Sugar, Baby – 8

Author: Narkive94

“Kak Seokjin.” Suara Hara terdengar dari balik punggung Seokjin dan ia pun memutar kursinya ke belakang. “Lo tahu Pak Namjoon kemana ga?” Tanya Hara, ekspresinya panik dan Seokjin dapat melihat tangannya sedikit bergetar.

Seokjin menggeleng. “Kenapa nanya sama gue?”

“Lo soalnya akhir-akhir ini selalu ketemu Pak Namjoon buat laporan, kirain dia bilang sesuatu sama lo kemarin.”

“Pak Namjoon ga ngomong apa-apa sih. Kata asistennya kemana?”

“Asistennya bilang dari pagi Pak Namjoon ga masuk ke kantor, handphone doi juga mati. Aduh gimana dong ini gue harus approval Pak Namjoon hari ini juga.”

Seokjin berpikir sebentar, beberapa hari ini ia tidak tidur di rumah Namjoon pun hari ini Namjoon belum menghubunginya sama sekali, hal yang tidak biasa Namjoon lakukan dari awal hubungan mereka. “Hm coba lo tanya sama Pak Minjae deh, Ra. Doi kan Head of Sales and Marketing, kali aja bisa bantu.”

“Oh iya! Okay makasih, Kak Seokjin.” Ucap Hara sebelum melesat ke sayap kiri gedung dimana ruangan Kang Minjae berada.

Setelah Hara pergi, Seokjin melirik handphone miliknya yang tergeletak di sebelah laptopnya. Tumben sekali Namjoon tak mengiriminya pesan apapun dari tadi pagi. Seokjin merasa penasaran dan hendak menghubungi Namjoon, namun ia urung, mungkin ada sesuatu yang sedang Namjoon urus sehingga ia tak sempat menghubungi Seokjin. Ia pun akhirnya memutuskan akan menghubungi Namjoon nanti setelah pulang kerja, terlalu banyak pekerjaan untuknya saat ini.

 

Seokjin menatap layar handphonenya, lebih tepatnya pada pesan tak terbaca yang ia kirim tadi malam pada Namjoon. Aneh sekali, Namjoon biasanya akan menghubunginya untuk sekedar mendengar suaranya atau memberi tahu Seokjin tentang lelucon yang diucapkan Pak Lee, supirnya, saat perjalanan pulang. Ia lalu melirik Hara yang sedang mengetik sesuatu di laptopnya, tidak ada ekspresi panik seperti yang ia tunjukkan kemarin. Ia lalu berdiri dan menghampiri meja Hara.

“Ra, gimana approval lo?” Tanya Seokjin setelah ia mencapai meja Hara.

“Pak Minjae bilang oke, nanti bisa dia yang ngomong sama Pak Namjoon kalau ada apa-apa. Kenapa, Kak?”

“Oh baguslah. Gue juga mau minta approval Pak Namjoon. Dia masuk ga ya?”

Hara menaikkan kedua bahunya. “Coba tanyakan asistennya aja.”

“Okay. Thank you, Hara.” Ucap Seokjin sebelum kembali ke mejanya.

“Pak Namjoon ga masuk hari ini.” Ucap Jimin saat Seokjin baru saja mendudukkan dirinya di atas kursi. Ia menoleh ke arah Seokjin sambil menyesap kopi yang baru saja dibuatnya.

“Tahu dari mana?” Tanya Seokjin yang langsung mendekatkan kursinya pada Jimin, meminta penjelasan lebih.

“Dari aura kantor. Kalau Pak Namjoon ke kantor, auranya cerah. Aura hari ini sama kemarin mirip, suram. Berarti Pak Namjoon ga masuk lagi hari ini.” Jelas Jimin sambil tersenyum polos, sementara Seokjin memutar matanya dan kembali ke mejanya, menyesal membuang waktunya untuk mendengarkan Jimin.

 

Sebelum pulang, Seokjin menghampiri meja sekretaris Namjoon untuk menanyakan keberadaan pria berlesung pipi itu. Namun mereka pun tak mengetahui keberadaan atasannya. Seokjin mengucapkan terima kasih sebelum turun menggunakan lift dan langsung menyetop taksi di bawah. Ia memberi tahu supir alamat Namjoon dan berharap jalanan tidak terlalu macet hari ini. Perasaannya tidak enak, semoga Namjoon baik-baik saja.

Seokjin sampai di rumah Namjoon empat puluh menit kemudian. Rumahnya sepi, seperti biasa. Ia langsung menuju pintu dan menekan belnya. Tak lama pintu itu dibuka, menampilkan sosok Namjoon yang terlihat sedikit berbeda dari biasa.

“Seokjin?”

“Oh my god, what happened to your face?” Seokjin menatap luka lebam di beberapa bagian wajah Namjoon, beberapa sudah mulai pudar namun masih ada beberapa bagian yang terlihat cukup bengkak.

“Masuk dulu.” Ucap Namjoon menggeser tubuhnya dari pintu agar Seokjin dapat masuk.

Mereka duduk di sofa ruang tengah, Seokjin menunggu Namjoon untuk berbicara sambil melihat luka-lukanya dari dekat dan meringis.

“Kamu abis berantem sama siapa?” Tak sabar, Seokjin akhirnya bertanya karena sepertinya Namjoon tak akan membuka mulutnya.

“Ga berantem, jatuh.” Gumam Namjoon pelan.

“Dari jurang berbatu? Atau batunya yang nimpukin kamu?”

Namjoon menunduk diam. Ia lalu menarik tangan Seokjin saat pria itu berdiri dari duduknya, “Kemana?” Tanyanya.

“Ke dapur mau ambil buah, aku lapar.” Seokjin lalu mengambil buah potong di kulkas dan menaruhnya ke atas piring. Beberapa hari yang lalu, ia meminta Namjoon untuk mengisi kulkasnya setidaknya dengan buah-buahan untuk kudapan. Ia lalu kembali dengan potongan buah nanas dan dua buah garpu di atasnya.

“Nanas?” Tanya Namjoon mengambil satu potong lalu memasukkannya dalam mulutnya.

“Dulu pas aku lebam-lebam, Ibu selalu ngasih buah nanas. Katanya bagus buat redain lebam.”

“Oh ya? Berarti kamu sering lebam-lebam dulu? Hm, kapten tawuran, ya?”

“Bukan, aku yang dipukulin. Kata mereka aku ga punya orang tua, jadi pantes dipukuli.” Jawab Seokjin sambil terus mengunyah nanasnya.

“But you don’t deserve that.”

Seokjin tersenyum. “I know. Jadi kamu jatuh sendirian?”

“Kak Taejoon.” Namjoon melanjutkan saat melihat Seokjin memiringkan kepalanya. “Kakakku.”

“Oh gitu. Jadi jatuh sama Kak Taejoon?”

“Bukan. Aku dipukulin Kak Taejoon.” Ucap Namjoon dengan nada bergetar, ia urung memakan satu potong terakhir buah nanas yang baru akan ia suapkan pada mulutnya.

Seokjin menaruh piring buah itu ke atas meja lalu menggenggam tangan Namjoon, mencoba menenangkannya. “Kenapa?” Tanyanya lembut.

“Kak Taejoon ga pernah suka sama aku. Dari kecil aku sering dipukuli, aku kira semakin kita dewasa, dia akan berdamai sama aku tapi ternyata aku salah. The thing is, sampai sekarang pun aku ga punya sedikit keberanian untuk ngelawan. Aku sampai belajar boxing, tapi kalau Kak Taejoon sudah di depanku, aku ga bisa ngelakuin apa-apa.”

Seokjin mengeratkan genggamannya, ia dapat merasakan tubuh Namjoon bergetar. “Alasannya? Kenapa Kak Taejoon mukul kamu?”

“Kak Taejoon minta aku buat nyerahin perusahaan. Dulu memang Ayah ragu memilih aku atau Kak Taejoon untuk mengelola perusahaan ini. Namun karena satu dan lain hal, akhirnya Ayah milih aku dan nyuruh Kak Taejoon untuk tetap di Amerika. Terus sekarang dia tahu kalau supermarket berkembang pesat, dan dia ingin aku menyerahkan semuanya ke dia.”

Namjoon menitikkan air matanya, ada kemarahan yang ia tahan namun tak terungkap. Seokjin lalu memeluknya, membiarkan Namjoon meluapkan emosinya sambil terus membelai punggungnya.

Seokjin dapat merasakan Namjoon mulai tenang dalam pelukannya, ia lalu bertanya, “Terus, kamu bilang apa?”

“Aku tolak. Perusahaanku memang di bawah nama besar perusahaan Ayah, Ayah juga ngasih resource cukup besar di awal, tapi selebihnya adalah usahaku sendiri. He can’t take away what’s mine. Next thing I know, mukaku sudah lebam semua.” Namjoon lalu menegakkan tubuhnya sambil menghapus air mata di pipinya, ia merasa sedikit lega setelah meluapkan perasaannya pada Seokjin.

“Kamu harusnya ngabarin aku.” Ucap Seokjin kemudian, tangannya bermain dengan tangan Namjoon seperti yang selalu ia lakukan saat mereka berdua.

“Kenapa? Khawatir ya?” Tanya Namjoon sambil membelai pipi Seokjin pelan.

Seokjin mengangguk. “You bet I do.”

“Kamu lucu kalau lagi khawatir.” Ucap Namjoon dengan seringai tipis, menggoda Seokjin.

Seokjin memutar matanya namun ia tak protes, flirty Namjoon jauh lebih baik dari pada gloomy Namjoon. “Aku mau mandi dulu, bye.” Ucap Seokjin yang kemudian berdiri lalu berjalan ke dalam kamar Namjoon.

“Ga mau mandi berdua aku?’

“Ga!” Ucap Seokjin sebelum menutup pintu kamar, membuat Namjoon tertawa keras di ruang tengah.

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “Sugar, Baby – 8”
Beranda
Cari
Bayar
Order