya bersandar pada dada Namjoon. Namjoon membelai rambut halus Seokjin dan sesekali mengecup puncak kepalanya, sementara Seokjin bermain dengan jari-jarinya.

“Petal, kamu kenapa ga pernah minta sesuatu dari aku sih?” Tanya Namjoon menyuarakan pikirannya. Selama hubungan mereka, Namjoon hanya pernah membayarkan uang sewa apartemen Seokjin dan beberapa kali memberikannya hadiah kecil, itupun lebih sering ditolak oleh Seokjin.

“Bingung mau minta apa. Minta jadi co-CEO aja, boleh?” Ucap Seokjin dengan senyum nakal di bibirnya, membuat Namjoon terkekeh pelan.

“Besok aku urus.”

“Ih, bercanda.” Seokjin mencubit pelan perut Namjoon. “Kenapa ya aku juga bingung. Mungkin dari kecil karena terbiasa ga minta barang ini itu kali ya sama ibu yang mengasuh aku di panti.”

“Are you okay? Maksudku, selama ini hidup sendiri di panti asuhan.”

Seokjin mengangguk. “Aku beruntung bisa hidup di panti asuhan. At least sekarang aku bisa jadi orang. Entah gimana kalau aku hidup terlantar dan sendirian, mungkin kita ga bakal ketemu?”

“Temen-temen kamu di panti, gimana?”

“Kebanyakan sudah di adopsi. Ada juga yang sudah merantau di kota atau negara lain dan cuma datang ke panti dalam waktu tertentu. Kayaknya cuma aku yang masih rutin setiap bulan datang kesana.”

“I see. Maaf, aku ga tahu kalau orang tua kamu udah ga ada.”

Seokjin tersenyum menatap Namjoon. “It’s okay. Oh iya, Namjoon, aku boleh minta sesuatu?”

“Anything, petal. Apa?”

Seokjin terlihat ragu. Ia ingin meminta bantuan Namjoon untuk menyelamatkan panti asuhan, namun ia ingat pesan Ibu untuk tak memikirkan hal tersebut. Bisa-bisa Ibu marah padanya jika tahu Namjoon berdonasi karenanya.

“Hey? Earth to Seokjin.” Namjoon melambaikan tangannya di depan wajah Seokjin, membuatnya tersadar dari lamunannya.

“Mau minta susu coklat di kulkas, boleh?”

Namjoon tertawa keras. “Itu aja? Okay boleh, buat aku satu juga ya.”

Seokjin mengangguk lalu langsung berlari ke dapur untuk mengambil dua kotak susu dari dalam kulkas, tidak memperdulikan udara dingin yang menyapa tubuh telanjangnya dan segera kembali ke kasur, menikmati susu coklat bersama Namjoon. Mungkin nanti ia akan minta tolong urusan panti, jika itu adalah jalan terakhir untuk menyelamatkan masa kecilnya.

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “Sugar, Baby – 6”
Beranda
Cari
Bayar
Order