Sungmin mengerjap, nafasnya berhembus lambat. Ia merenung sebentar. Mungkin karena kesadarannya belum pulih sempurna, Sungmin tidak begitu menangkap maksud Kyuhyun dengan jelas.
“Aku akan membawa kakakkmu dan satu adikmu, Min… Asal kau mau tinggal di Istanaku…” ulang Kyuhyun sekali lagi. Ia mengangkat dagu Sungmin, berusaha membuat tatapan pemuda Terran itu fokus padanya. “Bagaimana? Kau ingin bertemu mereka, kan?” tawar Kyuhyun lagi. Wajah datarnya berhasil menutup sempurna perasaan menggebu-gebu dan nafsunya untuk menghasut Sungmin agar mau tinggal seistana dengannya. Seatap… Satu Istana dan satu kamar.
“Kau ingin bertemu adikmu, kan? Kau ingin bertemu dengan Henry? Taemin? Atau Ryeowook?”
Sukses. Nama terakhir berhasil membuat Sungmin balas menatap Kyuhyun dengan mata yang makin berkaca-kaca. Nama saudara tersayangnya itu menggema dalam kepala Sungmin, membuatnya meringis lagi karena kepalanya berdenyut makin intens. “Wookie… Wookie…” racau Sungmin di tengah isak. Pupil Sungmin bergerak-gerak tidak fokus, lalu remaja Terran itu kembali memberontak dalam pelukan Kyuhyun, antara berusaha menekan rasa sakit disekujur tubuhnya dan berusaha memanggil-manggil saudaranya. Ia ingin Ryeowook, ia ingin bertemu dengan adiknya. Adik kembarnya…
“Wookie-ah! Wookie-ah!” Sungmin menggerung dengan suara serak. Segenap tenaga ia curahkan untuk memanggil saudaranya. Kedua matanya yang lebam terpejam sempurna, menutup pengelihatan Sungmin sepenuhnya dari dua mata yang tengah memandangnya pedih.
“Kau setuju, Min…” Kyuhyun menganggap racauan Sungmin sebagai persetujuan. Bukti kalau Sungmin benar-benar ingin bertemu dengan saudaranya. “Kau setuju, aku akan membawa mereka kemari…” bisik Kyuhyun lembut, tubuh Sungmin melemas dalam pelukannya, dan ia tahu… Baru saja ia bicara pada Sungmin yang tidak sadarkan diri. Tapi tidak peduli… Karena Sungmin sudah menyetujuinya –secara tidak langsung.
“Sial,” umpat Kyuhyun pelan. Tiga kali suara ketukan itu cukup membuatnya tersadar dan buru-buru beranjak menjauhi Sungmin. Kyuhyun berjalan mundur, memberi jarak antara dirinya dengan Sungmin. Begitu pintu terbuka dari luar, Kyuhyun hanya bisa memandangi tubuh Selirnya yang tergolek lemas dengan ekspresi datar.
Hanya sepuluh menit, dan Zhoumi sudah kembali bersama seorang dokter. Kyuhyun mengawasi dokter itu dengan seksama, dan terkadang matanya membesar spontan saat dokter itu menyentuh Sungmin secara berlebihan –menurutnya.
Meski wajah Kyuhyun tidak menyiratkan ekpresi apapun, sebagai orang yang paling dekat dengan Kyuhyun, Zhoumi tahu kalau adiknya risih dengan tugas Dokter itu dan ingin terus berada disini. Karena itu, Zhoumi memutuskan untuk menghentikannya sekarang.
“Kyuhyun, ayo! Ada banyak pekerjaan untuk kita,” tegur Zhoumi pelan, takut Kyuhyun akan marah karena kegiatan ‘menatap-Sungmin’nya terganggu.
Kyuhyun mendengus samar. Tentu saja ia tahu ia punya banyak pekerjaan. Setumpuk laporan dari perbatasan timur dan barat, beberapa pertemuan, dan tugas untuk memeriksa pasukan di barak utara. Lihat, ia mengingatnya bukan? Tidak perlu diingatkan memang, hanya tanpa Kyuhyun sadari, sesaat saat ia memandangi Sungmin tadi, seluruh catatan pekerjaan itu seolah lenyap sementara dari ingatannya.
“Ayo, Kyu…”
Kyuhyun menatap wajah pucat Sungmin sekali lagi sebelum berbalik keluar kamar, diikuti Zhoumi yang melangkah dekat dibelakangnya.
“Aku mengalah, terserah padamu,” Zhoumi mendesah, ia melirik Kyuhyun dengan mata menyipit. “Tapi jangan ceroboh kali ini, Kyuhyun.”
“Tenang saja, hyung. Kita punya Apollo dan Eros, kenapa tidak kita manfaatkan, huh?” Kyuhyun tersenyum licik. Siasat-siasat jahat mulai tersusun rapi dalam otaknya. Hanya masalah sepele seperti ini… Ada banyak boneka yang bisa ia gerakkan dengan benang kasat mata.
“Apollo? Eros? Kita tidak mungkin meminta Yunho mendatangkan Jaejoong! Lebih-lebih Changmin!” Alis Zhoumi mengerut bertemu. Tidak mungkin mereka meminta bantuan Yunho atau Changmin, ini terlalu ceroboh. Yunho tidak akan menganggapnya sebagai kebetulan dan mungkin Yunho justru akan mencurigai mereka. Selama ini rencana sudah berjalan sempurna. Yunho yang tidak mengetahui rencana Zhoumi-Kyuhyun terus menjalankan rencananya sendiri. Tidak sadar kalau Zhoumi dan Kyuhyun mengintai gerak-geriknya setiap waktu. “Dan aku tidak yakin Jaejoong bersedia datang…”
“Aku tahu… Sudah kubilang, ada Apollo. Kita bisa membuat Jaejoong datang dengan sukarela.” Kyuhyun menyeringai. Dalam beberapa menit, siasat licik itu sudah tersusun sempurna dalam otaknya. Mereka hanya perlu memainkan peran sebaik mungkin.
Semua bisa dibuat seolah-olah ‘Tidak-disengaja’, kan?
oOoOoOo
Meth muda bertubuh tinggi itu melangkah gontai. Dengan wajah lelah ia melangkah memasuki pekarangan Istana kecil –hunian Menteri yang menjadi rumahnya. Beberapa pelayan yang berpapasan dengannya menyambut Minho sembari membungkuk sopan, meski Menteri muda itu mengabaikannya dan terus melangkah. Ia benar-benar lelah, secara fisik… dan batin. Yang diinginkan Minho sekarang adalah penjelasan –dari sang Ada.
“Ada?” Minho membuka pintu ruang kerja ayahnya. Seperti dugaan Minho, sang ayah ada di dalam, duduk dengan tumpukan pekerjaan di depannya.
Tidak perlu mendongkak, karena Hangeng sudah terlalu familiar dengan suara ini. Hangeng masih sibuk menulis sebelum bersuara, “Ada menugaskanmu untuk mengawasi. Kenapa tidak kembali sampai semalaman, anakku?”
Minho tersenyum getir mendengar pertanyaan itu. Jujur, ia ingin membentak-bentak ayahnya ini. Ia ingin meluapkan kemarahannya. Kecewa karena telah dibohongi selama bertahun-tahun. Kecewa karena sang Ada menyembunyikan kenyataan ini saat Minho berhak mengetahuinya. Kecewa saat ia harus mendengar semua kebenaran ini dari bibir orang lain.
Tapi tetap, Minho adalah Minho. Menteri penerus yang sejak kecil ditempa menjadi karakter seorang bangsawan yang bermoral. Rasanya tidak mungkin ia meneriaki ayahnya sendiri. Jauh lebih baik menyindir dengan halus.
“Aku menginap disana, Ada… Adik Nana tidak mengizinkanku pulang malam-malam.”
Tek!
Pena digenggaman tangan Hangeng berhenti menari. Menteri itu tertegun. Kata ‘adik-Nana’ yang terucap dari bibir Minho seperti menjadi tamparan telak baginya. Satu hentakan yang mengingatkannya pada memori-memori dan sebuah janji lama.
“Adik Nana? Kau menginap disana? Apa mereka membongkar semuanya?” Hangeng bertanya memastikan. Ia sadar kalau saat yang tepat adalah sekarang, sudah tidak ada gunanya lagi untuk menutup-nutupi.
“Entah seluruhnya, entah sebagian. Aku bahkan tidak tahu pihak mana lagi yang harus kupercaya…” Minho berujar lirih. Pemuda jangkung itu memejamkan matanya saat perasaan kecewa makin menelannya dalam-dalam. Kecewa dan bingung. Sekarang entah siapa yang harus ia percaya. Semua tampak seperti guratan cerita di dalam buku. Entah mana yang putih, dan mana yang hitam.
Hangeng memandang wajah putranya lalu mendesah sedih. Inilah saatnya Minho mengetahui kebenaran. “Duduklah, anakku. Kita bicarakan ini dengan kepala dingin.”
Sejenak, Minho hanya memandangi kursi kosong di depan meja kerja Ayahnya. Merasa ragu pada awalnya meski alih-alih ia tetap menarik kursi itu mundur, lalu duduk di sana. “Ne, Ada.”
“Pertama, apa saja yang sudah kau dengar dari Jaejoong?” Hangeng meletakkan penanya, ia duduk tegap menghadap putranya.
“Selir Pangeran Ares, Sungmin, adalah putra Nana. Adikku.”
“Hanya itu? Apa Jaejoong menceritakan tentang penyebab kematian Nany-mu?”
Minho tertegun, lalu menggeleng. Jaejoong tidak menceritakan lebih dari itu. Persoalan Sungmin yang ternyata saudara sekandungnya sudah cukup membuatnya bingung. Ditambah dengan hal-hal lain… “Bukankah Nana meninggal karena tubuhnya melemah pasca melahirkan Sungmin?”
Hangeng tersenyum sedih mendengar jawaban putranya. “Akan kuceritakan dari awal. Dengarkan baik-baik, anakku…
…benar tentang kesehatan Nany-mu yang melemah. Yuuri memaksakan diri untuk mengandung lagi saat ia tahu betul dirinya pernah menjadi inang dan tubuhnya tidak akan sanggup mengandung lagi. Tapi itu bukan penyebab utamannya. Ibumu…
…meninggal karena terbunuh saat pasukan Meth melancarkan penyerangan ke desa tempatnya tinggal.”
“Lalu kenapa Nana dibunuh? Kenapa desa mereka diserang?”
“Jawabannya sama dengan alasan kenapa Nany-mu memaksakan diri untuk mengandung lagi.” Hangeng menunduk, mengenang kembali masa-masa suram itu.
“Nany-mu dan adiknya membentuk kelompok pemberontak kerajaan. Ia mengumpulkan senjata tajam sampai senjata manusia, membentuk pasukan pemberontak yang akan menyerang dari depan, dan mengumpulkan bayi-bayi bermata coklat yang akan digunakan untuk merongrong kerajaan dari dalam. Rencana yang dilakukan bertahun-tahun dengan menguras darah dan airmata. Namun siapa yang menyangka saat Valar seolah merestui usaha mereka… Nany-mu melahirkan seorang bayi bermata hitam. Kau pasti tahu bagaimana perasaan mereka saat mengharapkan kehadiran bayi bermata coklat dan Valar justru mengkaruniai harapan yang jauh berlipat-lipat lewat kehadiran bayi bermata hitam itu. Akulah yang membantu Yuuri menyembunyikan putranya dari mata kerajaan. Meskipun pada akhirnya, entah bagaimana pihak raja bisa mengetahui tentang pemberontakan ini dan segera melancarkan pembasmian secara diam-diam. Entah siapa-siapa yang selamat saat insiden ini terjadi. Tapi sedikit yang Ada tahu, adik Nany-mu, Jaejoong menjalin hubungan khusus dengan Pangeran Sulung. Dan pasti Pangeran Sulung tidak akan membiarkan kekasihnya mati terbunuh. Ada yakin saat itu Jaejoong selamat dengan membawa adikmu. Semakin yakin lagi saat beberapa bulan yang lalu Pangeran Penerus membawa seorang pemuda bermata langka. Sungmin…”
“Karena itu juga Ada menyuruhku mengintai Jaejoong untuk memastikan?” Pertanyaan Minho dijawab dengan anggukan mantap dari Hangeng. Minho terdiam sebentar, berusaha mencerna penjelasan demi penjelasan ayahnya untuk membentuk satu kesimpulan. Kening Minho bertaut. Rasanya… ada sesuatu yang mengganjal.
“Dari mana Ada tahu kalau Jaejoong memiliki hubungan dengan Pangeran Apollo?”
Hangeng melirik putranya sekilas. “Kau tidak mengingatnya? Ada bahkan tahu kalau dulu kau sering memanggil Jaejoong dengan sebutan ‘Boo-hyung’.”
Eh? Minho terkesiap. Darimana Ada-nya tahu?
Minho menunduk, kejadian kemarin malam terlintas kembali di benaknya. Kenapa rasanya hanya ia yang paling tidak mengingatnya?
“Ada memberikan mereka tempat tinggal di sini. Hunian kecil nyaman sebagai rasa terimakasihku pada Yuuri yang telah melahirkanmu. Meskipun Yuuri dan Jaejoong lebih sering pulang ke desa mereka, tapi Ada sempat beberapa kali memergoki Pangeran Sulung dan Pangeran Eros berkunjung ke rumah kecil itu. Pangeran Apollo mengunjungi Jaejoong, dan Pangeran Eros mengunjungi ibumu.”
Minho mengerjap. Ingatan itu terasa makin jelas sekarang. Minho ingat betapa pangeran Eros sering berkunjung saat sang Nana tengah melatih dirinya dan Pangeran Bungsu.
Apa Pangeran Eros juga terlibat dalam masalah ini?
“Bagaimana? Sudah mengingatnya sekarang?” pertanyaan Hangeng membangunkan Minho dari lamunannya. Minho mengangguk cepat, meski ekspresinya masih sedikit ling-lung.
“Sekarang kau sudah tahu, anakku…” Hangeng menatap putranya dengan pandangan teduh. “Ada dua blok yang terus tumbuh di dalam Methuselah yang Agung ini. Yang pertama, blok pemberontak yang menginginkan keselarasan martabat. Dan yang kedua, blok Meth yang mempertahankan strata-kasta berdasarkan keturunan—” Hangeng memutus ucapannya, sejenak memberi jeda. Ia menghela nafas sebelum melanjutkan, “… dan aku berdiri di blok pemberontak.”
Minho tercekat. Antara marah dan tidak percaya. “Ada bermaksud membelot dari Methuselah yang Agung???”
Hangeng tersenyum sedih. Ia sudah tahu respon Minho akan seperti ini jadinya, namun tidak ada ketakutan sedikitpun. Itu hak Minho untuk berpihak atau menentang pendapat Hangeng. “Kau boleh menyebutnya begitu, anakku. Aku membelot demi keselarasan, membelot demi kedamaian yang tidak pernah dicapai di Methuselah ini. Aku membelot dari Raja, tapi aku tidak pernah mengkhianati Methuselah yang Agung…’
“Tidak mungkin! Ada terpengaruh dengan doktrin Terran!” Minho nyaris berteriak. Suaranya meninggi namun Minho berhasil menahan emosinya.
Hangeng menggeleng sedih. Bukan ia yang terdoktrin kaum Terran, justru putranya inilah yang terdoktrin pola pikir kaum Meth yang jelas-jelas salah. “Minho-yah, tidak pernahkah kau memikirkannya? Methuselah yang Agung adalah hukum yang mendewakan keturunan murni Methuselah. Itu adalah hukum atas nama Ratu Agung, hukum atas kaum Methuselah. Bukan kaum Meth, bukan kita…”
Minho tertohok atas kata-kata barusan, dan Hangeng memanfaatkannya sebelum Minho melempar protes lain. “Buka matamu, anakku. Kau tahu kenapa setiap inang yang melahirkan bayi Meth mengalami penurunan kesehatan? Kau pasti tahu tentang asupan wajib. Darah Methuselah murni yang dicampur paksa ke dalam perut para inang untuk membentuk kita, bayi-bayi Meth. Ini juga yang menyebabkan selir Putra Mahkota dipastikan mati pasca melahirkan. Inang raja mengalami proses asupan wajib yang lebih mengerikan dari inang biasa. Kalau saja percampuran darah ini dihentikan, dan bayi-bayi campuran dibiarkan lahir, tidak akan ada inang raja yang mati atau inang Meth yang melemah kesehatannya.”
Minho tercenung, tidak sanggup menyanggah ucapan ayahnya.
“Kau tahu apa intinya, Minho-yah?” Hangeng masih melanjutkan ucapannya. Meskipun Minho tampak termenung –shock, Hangeng tahu putranya masih mendengarkan dengan seksama. “Pada hakikatnya, wanita atau inang Terran lebih agung dari wanita Meth. Mereka mampu membawa bayi Meth di dalam tubuh mereka saat tidak satupun wanita dari kaum kita sanggup melakukannya. Bahkan seorang selir pada masa Orion yang dengan hebatnya mampu bertahan setelah melahirkan Pangeran, dibunuh diam-diam untuk menutupi kelemahan kaum kita. Pemberontakan mereka bukan wujud tidak tahu dirinya kaum Terran. Meth yang terlalu mementingkan ego, selama ratusan tahun kita berusaha menutupi fakta memalukan ini. Tidak berani membuka mata dan menerima kenyataan bahwa kaum kita sama rendahnya dan sama lemahnya dengan Terran jika dibandingkan dengan Methuselah yang Agung.”
Minho menggeleng lemah, penjelasan ayahnya tercerna dengan baik. Namun tetap saja ia merasa bingung, ling-lung. “Ada ingin aku memberontak dari Raja?”
“Itu terserah padamu,” Hangeng menjawab tenang. “Ada tidak memaksamu berada di pihak pemberontak. Tapi perlu kau tahu Minho-yah, Ada tetap akan membantu mereka. Janjiku pada ibumu belum terlunasi…”
oOoOoOo
“Hyung, nasinya matang…”
“Ne. Hyuk-ah, tolong matikan apinya!” perintah Jaejoong sembari menurunkan kuali berisi penuh nasi matang yang masih mengepul. Dengan telaten, Jaejoong menyiduk nasi itu sedikit demi sedikit lalu memisahkannya ke dalam wadah-wadah berbeda ukuran. Selesai mengurus nasi, Jaejoong beralih pada daging dan sayur-sayuran, disusunnya rapi potongan daging dan lauk-pauk itu ke dalam bekal. Terakhir, Jaejoong menyisikan beberapa potong roti yang dibungkus dan disatukan bersama nasi dan lauk-pauk tadi, siap diantar untuk adik-adiknya di ladang.
Jaejoong menepuk-nepuk tangannya, merasa puas pada hasil masakannya hari ini. Aroma wangi masakan yang menguar setidaknya meyakinkan Jaejoong kalau masakannya memang pantas dinikmati, dan masakan yang enak tentu akan menjadi makan siang terbaik untuk mengembalikan energi adik-adiknya. Ryeowook, Kibum, Taemin, dan Henry pasti sudah kelaparan sekarang. Mengingat ini, Jaejoong jadi ingin buru-buru mengantarkan makan siang ini untuk adik-adiknya.
Jaejoong baru akan menyuruh Eunhyuk untuk mengantar bekal-bekal itu ke ladang, saat bersamaan Kibum muncul di pintu dapur.
DEG.
Jaejoong dan Kibum sama-sama terkejut, tanpa sadar pandangan mereka terkunci. Kibum memandang Jaejoong dengan ekspresi kosong sedangkan Jaejoong balas memandang dengan wajah sendu.
“Kibum-ah…” Jaejoong berusaha menarik ujung bibirnya agar membentuk senyum, meski hatinya terasa berat. “Kau belum makan, kan? Ayo makan dulu!” ujarnya riang. Jaejoong bergerak gesit, memindahkan nasi dan lauk-pauk ke meja makan. Ia tengah berusaha menghilangkan kecanggungan yang menyeruak dengan mengabaikan tatapan menekan Kibum. Sesekali Jaejoong melempar senyum lembut ke arah Kibum, meski pada akhirnya ia akan buru-buru berpaling.
“Hyuk-ah, tolong antarkan ini ke ladang…” Jaejoong mendorong bekal yang sudah disiapkannya tadi ke arah Eunhyuk, dan langsung disambut dengan patuh oleh Eunhyuk.
“Oke, hyung!”
“Key, duduk dan makanlah dulu. Biar hyungmu yang menggantikan sebentar, ne?” tawar Jaejoong sembari tersenyum lembut. Jaejoong tahu kalau adiknya masih marah padanya. Bukan… Bukan marah tepatnya. Kibum lebih tampak…
Kecewa.
Sejak Jaejoong membongkar semuanya, Kibum mulai menjaga jarak dan lebih senang menyendiri. Hal itu semakin menyudutkan Jaejoong dengan perasaan bersalah yang makin menjadi-jadi. Jujur, ia merasa sakit hati karena beberapa hari terakhir ini Kibum benar-benar tidak menegurnya. Dan hari ini, jauh lebih terasa sakit lagi saat Kibum mengabaikan dirinya, di depan wajahnya sendiri.
“Hyukkie-hyung, biar aku yang mengantarkan bekal itu.” Kibum tersenyum hambar. Dapur sempit ini membuatnya tidak mungkin mengambil jalan lain, terpaksa Kibum melangkah melewati Jaejoong. Kibum mengambil bungkusan yang dibawa Eunhyuk, benar-benar mengabaikan Jaejoong dengan membawa bekal-bekal itu keluar dari pintu belakang. Tanpa pamit, tanpa senyum atau mengatakan apapun, Kibum meninggalkan Jaejoong yang hanya bisa memandanginya dengan ekspresi terluka.
“Hyung-ah,” Eunhyuk menepuk bahu Jaejoong, lalu tersenyum sedih, berusaha menghibur meski ia sendiri terluka melihat sikap Kibum tadi. “Key sudah dewasa, ia tahu mana yang benar dan salah untuk dijadikan jalan hidupnya. Tapi untuk sekarang… mungkin ia butuh waktu.”
Jaejoong mengangguk getir. Ia bukan sosok yang lemah. Selama puluhan tahun Jaejoong sanggup menanggung beban sebagai pemberontak kerajaan, lima belas tahun dihabiskannya untuk membesarkan bayi-bayi yang sekarang sudah dianggapnya seperti adik sendiri. Ia tidak takut terluka saat berhadapan dengan Meth, namun saat masalah berbalik seperti sekarang, saat ia harus menghadapi sikap dingin adiknya sendiri, perasaan Jaejoong remuk dengan mudahnya. Jaejoong mendongkak dengan mata berkaca-kaca.
“Terima kasih, Hyukkie-yah. Terima kasih sudah mengerti keadaan kita.”
.
.
.
.
Victoria mengerjap. Pandangannya mengabur. Ia bahkan tidak bisa memandang sekeliling ruangan dengan fokus, yang terlihat jelas dimatanya hanya kilau batu ditengah ruangan dan samar-samar sosok Az yang berdiri di depan batu itu. Bukan karena Victoria tidak terbiasa dengan ruangan temaram, bertahun-tahun menjadi ‘pengasuh’ pribadi Ratu Agung tentu melatih Victoria terbiasa tinggal di tempat-tempat redup seperti ini. Hanya… Rasanya sedikit aneh…
Victoria mengusap bekas gigitan kecil di lehernya. Sisa darah di sana sudah dibersihkan dengan hati-hati. Dan seperti biasanya, Victoria hanya perlu beristirahat untuk memulihkan energi. Biasanya hanya begitu. Lemas, lelah, dan sedikit nyeri di leher. Tapi apa yang dirasakannya sekarang kontras berbeda. Nyeri di leher dan lelah ini terasa sedikit… Berlebihan.
Victoria menyadarinya saat ia memandangi batu besar itu dari kejauhan.
Permata besar itu diletakkan di dalam bejana yang diisi dengan genangan darah segar, tampak begitu menawan dengan sebuah penyangga pendek berdiameter besar yang berdiri menopang kemegahannya. Dari jarak jauh, batu itu tampak seperti obor yang menyala dengan api kebiruan.
Kilau biru yang terpancar dari permata besar itu seolah menghipnotis, membuat Victoria tanpa sadar terus memandangi batu yang tergenang separuhnya di dalam kubangan darah itu dengan mata berkilat. Ada perasaan berdesir aneh saat Az mengizinkan Victoria melihat batu ini untuk yang pertama kalinya. Hasrat kuat untuk mendekat dan menyentuh permukaan permata yang terbentuk liar tidak beraturan ini.
“Batu yang indah. Apa aku orang pertama yang diizinkan untuk melihatnya?” Victoria bertanya, suaranya sedikit tercekat dan pandangannya tak lepas dari batu itu.
Az tersenyum, ia menunduk memandangi samar pantulan wajahnya. “Aku pernah menunjukkannya pada seorang pengasuhku yang lama. Lamaaa sekali…” Gadis Methuselah itu menarik bibirnya sambil berkaca di atas genangan darah itu. Senyumnya terpantul jelas, meski matanya tidak menyiratkan apapun selain kekosongan.
“Indah, ya? Kau menyukainya, kan?” pupil zamrud Az bergerak ke atas, mengintai ekspresi Victoria masih dengan kepala tertunduk. Respon yang diberikan Victoria diam-diam membuatnya merasa jijik. Ia benci sekali melihat ekspresi itu, ekspresi sama seperti yang diberikan pengasuh lamanya saat Az menunjukkan Batu Kehidupan ini pada mereka. Rasa jijik dan benci yang tidak mampu diredupkan meski Az tahu itu adalah respon alami yang muncul saat Meth, Terran, atau Vampire Biasa melihat permata ini. “Kau menyukainya… Kan?” pancing Az lagi.
“Suka…” jawab Victoria refleks, setengah berbisik. Matanya membulat saat jemari Az bergerak mengusap permukaan permata itu, membuat dadanya bergemuruh. Ia juga ingin melakukannya, ia ingin menyentuhnya… “Aku suka sekali… Boleh aku menyentuhnya?” Victoria bergerak mengubah posisi, bersiap-siap mendekat saat Az mengizinkannya. Namun sayang, jawaban yang diberikan Az tidak sesuai dengan keinginannya yang menggebu.
“Tidak boleh.” Az melarang tegas. Tatapan tajam yang ia lemparkan pada Victoria berhasil membuat gadis Meth itu mundur dan kembali pada posisinya semula. “Jangan pernah mencobanya, Victoria Song. Jangan dekati batu ini lebih dari dua meter. Kalau kau sampai melanggarnya, aku benar-benar tidak akan menyukainya…”
Victoria tercekat. Ia menunduk ketakutan saat pupil zamrud Az berkilat tajam ke arahnya. Tidak… Kalau kekuatan kilau permata tadi hampir membuatnya terhipnotis, maka kekuatan mata ini jauh lebih mengerikan. Victoria merasa seakan ada tekanan yang menghimpit dadanya, membuatnya tersadar siapa dirinya dan siapa orang yang ada di hadapannya ini.
“Aku tidak akan melakukannya,” Victoria membungkuk, tangannya gemetar. Kalau saja masih ada sisa tenaga, ia pasti sudah memaksakan diri turun dari singgasana ini untuk bersimpuh di lantai. “Maafkan kelancanganku, Yang Mulia Augusta.”
“VIC!!!”
“Y-ye, Yang Mulia?” Victoria memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya, sedikit terkejut bercampur senang saat ia melihat rengutan kecil di bibir Az.
“Sudah kubilang jangan panggil Yang Mulia, aish!” Az menghentak-hentakkan kakinya kesal. Ekspresi menakutkan tadi menghilang secepat kemunculannya. Az yang sekarang sudah kembali pada karakternya yang biasa. Manja dan kekanakan.
“Y-ye, Azhie. Mianhae.”
Az terkekeh senang. Sesekali ia mengibas-ngibaskan tangan kecilnya, mengisyaratkan pada Victoria untuk tidak memandangi batu itu terlalu lama.
Victoria berusaha untuk mengabaikannya, meski tetap sulit namun kali ini ia lebih bisa mengontrol diri agar tidak terlalu terbawa oleh pesona kemilau permata itu. Sesekali Victoria akan menunduk saat perasaan berdesir di dadanya kembali muncul, saat sedikit tenang ia akan kembali mendongkak.
Kali ini Victoria bertemu dengan pemandangan Az yang tengah mencelupkan kedua tangannya ke dalam kubangan darah di dalam bejana itu. Victoria memperhatikan tingkah Az meski tidak mengerti apa maksudnya.
Gadis kecil itu menangkup kedua tangannya, seolah berusaha menampung darah segar yang ada di bejana itu dengan tangannya. Lalu ia akan mengangkat tangannya ke pucuk permata dan mengguyurnya dari atas dan diulanginya hal itu beberapa kali. Az mengusapnya permata itu dengan gerakan pelan untuk meratakan semua lapisan yang belum tersentuh darah.
Suara kecipak tetesan darah mengisi kesunyian kamar Ratu Agung. Victoria menyaksikan tanpa berkedip, ada hasrat aneh yang memanggil-manggil di dalam batinnya saat ia menyaksikan ritual penting sang Ratu Agung yang entah apa maksudnya. Diperhatikannya tiap gerak-gerik tangan Az dengan seksama, terlebih saat tangan mungil itu mengangkat sebuah rantai kalung dan mencelupkan bandulnya beberapa kali ke dalam kubangan darah.
Victoria mengerjap. Ia baru menyadarinya, ada tiga rantai kalung yang menggantung di pinggir bejana. Ketiga rantai itu menggantung keluar, mengitari sang Permata besar yang berada di tengah-tengah. Victoria yakin sekali kalung itu memiliki bandul yang direndam di dalam genangan darah, ia melihatnya sendiri saat Az mengangkat salah satunya.
Az terus mengulangi gerakan mengangkat dan merendam, membuat tetes-tetes darah itu mengalir di ujung badul kalung yang meruncing. Meski Az melakukannya dengan gerakan cepat, Victoria masih sempat menangkap warna dan bentuk bandul kalung yang terasa begitu familiar…
Benda itu seperti kalung… Mate.
“Lihat Vic, indah kan?” Az mengangkat kalung berbandul safir itu tinggi-tinggi. “Biru safir, violet, dan turmalin ungu. Hehe…” Az menunjuk kalungnya satu persatu. Biru safir yang ada di genggamannya lalu violet dan turmalin ungu yang masih tergantung di pinggir bejana.
“Y-ye. Indah.” Victoria menjawab gugup, takut kali ini Az menyalahkan jawabannya lagi. Namun saat dilihatnya ekspresi Az masih ceria, Victoria jadi memberanikan diri untuk bertanya, “Rasanya kalung itu familiar… Apa itu kalung Mate?” tanyanya takut-takut.
Victoria bukan tidak pernah mendengar rahasia kerajaan tentang misteri kalung Mate. Kalung keramat yang diberkahi keajaiban sekaligus bencana. Kalung yang menurut cerita… Hanya Ratu Agung yang sanggup membuatnya. Victoria percaya itu, ia hanya tidak menyangka kalau proses pembuatan ‘Kalung Para Pangeran’ itu seperti ini…
“Ne~ Tapi ini masih ‘calon-kalung-mate’. Kalung ini belum sempurna~ Hehe.”
“Apa kalung itu pecahan dari permata yang besar?”
Kening Az mengerut mendengar pertanyaan ini. Bibirnya mengerucut maju. “Bukan,” sanggahnya ringan. “Ini berlian biasa yang direndam di dalam ‘darah rendaman’ Batu Kehidupan. Seperti itu saja cukup kok. Tidak perlu mencuil bagian dari Batu Kehidupan. Bisa bahaya kalau bandulnya kubuat dari potongan Batu ini. Nanti kaummu tidak bisa mengendalikan kekuatannya dengan baik, dan justru jadi bencana untuk kita semua…”
Victoria mendengarkan jawaban Az dengan kening mengernyit, tidak mengerti. Namun ia tidak berani bertanya lebih jauh. Jawaban yang ini saja tampaknya Az sedikit ogah-ogahan untuk menjelaskannya.
“Kau tidak bertanya untuk siapa kalung ini kubuat? Ayo tanyakan, dong!” Az merengut kesal. Permintaannya barusan membuat Victoria sedikit kebingungan meski alih-alih gadis Meth itu tetap menanyakannya.
“Y-ye, untuk siapa kalung itu dibuat Azhie?” tanya Victoria kaku. Meski tampaknya Az tidak peduli karena saat ini ia benar-benar ingin menyebut-nyebut nama Sungmin.
Gadis kecil itu terkikik senang. Ia sedikit berjinjit sambil mengayun-ayun kalung yang ada di tangannya dengan riang. “Untuk putra-putra Ares! Adik-adik yang ada di perut selir Min-min!”
“Adik-adik?” Victoria bertanya bingung. Tiga kalung untuk putra-putra Ares? Apa maksudnya…
“Neeeh~ Tiga kalung untuk tiga pangeran. Selir Min-Min pasti akan menyukainya kan, Vic? Iya, kan? Iya, kan?”
“Ya, Selir Sungmin pasti menyukainya. Azhie yang membuatnya sendiri, tidak mungkin dia tidak suka, kan?” ujar Victoria menghibur. Jujur ia sedikit terkejut saat Az mengatakan ‘Tiga Pangeran’. Ternyata Gadis Kecil ini sudah meramalkan kelahiran penerus Ares, termasuk jumlah dan jenis kelaminnya. Victoria bukan tidak mempercayai keakuratan ucapan sang Ratu Agung, hanya saja… Untuk ukuran seorang selir Putra Mahkota. Kembar tiga terdengar terlalu luar biasa dan…
Mengerikan.
“Kau tidak percaya padaku ya?”
“Eh?” Victoria mendongkak kaget.
Az merengut kesal. Dengan hati-hati diletakkannya kembali ketiga kalung itu di pinggir bejana, masih dengan bandul yang terendam ke dalam. “Kau tidak percaya kalau selir Min-min membawa tiga pangeran?” rengutnya manja. Az melangkah mendekati Victoria sambil menghentak-hentakkan kaki.
“Bukan begitu, Azhie…” Victoria mengangkat tangannya, menyambut Az yang dengan manja memanjat singgasana lalu duduk di pangkuannya. Az yang seperti ini selalu memancing sifat keibuan Victoria muncul dengan sendirinya, juga membuat Victoria sejenak melupakan identitas asli bocah kecil yang lama diasuhnya ini.
“Hanya saja. Tumben kau membuatnya secepat ini. Bukankah harus menunggu sampai Pangeran berulang-tahun ke-3, yang kuingat dulu Ares menerima kalungnya saat berusia tiga tahun…”
“Huh? Memangnya sejak kapan ada peraturan begitu?” Dua mata zamrud itu membulat imut. “Aku membuat kalung itu sejak bayi-bayi Putra Mahkota ada di dalam kandungan. Dan persoalan waktu untuk menyerahkannya… Itu terserah padaku, kok! Lagipula Elios juga menerima kalungnya sejak dalam kandungan!”
“Helios? Sejak dalam kandungan?” Victoria bertanya kaget.
“Uh-um.” Az mengangguk riang sambil memainkan kancing-kancing baju Victoria. “Aku suka selir Eun-Eun, dia baiiiik seperti selir Min-Min. Jadi kuberikan saja kalung itu cepat-cepat, hehe.”
Victoria tercenung.
Selir Eun-Eun yang sama menyenangkannya seperti Selir Min-Min.
Tidak butuh waktu lama bagi Victoria untuk mengerti maksud kalimat tadi. Eun-Eun yang dimaksud Az adalah selir Zeus yang menjadi inang Zhoumi. Tapi tanda tanya besar di sini… Kalau Az yang membuatkan kalung Mate Zhoumi, sama artinya Az sudah ada sejak sebelum Zhoumi dilahirkan. Lalu apa itu artinya…
“Ish! Sebal! Jangan tanyakan umurku, Vic!” Az menarik-narik gaun Victoria sambil berpura-pura menangis. Tapi ini sungguhan, ia paling benci saat seseorang berusaha mengungkit usianya. “Aku sebaya dengan Methuselah, puas huh???”
Victoria melongo mendengarnya. Tapi melihat Az yang berisik dengan gaya kekanakannya, Victoria tidak mampu menahan senyum. “Aku kan tidak bertanya, Azhie. Kau sendiri yang membaca pikiranku, iya kan?”
“Ish! Curang! Aku tidak sengaja mendengarnya!” Az melipat tangannya lalu mendengus kesal.
“Tetap saja, Azhie~~~”
“Aiiiiisssh!!! Sudah! Sudah! Berhenti membahas umur, okay???”
“Hihi. Ye, ye, Augusta…” Victoria terkikik geli, diusapnya lembut punggung kecil Az. Sedangkan gadis kecil Methuselah merespon dengan memeluk Victoria erat, kepala mungilnya bersandar di dada Victoria.
Sejenak, keduanya tenggelam dalam kesunyian kamar Ratu Agung. Victoria merenung memikirkan arti kata ‘Sebaya dengan Methuselah’, sedang Az perlahan memejamkan matanya karena mengantuk.
Belum lima menit ketenangan itu melingkupi mereka sampai Az mengangkat kepalanya tiba-tiba.
“Azhie? Ada apa?”
Az tidak menjawab. Gadis itu terdiam, seperti mendengarkan sesuatu.
“Ada yang datang…” bisiknya pelan. “Pakai kerudungmu, Vic!” ujar Az lagi, setengah terburu-buru turun dari pangkuan Victoria. Az meraih kain hitam yang tergeletak di atas meja mungil yang berdiri di sisi bejana. Dengan gesit gadis kecil itu mengibaskan kain tadi dan menutup bejana ‘Permata Kehidupan’ miliknya.
oOoOoOo
Yunho mengangkat kakinya dengan langkah ringan. Ia sudah memasuki lorong temaram yang akan membawanya menuju kamar Ratu Agung. Kamar yang hanya boleh dikunjungi oleh Zeus, dirinya, dan Ares.
Yunho terkekeh. Entah kenapa ia hanya ingin terkekeh. Lorong temaram yang biasa dialuinya ini sudah tidak tampak menyeramkan lagi bagi Yunho. Ukuran sempit lorong dengan desain hitam kasar juga pigura-pigura emas yang terpajang di kedua sisi tembok benar-benar menunjukkan kesan kemegahan seorang Ratu Agung.
Hanya untuk kesan kemegahan dan kebesaran kuasa Ratu Agung, hanya kesan… Yunho mengoreksi dalam hati, lalu terkekeh lagi.
Pangeran bermata Ruby itu tahu sosok macam apa sebenarnya yang ada di balik tahta Ratu Agung. Ia sendiri heran kenapa Az ngotot menggunakan desain mengerikan ini untuk menandai ‘wilayahnya’, saat Yunho sendiri tahu jelas kalau gadis kecil itu menyukai warna-warna terang ceria yang penuh dengan kehidupan.
“Tsk! Sebegitu ngototnya Az menunjukkan sisi kejam Ratu Agung. Tidak cocok,” cibir Yunho lagi. Langkah Yunho mulai mendekati pintu besar dengan ukiran indah-kuno yang tampak mengerikan.
Yunho berdiri di depan pintu itu sejenak, ia sudah bisa membayangkan teriakan melengking Az akan menyambutnya kalau ia sedikit saja mengejek gadis kecil itu dalam hati. Sambil tertawa, Yunho berusaha menghilangkan ejekan-ejekan yang sempat melintas di otaknya tadi sebelum menarik cincin ketukan pintu.
“Heiza?” Yunho mengetuk dan memanggil beberapa kali, sampai terdengar suara derit dan pintu terbuka dengan sendirinya.
You must be logged in to post a review.
Related Paid Contents
-
🔒 Code Name : V (NC)
Author: _baepsae95 -
🔒 Braven – 29. Fractured
Author: Miinalee -
🔒 One Love 15-0 | 11
Author: _baepsae95 -
🔒 Filter pt.2 (NC)
Author: _baepsae95
Reviews
There are no reviews yet.