The Concubine – Chapter 14

Author: A Little Bits of Everything

Heechul merogoh bawah tengkuknya, ia meraih sesuatu dari sana. Benda bertali, dengan ujung yang keras.

Heechul membawa benda itu ke depan wajahnya, dan alangkah terkejutnya ia saat menyadari benda itu…

Kalung mate.

Berantai emas, dengan bandul Turmalin ungu yang tidak begitu berkilau –berbeda dengan permata Mate pada umumnya, bandul ini tidak lagi indah, begitu redup…

Kalung ini mengingatkan Heechul pada wajah seorang wanita yang berada di ujung nyawa.

Benar. Tentu saja Heechul mengenali benda ini. Kalung yang ikut meredup bersamaan dengan wafatnya Ratu Hera tiga puluh tahun yang lalu.

Heechul tersenyum sinis. Benda kesayangan Zeus ini tampak begitu menggelikan di matanya. Kalung Mate yang sudah mati. Apa lagi guna benda ini saat kekuatannya ikut lenyap bersama kematian Ratu Hera?? Hanya menunggu untuk dibuang dan dihancurkan. Sampah.

“Dan sampah bukan untuk disimpan,”  pikir Heechul dalam hati. Ia sudah mengangkat tangannya tinggi-tinggi, bermaksud melempar benda itu keluar jendela saat bersamaan terdengar suara berderit, dan pintu terbuka dari luar.

Heechul bangun dan duduk di pinggir tempat tidur –tidak begitu mempedulikan riasan rambutnya yang sedikit berantakan. Ia refleks menggulung dan menyembunyikan kalung itu ke dalam genggamannya.

Sesuai dugaannya, karena tidak mungkin ada orang lain yang begitu lancang masuk ke kamar Raja, Zeus lah yang muncul dari balik pintu.

“Ada apa?” Heechul bertanya penasaran. Namun Zeus tidak menghiraukannya.

Raja bertubuh besar itu melangkah dengan tatapan menyusuri lantai. Wajahnya mengerut gelisah. Ia memeriksa setiap perabotan mewah yang berdiri rapi di sepanjang dinding kamar. Siapapun yang melihatnya, pasti tahu kalau Zeus tengah mencari sesuatu.

“Mencari apa?” Heechul bertanya lagi, ia menahan suaranya agar terdengar lembut dan pelan. Namun sekali lagi, Zeus tidak menjawab. Ia hanya berbalik sebentar untuk melirik Heechul, lalu segera kembali pada kesibukannya –mencari sesuatu.

Jujur, Heechul tidak suka diabaikan seperti itu. Tapi karena ini adalah Zeus, Heechul  menahan amarahnya dan hanya memaki dalam hati.

Heechul tersenyum sinis. Tentu ia tahu kalau benda yang tengah dicari Zeus ada di dalam genggamannya. Namun karena kesal, Heechul membiarkan Zeus kelimpungan mencari benda itu. Bahkan terbesit dalam hatinya niatan untuk menyembunyikan dan membuangnya nanti. Sungguh, seorang Afrodit tidak akan segan-segan melakukannya. Tapi sayang, Zeus berhasil menyadari keberadaan benda itu karena bandulnya yang besar menyembul keluar dari genggaman Heechul.

“Ermh!” Zeus berdehem pelan. Melihat kalung mendiang istrinya ada di tangan Afrodit membuatnya menghela nafas lega. Setidaknya benda itu tidak hilang. Meski dengan menyerahkannya ke tangan Afrodit juga tidak lebih baik dari menghilang.

Ekspresi Zeus mengendur saat ia mengulurkan tangannya pada Sang Permaisuri, dengan wajah yang dibuat selembut mungkin ia berkata, “Terimakasih. Aku mencarinya sejak tadi…” Zeus memasang senyum hambar, dengan tangan terjulur –mengisyaratkan pada Afrodit untuk menyerahkan kalung itu padanya. “Boleh kuambil sekarang?”

“Tidak.” Heechul menjawab tegas. Dengan wajah mendongkak, berusaha tenang di antara perasaan yang bergemuruh dan dorongan untuk memberontak. “Untuk apa lagi menyimpan benda mati ini? Sikap lembekmu itu pasti karena benda ini!”

Urat di kening Zeus berkedut spontan mendengarnya. “Heechul…” lirihnya memperingatkan.

“Aku akan menghancurkan benda ini demi kebaikanmu, Kangin!” Heechul sendiri tidak tahu darimana datangnya keberanian untuk mengatakan hal itu di depan Kangin, di depan Raja Methuselah –Zeus.

“Berikan benda itu padaku, Heechul!” Zeus menekan suaranya, dan kali ini, Heechul lah yang mengabaikannya.

Heechul berdiri, mengambil ancang-ancang untuk melangkah meninggalkan kamar. Namun belum dua langkah dipijaknya dan –

BRUGH!!

Zeus menghambur kasar ke arahnya. Mendorong tubuhnya kembali ke tempat tidur lalu menimpanya sambil menahan kedua tangan Heechul di atas kepala. “Berikan kalung itu padaku, Heechul!” desis Kangin agresif, sambil berusaha menarik rantai kalungnya dari genggaman Heechul.

“Tidak!” balas Heechul tegas. Dikatupnya kalung itu makin erat. “Tidak akan.”

Hening. Dua orang yang sama keras kepala itu berakhir dengan saling melempar pandangan dingin. Masih dalam posisi tidak lazim, mereka berperang lewat pandangan mata yang saling berselisih.

Kangin mengeram dalam hati. Nafasnya memburu mengingat Heechul masih menolak mengembalikan kalung Hera padanya. Marah. Wajahnya memerah. Tapi bagaimanapun keadaannya, ia tidak bisa melukai wanita cantik yang ada di bawahnya ini.

‘Raja dan ratu tidak seharusnya bergelut sengit seperti ini.’

 

Kalimat itu seolah mengingatkan Kangin untuk menahan diri, sekaligus menyadarkannya pada hal lain.

Kangin menyeringai.

‘Benar. Raja dan ratu tidak seharusnya berkelahi. Tapi Raja bisa melakukan ini…’

Dengan cepat, Kangin mengangkat tangannya ke atas dada Heechul lalu menyambar bibir wanita itu –kasar. Tangan kekarnya bergerak cerdik, merogoh dan meremas dada ranum milik Afrodit –membuat wanita di bawahnya gemetar shock.

Tidak sampai disitu, Kangin mengulum paksa bibir Heechul. Satu tangan masih sibuk di atas dada Heechul, dan satu tangan yang lain mulai menyelinap masuk ke balik gaun mewah yang dikenakan Heechul.

Masih setengah shock, Heechul berusaha melepas tautan bibir mereka. Meski gagal, karena Kangin sudah jauh mendominasi dan perbandingan kekuatan mereka membuat perlawanan Heechul berakhir percuma.

Karena gemetar, katupan kedua tangan Heechul mengendur. Tak ayal, Kangin mengambil kesempatan ini. Ia merebut kalung itu dengan mudah. Setelah kalung berbandul ungu itu berpindah ke tangannya, Kangin menyingkir dari Heechul seolah wanita cantik itu adalah benda yang benar-benar tidak berharga baginya.

“Ganti gaunmu,” Kangin berkata datar. Ia membenahi pakaiannya dan berdiri membelakangi Heechul. “Orang-orang pasti sudah menunggu kita di meja makan.”

Setelah mengatakan itu, Kangin memasang raut tanpa ekspresi seolah-olah tidak ada yang salah dari apa yang baru saja dilakukannya.

Kangin melangkah keluar kamar, meninggalkan Heechul yang masih tersendat oleh nafasnya sendiri sambil tercenung memandangi langit-langit kamar.

oOoOoOoOo

Kalau dibandingkan, keadaan kota besar Methuselah dan distrik kumuh kaum Terran SANGAT, SANGAT, SANGATLAH berbeda. Di kota, kebersihan lingkungan sangat terjaga dan jalan-jalan tanah hanya ada di taman. Tapi disini…

Jalan tanah yang becek, rumah-rumah dibangun tidak beraturan, jarak rumah satu dengan yang lainnya saling merenggang dan kebanyakan dipisahkan oleh kebun-kebun atau sawah. Sungguh pemandangan yang sangat kumuh!

Kalau bukan karena perintah ayahnya, sungguh, Minho lebih memilih menemani Hades bermain sambil membaca buku-buku baru yang belum disentuhnya sama sekali. Meski terkadang permainan-permainan yang dibuat Pangeran Hades membuatnya bergidig ngeri dan harus berpikir dua kali sebelum menuruti permintaan Pangeran Sadis itu, tapi tetap saja, pekerjaan seperti ini tidak lebih menyenangkan dari menemani Hades.

Terik matahari juga makin memperburuk tugasnya kali ini. Ditambah lagi, ia (diharuskan ) memakai seragam prajurit yang kasar dan berat sebagai penyamaran. Aish, panas selalu memancing rasa malas!

Minho mengusap keringat di keningnya dengan gerakan rapi. Sekali lagi, kalau bukan untuk ayahnya, Minho akan menolak mentah-mentah tugas macam ini lain kali.

–Meski sebenarnya, kalau diminta untuk mengerjakan tugas yang lebih tidak menyenangkan dari ini, belum tentu Minho akan benar-benar menolak. Karena sebagai pemuda Meth penerus 7 Mentri Besar Methuselah yang prefeksionis, Minho tidak akan mengutarakan keluh kesahnya sedikitpun. Ia memang sering mengeluh –hanya dalam hati sih. Mungkin keluhan-keluhan diatas hanya akan mengendap di dadanya, lalu menghilang perlahan-lahan.

Sudah setengah hari Minho berdiri disini, bersandar di pohon oak besar sambil mengawasi satu rumah yang diyakininya sebagai rumah Jaejoong. Tidak sulit juga menemukan rumah Terran ini, karena sepertinya banyak prajurit bawah yang mengenal nama Jaejoong.

Dari jarak 10 meter –dipisahkan oleh petak-petak kecil kebun sayur, Minho mengawasi rumah sederhana itu tanpa lengah sedikitpun. Benar, ia tidak menyukai pekerjaan ini, tapi sekali lagi sebagai seorang Choi Minho, semua pekerjaan yang diserahkan padanya harus terselesaikan dengan sempurna.

Sekarang ia hanya perlu memastikan dan mencari tahu siapa itu Jaejoong. Kalau ayahnya sampai memberi tugas secara langsung seperti ini, berarti siapapun dia pemuda bernama Jaejoong… bukanlah Terran sembarangan.

“Taeminnie, aku pergi dulu! Jangan nakal, oke?”

Bersamaan dengan suara itu, Minho bergerak gesit, bersembunyi di balik batang besar pohon Oak sambil mengintip hati-hati ke arah dua orang pemuda yang baru saja keluar.

“Oke, hyung! Jangan lupa apelku!” sahut seseorang dari dalam. Suara melengking tinggi itu membuat otak Minho berputar otomatis, memperkirakan usia pemuda yang masih ada di dalam rumah. Kalau dalam rotasi usia Terran, mungkin usianya sekitar 14 atau 15 tahun. Dan dari nama yang disebut dua pemuda yang baru keluar tadi… ‘Taeminnie…’    jelas orang di dalam rumah itu bukan Jaejoong.

Minho melirik sekali lagi, dua pemuda tadi sudah lenyap dari pandangannya.

‘Cepat sekali…’ pikir Minho heran. Mungkin mereka sudah pergi. Aish, padahal ia belum memastikan lebih jauh. Dua pemuda berperawakan sedang tadi… keduanya berambut coklat. Hanya itu yang sempat ditangkap Minho tadi. Mungkin saja, diantara keduanya ada Jaejoong kan? Ditambah satu orang bocah eksentrik berambut merah yang sudah keluar sejak tadi, rumah itu dihuni lima orang pemuda. Ini baru perkiraan awal, karena belum tentu hanya mereka berempat yang tinggal disana dan belum tentu mereka satu keluarga. Setidaknya Minho harus tahu jumlah penghuni rumah ini di hari pertamanya menyelidiki pemuda bernama Jaejoong itu. Sepertinya besok ia harus datang pagi-pagi untuk memastikan, kalau-kalau ada salah satu dari penghuni rumah itu yang pergi sejak pagi.

“Ugh…” lenguh Minho lelah. Ia memijit tengkuknya yang terasa keram. Mungkin sebaiknya ia pulang sekarang dan kembali lagi besok pagi. Setelah senja, suasana distrik-distrik kumuh ini akan sangat gelap. Ia bisa dicurigai kalau seseorang menemukannya berjalan di wilayah ini malam-malam.

Setelah mengawasi rumah itu untuk yang terakhir kalinya, Minho berbalik, bermaksud meninggalkan tempat itu bersamaan dengan sebongkah kayu besar melayang ke arahnya.

BUGH!!

Tidak sempat menghindar, akhirnya kayu itu menghantam bahu Minho. Membuatnya tergopoh-gopoh mundur sambil meringis kesakitan. Pukulan demi pukulan lain datang bertubi-tubi, tidak memberi kesempatan bagi Minho untuk bangkit.

Minho meringkuk sambil melindungi kepalanya, membiarkan hantaman demi hantaman kayu itu menyerang tangan dan punggungnya. Sakit memang, tapi dengan pukulan remeh macam itu tidak akan menjatuhkan seorang Meth dengan mudah.

“Pukul terus, hyung!” seru satu suara nyaring.

“Aish! Kenapa tidak pingsan juga sih??” seru suara yang lain frustasi.

“Dia Meth, hyung bodoh!!”

Minho mengeram emosi –tidak tahan mendengar ocehan dua Terran yang tengah memukulnya semena-mena. “HENTIKAN!!” Minho berteriak kalap. Ia merebut kayu itu lalu melemparnya jauh-jauh. Sambil mati-matian menahan nyeri di punggung dan tangannya, Minho berdiri dengan ekspresi gagah, bermaksud menakut-nakuti dua Terran muda yang begitu lancang menganiaya bangsawan seperti dirinya.

“Kalian!” Minho melotot sambil menunjuk-nunjuk wajah Terran-Terran muda itu. Mereka lumayan cantik… Minho nyaris tertawa senang melihat keduanya mundur ketakutan. Tampak jelas gurat ketakutan di wajah keduanya, meski salah satu dari dua Terran bermata coklat itu masih berani membalas tatapannya dengan wajah angkuh.

“Kalian benar-benar cari mati ya!” desis Minho lagi, ia menangkat tangannya –berpura-pura akan memukul.

Seiring dengan Minho mengangkat tangannya tinggi-tinggi, dua pemuda Terran itu spontan memejamkan mata mereka –bersiap menerima pukulan yang sebenarnya tidak akan pernah datang, namun tetap membuat seseorang di kejauhan melotot ketakutan.

“HYUNG-AH!!”

Suara nyaring itu menyela menyela konsentrasi Minho. Dua pemuda Terran itu pun sama-sama terkejut.

Dari kejauhan, seorang remaja Terran berlari mendekat, panik dan takut bercampur di wajahnya. “Jangan pukul kakakku, tuan prajurit!” katanya sambil bersimpuh dan mengatup kedua tangan di depan Minho.

Dari jarak sedekat ini, Minho bisa mencium aroma wangi menguar dari pemuda itu –rasanya kepalanya agak berkunang-kunang setelah itu. Dan dari jarak sedekat ini pula, Minho bisa melihat wajah pemuda itu dengan jelas, sangat jelas sampai membuatnya tercekat.

Manis. Cantik sekali. Garis wajah feminim, hidung bangir yang mungil, mata lentik, dan bibir ranum yang memikat. Minho menghela nafas, tanpa sadar terus memandang kagum pemuda cantik itu tanpa berkedip.

“Maaf-maaf! Apa tanganmu sakit?” seloroh pemuda itu dengan nada –terlalu- khawatir.

Minho makin melongo saat Terran muda itu mengusap tangannya penuh perhatian.

“Aku punya obatnya, minumlah agar luka ini tidak sakit lagi!” tawar pemuda itu lagi –ekspresi wajahnya sangat baik hati. Dengan senyum dan ekspresi bersalah, pemuda itu menyodorkan botol minum kecil pada Minho.

Kehilangan konsentrasi, Minho hanya memandangi botol itu bingung –sedikitpun tidak merasa curiga. Apalagi saat ia kembali menatap wajah cantik yang menghanyutkan ini, makin lenyaplah kewarasan Minho saat itu juga.

“Aku merasa bersalah sekali. Ini sebagai tanda maafku…”

–suara yang lembut sekali, hampir-hampir Minho melayang ditiup angin karena hembus merdu suara tadi.

Pemuda cantik yang sampai sekarang tidak bernama itu kembali menawarkan botolnya. Sedikit memberanikan diri, ia maju menyodorkan botol yang telah terbuka itu pada Minho. “Kumohon minumlah…” pintanya setengah mendesak –tapi sayang Minho tidak menyadari nada paksaan dalam suara pemuda cantik  ini, tidak juga menyadari kalau wewangian yang tercium olehnya tadi adalah sumber dari segala sumber ketidakwarasannya kini.

“Kau tidak mau menerima permintaan maafku, ya?” tanya pemuda manis itu dengan raut sedih. Aneh, wajah Minho ikut-ikutan mengerut melihatnya. Rasanya ia tidak ingin melihat ekspresi sedih itu ada di sana. Ia tidak ingin membuat pemuda cantik ini bersedih, karena itu Minho menerima botol minum itu dan perlahan mengarahkan bibir botol ke mulutnya sendiri –masih sambil memandangi paras cantik pemuda di hadapannya, diteguknya air dari dalam botol itu perlahan-lahan. Ia bahkan mengabaikan rasa aneh yang dikecapnya. Hanya ada pemuda manis ini dalam otaknya.

Minho menegak tetes terakhir airnya, lalu bersamaan dengan itu keadaan di sekelilingnya seolah berputar. Minho mengernyit, kepalanya nyeri dan pandangannya berkunang-kunang.

“Arh…” Minho memegangi kepalanya sambil memandangi botol kosong yang ada di tangannya –sempat merasa curiga. Tapi belum sempat ia melirik kembali pemuda manis itu, tubuhnya terasa makin memberat dan—

BRUGH!

Tiga pemuda Terran bermata coklat itu menatap horror tubuh Minho yang terbanting ke atas tanah. Dua orang tercekat karena khawatir mereka sudah membunuh seorang prajurit Meth, sedang yang lain malah pusing memikirkan bagaimana caranya membawa tubuh besar Minho ke dalam rumah.

“Oh, Tuhan. Jangan bilang kau meracuninya, Taemin!”

“Tidak, hyung! Itu cuma air kecubung!”

“Hih, kau memakai parfum Jae-hyung, kan! Dasar!”

oOoOoOoOo

“Aku tidak mau, Tae…” Sungmin merengut, berusaha melepas kembali kaitan-kaitan kancing yang sudah dipasang rapi oleh Taeyeon.

“Jangan begini Selir Agung, kalau Tuan Ares marah bagaimana??” ucap Taeyeon tidak mau kalah, ia kembali mengaitkan kancing-kancing itu sambil sesekali menepis tangan Sungmin yang berusaha melepasnya lagi.

“Sudah kubilang panggil Sungmin!” Sungmin melotot kesal.

“Ah-haha, mianhae Sungmin.” Taeyeon terkikik geli –sesekali melirik wajah Sungmin yang dilipat dengan aura kusam. Seperti dirinya, siapapun yang melihat pemuda Terran ini merengut pasti tidak akan mampu menahan senyum.

“Jangan dilepas lagi, Sungmin,” tegur Taeyeon sambil merapikan tempat tidur Sungmin, sebelum Sungmin sempat mencuri-curi kesempatan untuk melepas kancing pakaiannya saat Taeyeon tidak melihat.

“Bagaimana kalau kau saja yang makan dengan keluarga kerajaan hari ini?” seloroh Sungmin polos.

Taeyeon tidak menjawab –karena dijawab pun percuma, Sungmin terlalu inosen untuk diajak berdebat tentang hal tidak penting seperti itu. Gadis pelayan itu hanya balas memandang Sungmin dengan wajah heran.

“Jangan acak-acak rambutmu, nanti Tuan Ares marah…” tegur Taeyeon untuk yang kesekian kalinya.

“Aish!” Sungmin menghentakkan kakinya sebal. Taeyeon hanya tersenyum, tidak ingin menanggapi Sungmin.

“Kenapa selalu Ares sih??”

“Karena kau selirnya, tentu saja,” sela suara lain.

Sungmin berpaling ke arah pintu, masih dengan wajah lenguh yang makin mengeruh saat menyadari siapa yang baru saja menyela obrolannya dengan Taeyeon.

“Kau sudah siap belum Sungminnnieminmin?” Eros berdiri di depan pintu, dengan cengiran khas dan lirikan genitnya. “Pangeran tampan sudah datang menjemputmu, harusnya kau sudah siap sejak tadi!”

“Max, kata Ares ‘Jangan ganggu Sungmin!’” Az yang duduk di atas bahu Eros mulai menarik-narik rambut pangeran bermata Hazel itu, bermaksud membuat Eros sebal. “Aku hanya mengingatkan, hehe.”

“Aish! Sudah diam, Az!”

“Sungmin sudah siap, Tuan…” Taeyeon merapikan rambut Sungmin untuk yang terakhir kalinya, sebelum menggiring Sungmin ke hadapan Eros sambil membungkuk sopan.

Melihat seorang gadis cantik membungkuk di hadapannya, mata Eros membulat otomatis. Jiwa perayu yang memang sudah merekat erat padanya muncul secara otomatis. “Wah, apa kau kakak Sungminnieminmin?” tanyanya dengan tampang pura-pura bodoh. Tentu saja ia tahu kalau Taeyeon bukan saudara Sungmin. Tapi hei, ini hanya untuk kepentingan merayu!

Kening Taeyeon mengernyit –bingung. Pelayan cantik itu menggeleng sopan lalu menunduk. “Bukan, Tuan,” jawabnya lembut.

“Benarkah?? Kau bukan kakak Sungminnieminmin??” ungkap Eros pura-pura terkejut. “Tapi kalian mirip sekali. Mirip cantiknya, hehe…”

Setelah menggombal seperti itu, Eros sukses menerima tempelengan sepenuh hati dari Az tepat di kepalanya.

Taeyeon dan Sungmin sama-sama menunduk, wajah mereka merona merah. Dengan sopan Taeyeon membungkuk di depan Eros, lalu cepat-cepat berlalu keluar kamar.

“Kenapa buru-buru sekali, sih?” Eros memandangi Taeyeon yang menghilang keluar kamar dengan wajah kecewa.

“Dia takut padamu. Eros menyeramkan seperti setan! Hihi!” gelak Az penuh hinaan.

“Diam, Az. Nanti kulempar kau ke kolam ikan, mau??” ancam Eros sambil berbisik-bisik.

“Coba saja! Kuadukan pada Elios, Ares, Athena, dan Zeus!”

Eros mendengus. Kenapa ia tidak bisa menang berdebat dengan bocah kecil ini sih!

“Aish, sudahlah! Ayo Sungminnieminmin!” Eros merangkul bahu lalu menggiring Sungmin keluar kamar.

Mereka hanya berjalan sebentar, karena Eros hanya mengantar Sungmin sampai ke taman istana. Dari kejauhan, Sungmin bisa melihat Ares berdiri di pintu masuk Istana Utama. Menantinya.

“Aku antar sampai sini saja ya, Sungminnieminmin!” Eros menyeringai lalu mendorong Sungmin mendekat pada Ares. Tidak bermaksud mencelakai Sungmin –karena Eros tahu, Ares pasti menangkap tubuh Sungmin dan melindungi Selir itu dengan sikap protektifnya. HAHA! Dia baik sekali kan! Membantu adiknya merebut hati Sungmin tanpa meminta imbalan apapun. Kapan lagi ada cupid yang setampan dirinya!

Eros terkikik puas lalu menjauh dari taman.

Setelah ini ia harus mengantarkan Az ke kamarnya dan ia harus segera kembali ke ruang makan. Aish. Merepotkan sekali.

Sambil berjalan, Eros bersenandung kecil. Ia tengah mencari siasat untuk mendekati pelayan cantik yang mengurus Sungmin. Hmmm…

“Max mesum, kau naksir perawat Taeng, kan?”

Changmin melotot mendengarnya. Ia mendengus. Pasti barusan bocah Methuselah ini membaca pikirannya.

“Aish! Anak kecil tahu apa!”

“Alaaah, mengaku saja lah!” desak Az lagi.

Changmin mengangkat tangannya ke atas, berusaha meraih pipi Az. Setelah berhasil menemukan pipi chubby gadis kecil itu, ia tertawa senang dan menyerang pipi malang itu tanpa ampun. “Kau ini cerewet sekali, hah! Hah! Hah!”

“Arrrhhh!! Jangan cubit pipiku Max mesum!!”

oOoOoOoOo

Sungmin melirik wajah Ares dari sudut matanya. Pangeran jangkung itu berjalan tegap, pandangannya lurus ke depan tanpa ekspresi –raut sama yang tidak berubah seperti saat pertama kali Sungmin bertemu dengannya di Karantina dulu. Kelam. Suram. Kontras sekali jika dibandingkan dengan Athena yang selalu tampak bersinar. Padahal mereka saudara kembar. Apa yang membuat Athena dan Ares tampak begitu bersimpangan??

Sungmin mengerjap, lalu buru-buru menunduk saat Ares berpaling menatapnya. Hampir saja pandangan mereka bertemu. Beruntung Sungmin buru-buru menunduk, ia tidak ingin bertukar pandang dengan Ares dan tatapannya yang menekan itu. Rasanya hanya dengan menatap ke dalam mata safir itu, mampu menambah beban yang sudah dipikul Sungmin.

Beberapa langkah mendekati pintu, Sungmin menahan nafasnya. Meski dalam hati enggan, mau tidak mau, Sungmin tetap menurut. Membiarkan Ares menggiringnya menuju meja makan dengan langkah yang lumayan –pengertian.

Ares tidak suka ditentang, Sungmin sudah mengenal betul tabiat itu. Karena itu Sungmin belajar untuk mengalah, setiap kali Pangeran Bermata Biru itu memerintahkan sesuatu padanya –Sungmin akan menurut, setidaknya hanya saat Kyuhyun melihat.

“Pelan-pelan, hati-hati—“

Sungmin mengerjap, lalu mendongkak menatap Kyuhyun. Ia yakin sekali mendengar seseorang mengatakan ‘hati-hati’ padanya, samar, seperti berbisik-bisik. Ia memperhatikan wajah Kyuhyun, memastikan kalau yang bicara barusan adalah pemuda Meth ini. Tapi sepertinya tidak. Kyuhyun masih menatap ke depan dan wajahnya tidak menandakan kalau ia baru saja bicara.

Apa barusan ia berhalusinasi lagi?

Sungmin memejamkan matanya lalu menggeleng pelan, berusaha mengusir rasa gusar yang memenuhi dadanya. Akhir-akhir ini ia sering mengalaminya, seperti ada seseorang yang berbisik di belakang telinganya. Begitu dekat. Dan suara itu begitu familiar. Tapi entah siapa dan entah dimana ia pernah mendengarnya.

“Duduk, Sungmin…”

Kali ini Sungmin yakin kalau Ares yang bicara padanya. Setelah mendengar perintah itu, Sungmin bertopang pada punggung kursi di hadapannya lalu menggiring dirinya sendiri untuk duduk disana. Tidak sedikitpun Sungmin berani mendongkak, karena ia yakin semua mata sedang tertuju ke arahnya. Menekan dan mencibir dengan tatapan mereka. Sungmin sudah pernah mengalaminya dua kali, dua kali terakhir saat ia duduk bersama Meth-Meth bangsawan ini.

Duduk disini sambil menundukkan kepala, Sungmin hanya bisa memperkirakan keadaan sekitarnya. Kyuhyun duduk begitu dekat, di sisi kirinya. Lalu, hanya dengan melirik ke bawah dan menemukan juntaian gaun biru menyapu lantai, Sungmin bisa memperkirakan kalau seseorang yang duduk di sisi kanannya adalah Soehyun –kandidat permaisuri Kyuhyun.

Cukup dua kali makan di meja ini, Sungmin bisa mengingatnya. Meja yang luas ini –dulu, dikhususkan hanya untuk Raja, Ratu, Pangeran-Pangeran, kandidat-kandidat istri Pangeran, Mentri-Mentri, dan beberapa bangsawan yang masih kerabat Raja. Umumnya mereka duduk berpasang-pasangan. Zeus duduk di kursi utama dan disisinya duduk manis Ratu Afrodit, disusul para Mentri, dan diikuti para Pangeran yang duduk bersebelahan dengan tunangan mereka. Semua pangeran duduk bersandingan dengan gadis Meth cantik. Semua. Kecuali Kyuhyun.

Karena sejak dua kali terakhir, kursi Putri Soehyun sudah berpindah menjadi milik Sungmin.

Sungmin bisa mengerti kalau putri yang duduk di sisi kanannya ini berhasrat untuk memaki atau menyakitinya. Gadis ini pasti sangat membencinya. Ia bisa mengerti alasannya.

“Ahem!”

Mendengar suara deheman yang akrab di telinganya itu, Sungmin memberanikan diri untuk mendongkak. Sungmin tidak perlu mencari kemana-mana, karena orang itu duduk tepat di hadapannya.

Sungmin tersenyum. Tidak bermaksud berlebihan, tapi hati rasanya berbunga-bunga, melihat orang yang kita cintai duduk berhadapan seperti ini setelah hampir seminggu tidak saling menatap wajah dan mendengar suara satu sama lain.

Athena duduk bersebrangan dengannya. Seolah berusaha mencari perhatian Sungmin, Meth tampan itu mulai membuat ekspresi-ekspresi aneh. Saat tidak ada yang memperhatikan, Athena mulai mengernyitkan kening, mendengus sambil menahan kerutan di hidung, lalu berkedip-kedip genit. Sungmin hampir tertawa terbahak-bahak —kalau saja ia tidak buru-buru mengatup mulutnya.

Sekali lagi, mereka saling berpandangan dan melempar senyum bahagia. Seperti dua pengantin yang tengah duduk di pelaminan, meskipun keadaan yang sebenarnya jauh berbanding terbalik dengan harapan mereka.

“Maafkan kami, sudah membuat kalian menunggu lama.” Suara itu menginterupsi komunikasi antara Athena dan Sungmin. Sungmin mendongkak, menyadari kalau Zeus baru saja datang.

Sungmin melirik Athena untuk yang terakhir kalinya, setelah melempar senyum,

“Sebaiknya kita mulai sekarang.”

Bersamaan dengan kalimat terakhir Zeus, pintu ruangan dari sisi yang lain terbuka. Dari sana, puluhan pelayan Terran keluar sambil membawa nampan-nampan berisi piring masing-masing anggota kerajaan. Dengan sopan dan gerakan penuh kehati-hatian, pasa pelayan meletakkan piring-piring mewah itu di hadapan masing-masing anggota kerajaan. Mereka bekerja dengan penuh kecermatan, karena sedikit kesalahan mungkin dapat membuat nyawa mereka melayang.

Selesai melaksanakan tugasnya, para pelayan itu keluar dari ruangan.

Zeus berdiri memimpin, diikuti semua orang yang turut berdiri lalu membungkuk sopan, lambang penghormatan untuk Raja dan Etika Mehuselah.

Sungmin hanya mengikuti gerakan mereka, lalu kembali duduk dengan hati-hati. Saat pertama kali makan di meja ini, banyak hal yang tidak ia ketahui dan membuatnya merasa canggung setengah mati. Tapi ia sudah banyak belajar sekarang –tentang etika dan kebiasaan kaum Methuselah.

Setelah duduk, semua orang membalik piring di hadapan mereka dengan gerakan anggun, seolah memamerkan sikap seorang bangsawan yang sesungguhnya pada satu-satunya Terran yang ikut duduk di ruangan ini.

Sungmin membalik piringnya hati-hati, berusaha meniru sikap Ares dan tidak menimbulkan suara sekecil apapun. Setelah itu, ia diam dan membiarkan Ares mengisi piringnya dengan makanan.

Saat pertama kali makan disini, Sungmin berusaha mengambil makanannya sendiri. Tapi karena tangannya terlalu pendek, ia terpaksa membiarkan Ares menolongnya –selalu, sampai saat ini.

Sungmin menelan ludah, berusaha meredam rasa gugupnya. Tanpa mendongkak pun ia tahu, beberapa mata tengah menatap benci dan iri ke arahnya. Tapi sekeras mungkin, Sungmin berusaha mengabaikannya. Ia mencoba fokus pada pisau dan garpu yang digenggamnya. Dengan penuh kehati-hatian, Sungmin memotong daging di atas piringnya. Ia baru akan menyuap potongan kecil daging itu saat sesuatu di dalam perutnya berputar lalu menendang.

Gerakan Sungmin tertahan. Ia tertegun sejenak.

Baru saja, bayi-Ares menendang.

Putaran kecil bayi itu sempat membuat Sungmin merenung. Tidak seperti biasanya, kali ini ada perasaan berdesir yang menyelinap setelah makhluk di dalam perutnya bergerak. Berbeda. Aneh. Tidak seperti biasanya. Entah kenapa tiba-tiba Sungmin merasa resah dan kehilangan nafsu makannya. Ia sempat mendongkak dan bertemu dengan pandangan khawatir Athena. Mungkin Athena membaca keresahan di wajahnya.

Sungmin tersenyum. Bermaksud mengatakan ‘Aku-baik-baik-saja’ pada Athena lewat matanya. Tapi Sungmin sendiri ragu, ia makin tidak yakin. Ia merasa ‘tidak baik-baik saja’. Sungmin bisa merasakan lewat dua tendangan lebih keras yang menyusul di sisi kanan perutnya. Rasanya lewat dua gerakan itu, perasaan gusar Sungmin makin menjadi-jadi. Tapi Sungmin berusaha menahannya, mengingat dimana ia berada sekarang ini.

“Kenapa?” tanya Kyuhyun berbisik dari sisi Sungmin.

Sungmin mendongkak, lalu menggeleng takut –salah mengira kilatan khawatir di mata Ares sebagai kilat amarah.

“Makan,” perintah Ares singkat. Sungmin menurut, meski enggan, ia melahap potongan daging di ujung garpu itu dan mulai mengunyahnya lamat-lamat.

Tidak buruk. Rasa daging ini enak. Rasanya tidak ada yang salah tapi Sungmin tidak mampu mengusir perasaan berdesir di dadanya.

Sungmin memotong lagi daging di atas piringnya dan melahap satu suapan lain. Ia baru akan mengulanginya untuk suapan yang ketiga, namun gerakannya terhenti.

Sungmin mengerjap karena pandangannya tiba-tiba memburam. Pusing. Ia sudah tidak mampu lagi menggenggam garpu dan pisau itu karena bersamaan dengan pandangan yang berkunang-kunang, dadanya ikut menyesak.

Sungmin mencengkeram kerah bajunya dan mulai terengah-engah. Rasanya sulit untuk bernapas.

“Min?”

Sungmin sudah tidak mampu membuka matanya. Ares yang mengguncang-guncang bahunya justru membuat tubuhnya terasa makin melemas.

“SUNGMIN!!”

Sungmin tidak mengingat apa-apa lagi setelah itu.

oOoOoOoOo

Minho bersandar lebih dekat, bermaksud mencari kehangatan lebih dari sosok di hadapannya. Dengan tangan kecilnya ia memeluk perut besar Nany-nya hati-hati. Diusapnya liang kehidupan itu dengan penuh perhatian. Minho kecil tengah berpikir keras sembari mengusap perut Nany-nya. Lalu ia mulai bergumam kecil.

“Apa dia ini baby Nany dan Ada?” tanyanya serius. Wajahnya benar-benar serius, tapi aneh, Nany malah tertawa lalu mencubit hidung mungilnya dengan ekspresi gemas.

“Bukan sayangku… Tapi karena dia berasal dari Nany yang sama dengan Minho-yah, dia akan jadi adikmu, arraseo?”

Minho menatap Nany-nya bingung. Keningnya mengerut, menunjukkan bahwa bocah kecil itu tengah berpikir keras. Sesaat kemudian, setelah otak kecilnya menelaah dan membenarkan penjelasan Nany-nya dengan logika sederhana –Minho mengangguk antusias.

“Minho-yah harus jadi kakak yang baik. Kelak saat besar nanti jaga adik untuk Nany, ne?”

Minho mengangguk lagi. Kali ini dengan senyum polos di wajahnya.                

Kelak ia akan mengajarkan adiknya cara berpedang, berkuda, berburu. Mengajaknya bermain dan melakukan hal-hal menyenangkan lainnya. Tapi ngomong-ngomong soal berpedang…

“Tapi bagaimana dengan latihanku? Nany tidak bisa mengajariku lagi, karena nanti adik bisa terluka, begitu kan?” 

Nany tersenyum. Dan Minho ikut tersenyum saat melihat senyum di wajah Nany-nya. Ia selalu menyukai senyum Nany. Begitu cantik… dan hangat.

“Sementara sampai adik lahir, Minho-yah berlatih dengan adik laki-laki Nany, oke? Jangan nakal pada Boo-hyung, arraseo?”

“Ah, ne!”

Tanpa membuka mata, Minho mengerutkan dahi, seolah itu akan mampu mengusir nyeri kepalanya. Suara lembut Nany-nya masih terngiang samar meski suasana sudah berubah gelap.

“Dia belum bangun juga ya?” lirih satu suara lembut. Minho menghembus nafasnya perlahan, menikmati sensasi dingin dari tangan lembut yang tengah mengusap keningnya.

“Bagaimana kalau dia mati karena air kecubung itu??” teriak seseorang dengan nada –sok panik, meski lebih terdengar seperti memanas-manasi.

“Ti-tidak mungkin, Henry bodoh!! Itu kan cuma saripati kecubung, bukan kotoran sapi!!”

Ditambah dengan suara cempreng itu, rasanya kepala Minho berdenyut makin nyeri.

“Memangnya kotoran sapi bisa membunuh Meth ya? Kalau begitu kita serang saja mereka dengan bom kotoran sapi!”

“Tolol!”

“Huee!! Hyung-ah!!”

Cukup. Suara-suara itu makin membuat kepala Minho berdenyut nyeri. Minho mengangkat tangannya lalu mulai memijat kepalanya lamat-lamat.

“Ah, dia sadar, hyung!”

“Hyukkie, ambilkan segelas teh”

“Apa perlu dicampur air kecubung lagi?”

“HYUNG!!”

“Haha, aku kan hanya bercanda Taeminnie~”

“Tidak lucu Hyung-ah!”

Minho berdecak kesal. Suara nyaring itu makin memperburuk nyeri di kepalanya. “Bisa diam tidak sih,” desisnya tanpa membuka mata.

“Cih, sudah sanggup bicara rupanya,” cibir satu suara yang terdengar berbeda –sepertinya sejak tadi tidak ikut bicara.

Minho mengernyit, ia memijat keningnya untuk yang terakhir kali sebelum perlahan membuka mata.

Hal pertama yang dilihat Minho adalah pemuda mungil yang tampak familiar berdiri tepat didepan ranjang tempat ia berbaring. Dari raut khawatir pemuda itu, Minho langsung mengenali wajah itu. Wajah pemuda yang memberinya air minum tadi –eh, bukan. Kalau ia tidak salah dengar tadi, apa namanya? Air kecubung?

Apapun itu, air itulah yang membuatnya tidak sadarkan diri dan jatuh lemas seperti ini.

Minho mengeram emosi. Lenyap sudah image pemuda manis-inosen-menawan yang sempat mengalihkan dunianya tadi.

“Wah, sepertinya Meth ini naksir Taeminnie ya? Atau jangan-jangan dia kemari mau melamar Taemin??”

Minho berpaling ke arah suara itu, tidak sempat menyaksikan wajah ‘Taeminnie’ yang merona heboh karena kalimat barusan. Seorang pemuda yang tidak kalah mungil berdiri agak jauh darinya. Dari ekspresi tengil dan suara tinggi yang mengganggu itu, Minho bisa menebak seberapa jahil pemuda Terran ini.

“Henli!!”

Ah, namanya Henli. Cocok sekali dengan image jahilnya. Alangkah tidak pantasnya melihat warna mata coklat yang umumnya dimiliki Terran feminim, terpasang di wajah jahil itu.

Minho memutar kepalanya, ia melirik ke belakang ‘Taeminnie’, di dekat jendela, tempat dua orang Terran lain berdiri. Yang satu tampak asing, dan yang satu lagi –familiar. Tentu saja Minho tidak akan semudah itu melupakan wajah angkuh Terran muda yang begitu berani menghajarnya dengan sebilah kayu. Alangkah lancangnya!

“Apa yang kau lihat, hah?!” sungut Terran itu menantang. Minho hanya menyeringai, setengah mencibir. Wajah Terran ini cantik –sebenarnya, sayang kecantikan itu agak berkurang karena raut galaknya.

“Key, sudahlah…” suara lembut itu terdengar sangat dekat, dari sisi kanan Minho. “Kau bukan prajurit, kan? Apa seseorang mengirimmu kemari?” tanya suara itu lagi. Nada lembut familiar itu memancing Minho untuk berpaling ke sisi kanan bahunya. Minho seperti pernah mendengar suara ini –familiar sekali, tapi entah dimana.

Mungkin karena Minho hanya diam, pemuda di sisinya itu bertanya lagi.

“Seseorang mengirimmu kemari?”

Minho mengerjap. Sejenak, ia tertegun. Entah karena pengaruh air kecubung itu masih tersisa, atau karena hal lain. Tapi sesuatu seolah memutar ulang memori-memori lamanya bersama Nana. Wajah cantik dan raut lembut pemuda di hadapannya ini seolah mengorek masa lalu yang bahkan Ada pun tidak berani mengungkitnya lagi.

Ia kenal wajah ini. Bukan hanya karena mirip dengan Nana, tapi juga karena ia benar-benar mengenalnya.

“Boo-hyung?”

oOoOoOoOo

TBC!

Ket :

Nana = Ibu

Ada = Ayah

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “The Concubine – Chapter 14”
Beranda
Cari
Bayar
Order