The Host (Miinalee/Fanbook Buyer)

Author: saga_project

Completed on December 2014

 

 

*****

 

 

Klik!

Jungkook menarik kunci dan memutar kenop pintu rumahnya. Hening dan gelap menyambutnya saat ia melangkah masuk. Senyap. Sepi. Sama sekali tidak ada tanda-tanda kehidupan. Bahkan saat Jungkook meraba dinding dan berhasil menyalakan lampu, suasana rumah ini tetap sama seperti saat ia meninggalkannya pagi tadi.

Sekali, pemuda itu menghela napas.

Yoongi benar-benar tidak pulang. Sejak kemarin sampai—

Jungkook melirik arloji yang melingkar di lengannya.

—22.30

“Sialan,” umpat Jungkook sembari melempar sepatunya ke sembarang arah. Persetan soal kerapihan.

Padahal Jungkook selalu dijuluki sebagai MrPerfectionist, segala yang berhubungan dengan dirinya harus terlihat sempurna. Tapi tidak hari ini. Rasanya Jungkook ingin melucuti semua pakaiannya dan menghamburkannya ke segala arah. Kesal setengah mati.

Sembari melepas kaitan dasi dari lehernya, Jungkook meletakkan tasnya ke atas meja di ruang TV. Lalu ia melangkah menuju dapur, melesakkan sekotak onigiri, steak, dan strawberry cheesecake ke dalam kulkas lalu membanting pintunya dengan emosi. Mengingat betapa ia repot-repot mampir ke supermarket dan restoran untuk membeli makanan —selarut ini! Demi Yoongi!

Teringat ini, Jungkook jadi kesal lagi.

“Awas saja kalau dia pulang!” geram Jungkook sembari melempar diri ke atas sofa. Lelah setengah mati. Bekerja dari pagi hingga selarut ini, lebih-lebih saat ia menemukan Yoongi yang tak kunjung pulang sejak hari kemarin. Rasanya lelah di tubuhnya semakin bertambah beberapa kali lipat.

Jungkook berbaring di atas sofa sambil menyilangkan lengannya menutupi mata, ia sudah terlalu malas untuk pindah ke kamar. Kamar itu terasa begitu sepi, tanpa Yoongi. Menyeramkan bahkan.

Padahal rumah ini adalah rumah baru mereka. Yoongi dan Jungkook bahkan baru menempatinya selama dua minggu. Rumah yang mereka pilih karena jaraknya yang cukup dekat dari kantor Yoongi dan Jungkook. Rumah yang awalnya ia kira dapat mengembalikan waktu bersama dan keharmonisan mereka…

Tapi nihil.

Kalau di apartemen lama mereka Yoongi akan pulang antara jam 9 sampai 11 malam di setiap harinya… Kini di rumah ini Yoongi malah makin asik bekerja dan bahkan jarang pulang sampai 3 hari berturut-turut.

Apa yang dikerjakan pria itu sebenarnya?

Jungkook merengut. Kecewa bercampur kesal pada tingkah kekasihnya. Ini terjadi bukan satu-dua kali. Dua bulan terakhir Yoongi mulai bersikap acuh padanya. Pulang larut, jarang sarapan bersama, jarang mengirim e-mail, apalagi menelpon. Huh. Jungkook ingin sekali mencaci-maki Yoongi, namun di saat bersamaan juga ia merindukan kekasih kakunya itu.

Dua bulan lamanya, Jungkook menahan diri. Ia hanya akan mengeluh manja. Beberapa kali meminta perhatian Yoongi saat mereka tengah bersama. Tidak sekalipun ia menuduh macam-macam, meskipun ada kalanya prasangka-prasangka buruk berdatangan. 7 tahun mereka berpacaran dan selama 5 tahun mereka hidup satu atap, baru kali ini Yoongi benar-benar bersikap acuh. Tidak benar-benar acuh seperti kisah cinta di dalam telenovela, sih. Tapi, dirinya pasti tahu dan bisa merasakan perbedaannya saat kekasihnya yang sudah berhubungan selama 7 tahun lamanya tiba-tiba bersikap ganjil.

Satu-dua kali Jungkook sempat menyangka kalau Yoongi berselingkuh di belakangnya. Namun sebanyak itu pula Jungkook akan segera menghapus prasangkanya. Sepertinya ia terlalu mencintai pemuda pendek itu, dan hanya untuk berfikiran macam-macam saja Jungkook sudah merasa sakit. Lagipula ia tidak mungkin menuduh kekasihnya tanpa bukti. Mungkin saja Yoongi memang benar-benar sibuk akhir-akhir ini.

Pemuda itu terus berbaring disana, masih menutupi wajahnya dengan lengan saat sebulir hangat menetes dari matanya.

“Min Yoongi sialan!” umpat Jungkook untuk yang kesekian kalinya.

Lihat saja kalau dia pulang nanti! Akan kurendam di mesin cuci dan kugantung di pintu kamar!

Jungkook bangkit dengan kesal. Ia duduk dan meraih remote yang tergeletak di atas meja. Ia mengucek matanya berkali-kali. Kantuknya sudah menghilang. Kini wajahnya malah kuyup oleh tetes-tetes airmata.

“Huh! Awas saja dia!” kecam Jungkook lagi. Ia baru bermaksud menyalakan TV saat sesuatu—

Treeek—

Jungkook tertegun. Gerakan jarinya terhenti. Ia berpaling ke arah dapur. Entah kenapa bulu kuduknya merinding. Apa ia salah dengar? Baru saja terdengar—

Prang!

Jungkook tersentak kaget, genggamannya mengendur dan remote TV di tangannya terselip jatuh. Pemuda itu melotot dan matanya masih terus mengawasi ke arah dapur. Apa ada seseorang disana?

Hyung?” panggil Jungkook pelan, ragu-ragu. Sebenarnya ia takut. Namun ia tidak mungkin membiarkan kejadian barusan dan berpura-pura tidak tahu. Bagaimana kalau ternyata ada perampok masuk ke rumahnya?

Jungkook mengeluarkan handphone yang selalu sedia di saku celananya. Ia sudah siap men-dial nomor Namjoon. Lalu tidak lupa meraih revolver mini yang disimpannya di laci meja TV, Jungkook melangkah hati-hati menuju dapur. Jantungnya berdegup tidak karuan kala Jungkook makin mendekat ke pintu dapur. Posisi revolvernya sudah siap di depan dada, meskipun tidak bisa dipungkiri Jungkook merasa takut setengah mati. Bahkan tangannya gemetar dan keringat dingin mengalir dari pelipisnya.

Jungkook melangkah. Dekat. Dekat. Mengumpulkan segenap keberanian yang tersisa. Lalu—

“Yah! Siapa disana?!” Jungkook melompat tepat ke depan pintu dapur dengan kaki gemetar. Revolvernya teracung ke depan. Namun—

Nyao—” sosok mungil berbulu orange dan berkaki empat itu melompat dari wastafel. Gelas coklat kesayangan Jungkook sudah pecah berkeping-keping, pecahannya berserakan di atas lantai –tak jauh di bawah wastafel.

Jungkook nyaris menangis. Antara terkejut, senang, dan tenang.

“Yah! Kau mengagetkanku, Sen!” bentaknya sebal. Ia meraih sapu, bermaksud membersihkan kepingan gelas itu saat—

Krieeeet—

Jungkook mendongak. Terkejut saat dilihatnya jendela dapur bergerak kecil tertiup angin. Betapa cerobohnya ia! Pasti jendela ia lupa mengunci jendela saat ia membersihkan kacanya minggu kemarin! Aih! Untung tidak ada perampok!

Krieeeet—

Jendela itu berbunyi lagi. Jungkook merinding mendengarnya. Pasti jendela ini sudah sangat tua. Ia akan menyuruh Yoongi untuk menggantinya saat pria itu pulang nanti. Awas saja, Jungkook tidak akan menerima penolakan!

Jungkook menarik jendela itu, menguncinya rapat-rapat dan begitu disadarinya—

“Loh?”

Jungkook memandang heran ke jemarinya. Penuh debu. Rasanya kemarin ia sudah membersihkan jendela itu. Atau jangan-jangan ini perbuatan—

“Sen?” Jungkook melirik kucingnya dengan pandangan menuding. Namun kucing itu malah melenggang santai menuju ruang TV.

“Huh. Sen dan Yoongi sama saja, tidak ada yang peduli padaku!” keluh Jungkook sembari melanjutkan pekerjaannya—membersihkan pecahan gelas.

Sambil bersenandung, dibuangnya pecahan kaca itu dengan hati-hati ke dalam kotak sampah. Jungkook bahkan berjongkok lagi untuk memastikan tidak ada pecaha kaca yang tertinggal. Lagi-lagi, ia jadi teringat untuk menyuruh Yoongi membeli vacuum cleaner.

Atau lebih bagus lagi kalau mereka berdua pergi berbelanja bersama. Jungkook terkikik bahagia. Membayangkan kembali saat-saat mereka pergi bersama setiap weekend. Ahh. What a good memories.

Jungkook sibuk bersenandung dan tersenyum-senyum sendiri, namun kening pemuda itu mengerut saat ia menemukan bercak di bawah kitchen set.

Jungkook menundukkan kepalanya untuk melihat lebih dekat. Ia bahkan menyentuh bercak itu dengan telunjuknya. Merah dan kental. Kenapa ini terlihat seperti…

–darah?!

Jungkook mendelik. Buku kuduknya kembali meremang. Buru-buru ia bilas bercak merah di ujung jarinya dan dilapnya bersih bercak yang tersisa di lantai. Ini benda apa? Atau jangan-jangan—

Uh!

Jungkook menggeleng. Mengusir semua pikiran-pikiran buruk dalam kepalanya. Kenapa ia jadi ingin berpikir macam-macam ya? Sepertinya ia kebanyakan menonton film horror.

Selesai membersihkan dapur. Jungkook bangkit dan bermaksud kembali ke kamarnya, namun belum sampai ia keluar dari pintu dapur—

Langkah Jungkook terhenti. Bukan, bukan ia yang menghentikan langkahnya. Rasanya ia membeku dan tidak bisa bergerak dari posisinya. Jungkook mendelik, hawa dingin seolah mengelilingi sekujur tubuhnya. Ia terus berada di posisi itu, bahkan untuk membuka mulut pun ia tak sanggup. Dingin dan lemas sekali, bahkan ia merasa mungkin dirinya akan pingsan kapan saja. Sampai—

WHOSSSH!

Jungkook tersentak. Nyaris jatuh terduduk saat angin kencang menerpa tubuhnya. Pemuda itu melotot horror, ia melirik ke kanan, ke kiri, mencari tahu ke segala arah. Namun hanya kesunyian yang ditemukannya. Kini ia sudah bisa menggerakkan tubuhnya. Tapi bukan itu masalahnya…

Barusan itu… angin dari mana?

Jungkook memeluk tubuhnya, rasanya dingin angin itu masih terasa dipermukaan kulitnya. Namun lagi, Jungkook menggeleng kuat-kuat. Dipijatnya lembut tengkuknya, sembari bergumam samar ia melangkah menuju kamarnya.

Sepertinya Jungkook benar-benar harus mengurangi tontonan horrornya dan memperbanyak istirahat. Parah sekali ia sampai berhalusinasi seperti ini.

.

.

.

“Aaah! Panaaas!” Jungkook bergumam sambil mengibas-ngibas tangannya untuk mengipasi leher –meski itu benar-benar tidak berguna. Keringatnya mengucur deras sampai-sampai piyamanya basah kuyup dan makin tidak nyaman untuk dikenakan.

Jungkook terlalu malas untuk bangkit. Awalnya ia berniat untuk kembali tidur dan mengabaikan semua itu. Tapi tidak sampai lima menit dan—

“HAAAH!”

Jungkook bangun, terduduk di atas tempat tidurnya sambil terus mengibas-ngibaskan tangannya ke arah leher. Ia melirik ke atas, AC masih bergerak dan menyala. Diraihnya remote di atas meja dan betapa terkejutnya ia melihat angka 32 di layar remote itu.

“Pasti AC-nya rusak juga!” keluh Jungkook jengah. Kali ini ia mengibaskan kerah piyamanya. Namun itu pun tidak bertahan lama. Jungkook benar-benar tidak tahan sampai akhirnya ia melucuti atasan piyamanya. Sempat diliriknya jam dinding yang berdetak pelan.

Pukul 02.15.

Masih ada 3 jam untuk beristirahat.

Jungkook bangun, bermaksud mencari wifebeater yang setidaknya lebih dingin saat digunakan. Namun belum juga ia mengangkat satu langkah dari tempat tidur—

“U-uh!” Jungkook kembali terduduk. Diremasnya perutnya yang entah kenapa tiba-tiba terasa mulas di tambah nyeri di ulu hatinya. Jungkook meringis-ringis kesakitan.

Jungkook membawa tubuhnya kembali berbaring di atas tempat tidur. Lalu pemuda itu mulai menggeliat sambil memeluk perutnya. Rasa sakit di sekujur perutnya bertambah intens. Belum pernah ia merasakan sakit yang seperti ini.

“Aaaah! Hhh!” Jungkook nyaris menangis. Kini tubuhnya melengkung dan menggigil, keringat dingin mengucur hingga seprai pun terasa basah. Jungkook meremas perutnya, lagi dan lagi.

“Ahh!” Jungkook tersentak dan refleks melepaskan tangannya karena takut. Ia melotot kaget dan memandang ke arah perutnya lekat, terkesiap saat ia merasakan gejolak gerakan dari dalam sana.

“A-apa ini?” desis Jungkook setengah menggigil, giginya gemertak beradu. Menahan rasa sakit yang tak juga reda sekaligus ketakutan yang tiba-tiba menerpanya. Jungkook beringsut mundur dan bersandar di mahkota bed.

Sembari terus menunduk menatapi perutnya, tangan Jungkook melengkung di depan dada.

Blub.

Jungkook mendelik. Dua gelembung mencuat di kulit perutnya.

Blub. Blub.

Semakin banyak.

Blub. Blub. Blub.

Kini bukan lagi gelembung-gelembung yang mencuat muncul di permukaan perut Jungkook. Seolah ada dorongan kuat bercampur rasa sakit, perut Jungkook kian membuncit. Terus membesar dengan kecepatan mengerikan.

“T-tidak— Tidak!” Jungkook menekan perutnya, berusaha mengembalikannya ke ukuran semula. Namun dorongan dari dalam perutnya jauh lebih kuat, semakin ia menekannya semakin terasa sakit dan akan semakin membuncit.

“T-TIDAAAAAAAK!”

.

.

.

.

.

.

Blub.

Jungkook mendelik. Dua gelembung mencuat di kulit perutnya.

Blub. Blub.

Semakin banyak.

Blub. Blub. Blub.

Kini bukan lagi gelembung-gelembung yang mencuat muncul di permukaan perut Jungkook. Seolah ada dorongan kuat bercampur rasa sakit, perutnya kian membuncit. Terus membesar dengan kecepatan mengerikan.

N-no!” Jungkook menekan perutnya, berusaha mengembalikannya ke ukuran semula. Namun dorongan dari dalam perutnya jauh lebih kuat, semakin ia menekannya semakin terasa sakit dan akan semakin membuncit.

NO NO NO NO NO!” Jungkook berteriak di tengah keheningan malam. Matanya memerah basah dan bibirnya gemetar oleh rasa takut yang semakin menjadi-jadi. Rasa sakit di perutnya berangsur-angsur membaik, namun tidak dengan dorongan dan gejolak dari dalam.

Detak jantung Jungkook berpacu, ia menghela dan menghembuskan napas dengan terengah-engah. Perutnya masih terus membesar, dengan kecepatan yang perlahan melambat.

Jungkook bersandar lemas. Tangannya mengerat kedua sisi perutnya yang membuncit. Masih dalam keadaan shock berat, dipandanginya perut yang kini tampak seperti perut wanita yang tengah mengandung 8 bulan.

“Oh Tuhan—”

Jungkook masih lekat memandangi perut buncitnya. Lalu kulit itu bergejolak, seperti sesuatu tengah bergerak-gerak di dalam sana.

Deg.

Detak jantung Jungkook seolah terhenti. Jungkook mendelik saat sesuatu menendang kuat dari dalam sana, ia berani bersumpah ada cetakan kaki dan tangan mungil mencuat sesaat di permukaan kulit perutnya.

“Hah. Hah—” Jungkook menghela napas lelah. Keringat dingin mengucur membasahi sekujur tubuhnya. Kepalanya berkunang-kunang, namun masih jelas ia merasakan sesuatu bergerak di dalam perutnya. Sampai akhirnya benda itu bergerak makin ganas. Berputar, menendang, dan menggeliat kuat tanpa henti. Jungkook menangis tersendat-sendat. Ia merasa benda ini seperti mencari jalan keluar. Bagaimana kalau benda ini menggerogotinya dari dalam? Apa perutnya akan meledak? Bagaimana kalau ia mati?

Jungkook tersedak, lalu kembali terisak.

Yoongi— Yoongi!

Ia ingin Yoongi disini!

“Tidak— Tidak! Oh Tuhan, oh Tuhan—” Jungkook mengerat perutnya yang tak henti bergejolak, berusaha menahan golakan kulit dan dagingnya meskipun sia-sia. Lama-kelamaan, Jungkook mulai tidak tahan. Ia memejamkan matanya rapat-rapat. Takut melihat golakan perutnya yang makin lama semakin tampak mengerikan.

“Tidak! Ini mimpi buruk! Ini mimpi buruk!” racaunya seperti mantra.

Tubuh Jungkook mulai oleng. Kepalanya terasa pusing. Berat. Rasa lelah seperti menelannya bulat-bulat. Gejolak di perutnya belum berhenti, sampai gelap menelannya dan Jungkook terjatuh pingsan.

.

.

.

.

Kookie—”

Yoongi. Ia mendengar suara Yoongi. Samar-samar dari kejauhan.

Kookie—”

Suara itu memanggilnya lagi, semakin terdengar jelas dan kali ini disertai suara ketukan di pintu.

Koo. Aku pulang, buka pintunya!”

Kedua mata Jungkook spontan terbuka. Ia berkedip lalu mengucek matanya. Dihalaunya silau lampu kamar yang terasa menyakitkan setiap kali ia bangun tidur, tapi Jungkook juga tidak berani tidur dengan lampu padam. Ia bahkan pernah memarahi Yoongi di bagi buta, hanya karena kekasihnya itu diam-diam mematikan lampu saat ia sudah tertidur.

Jungkook mengerjap. Kepalanya masih terasa pusing, lebih-lebih mengingat mimpinya semalam. Rasanya bayangan mimpi buruk itu terasa begitu jelas. Terasa begitu nyata.

Jungkook melenguh, entah kenapa ia merasa kelelahan. Lalu giginya gemertak berbunyi. Tiba-tiba tubuhnya menggigil. Kenapa kamar ini terasa dingin sekali?

Jungkook mengerjap lagi. Tidak peduli pada panggilan Yoongi, yang penting Yoongi sudah masuk ke rumah, pikirnya. Jungkook terlalu malas untuk bangun dan membukakan pintu kamar. Pandangannya bahkan masih belum fokus karena rasa kantuk. Ditambah suhu dingin yang luar biasa ini, Jungkook reflek mengusap-usap bahunya untuk menyalurkan kehangatan. Diulanginya hal itu berkali-kali dengan mata terpejam –sampai ia menyadari satu keganjilan saat ia mengusap bahunya.

Jungkook membuka matanya sedikit, lalu melirik ke samping.

“Eh? Kenapa aku telanjang?” Jungkook berkedip heran. Tangannya bergerak, terus mengusap dari bahu hingga ke dada.

Dug.

Jungkook mendelik. Kedua matanya membulat memandang ke atap. Napasnya memburu, entah kenapa bayangan mimpi semalam kembali berkelebat dalam benaknya. Jelas sekali ia merasakan sesuatu, sesuatu bergerak dengan ganas di dalam perutnya.

Dug.

Dug.

Jungkook meringis. Ia memejamkan matanya rapat-rapat sambil bergumam ‘Ini mimpi, ini halusinasi’ berulang-ulang seperti mantra. Namun semakin Jungkook berusaha mengabaikannya, semakin geliat dan tendangan itu terasa nyata.

Semakin lama, Jungkook tidak tahan. Meski ketakutan seperti meremas jantungnya yang terus berdetak tak karuan, perlahan— Jungkook memberanikan diri untuk membuka mata. Ia menunduk, berharap untuk bisa melihat kakinya dengan jelas—

Namun sesuatu menghalangi pandangannya. Gundukan daging yang membuncit dan bergejolak liar.

Itu perutnya!

“Ah—” Jungkook tersedak, sekujur tubuhnya gemetar dan napasnya tersendat.

“a-AAAHHHHHH!”

.

.

.

Yoongi menghabiskan segelas air mineral dalam satu tegukan. Ia tengah bersandar lelah di dinding dapur saat diliriknya jam dinding—

09.13

Lalu Yoongi menghela napas. Tidak biasanya Jungkook belum bangun sesiang ini. Meskipun ini weekend, setidaknya kekasih imutnya itu pasti sudah mandi dan minimal tengah berkutat memasak sesuatu di dapur. Tidak biasanya juga Jungkook mengunci pintu kamar saat tidur. Sangat tidak biasa dan Yoongi menyadarinya. Mungkin Jungkook marah padanya. Yoongi akui selama dua minggu terakhir ini ia memang keterlaluan, berangkat pagi lalu pulang keesokan harinya. Tapi Yoongi punya alasan untuk melakukan itu, dan ia belum bisa menjelaskannya pada Jungkook. Tidak dalam waktu dekat ini.

AAAAAAHHHH!”

Yoongi tersentak. Tanpa sengaja menjatuhkan gelas dalam genggamannya hingga benda itu hancur berkeping-keping. Secara spontan pandangannya berpaling ke arah pintu kamarnya. Suara barusan berasal dari sana.

“Jungkook!”

Tanpa peduli pada pecahan kaca yang berserakan di lantai, Yoongi bergegas menuju ke kamarnya.

“TIDAK! TIDAK!” suara teriakan Jungkook terdengar makin jelas, seperti tengah terjadi sesuatu, kekasihnya itu terus menjerit dari dalam.

Apa ada orang lain di dalam kamar Jungkook? Yoongi mendengus gusar. Ia menarik kenop pintu itu meski gagal, pintu itu sama sekali tidak terbuka. Tetap tertutup rapat dan terkunci dari dalam.

“Koo! Buka pintunya!” Yoongi menggedor pintu itu berkali-kali. Namun tidak ada jawaban selain teriakan Jungkook yang kian melengking. “Koo! Cepat buka pintunya!” Yoongi berteriak kalap. Ia baru akan mendobrak pintu itu, saat suara teriakan Jungkook menghilang. Kamar itu kembali sunyi.

Yoongi memandang pintu itu gelisah, ia justru makin takut saat suara Jungkook seolah lenyap dari sana. Yoongi tidak ingin berpikir macam-macam, namun tetap saja rasa gelisahnya memancing ia untuk berpikir tentang kemungkinan ini dan itu. Yoongi mendesah, ia menggeleng kuat-kuat. Tidak, Jungkook tidak apa-apa. Yoongi yakin akan hal itu.

Pemuda pendek itu sudah melangkah mundur, menyiapkan bahunya untuk mendobrak pintu saat—

Klek.

Terdengar kunci kamar diputar, dan pintu itu terbuka perlahan, sedikit demi sedikit. Menampakkan Jungkook yang tengah berdiri di baliknya dengan selimut tebal membalut sekujur tubuhnya dari leher hingga menyapu lantai. Yoongi mengabaikan rasa herannya yang sekilas mencuat, melihat Jungkook membalut tubuhnya sendiri dengan selimut lalu mengeratnya di depan dada dengan tangan gemetar. Entah kenapa Jungkook justru terlihat imut di matanya.

Namun begitu ia melangkah makin mendekat, Yoongi terkesiap. Ia menyadari betapa pucatnya wajah Jungkook. Lalu kedua mata itu— sembab dan memerah basah. Jejak-jejak airmata tampak baru di pipi chubby Jungkook.

“Koo, ada apa?” Yoongi merentangkan tangannya, bermaksud merengkuh tubuh Jungkook saat pemuda tinggi itu justru melangkah mundur, menjauhi dirinya.

“Koo? Kau masih marah padaku, hmm?” Yoongi bertanya lembut, ia melangkah makin mendekat. Terlebih saat kaki Jungkook terbentur oleh tempat tidur dan tubuh tinggi itu jatuh terduduk di atas tempat tidur, memberi kesempatan Yoongi untuk meraup tubuh Jungkook tanpa perlawanan berarti.

Namun begitu rengkuhan Yoongi mendarat di tubuhnya, Jungkook tiba-tiba tergugu. Tangisnya pecah begitu saja, dan kontan membuat Yoongi kelabakan.

H-Hyung!” Jungkook menangis dengan napas tersendat-sendat. Dikeratnya kemeja Yoongi sekuat tenaga, tubuhnya condong maju, bertumpu sepenuhnya pada Yoongi.

“A-ada apa, Koo? Kookie!” Yoongi menepuk-nepuk pipi Jungkook, makin khawatir melihat keadaan kekasihnya yang tampak begitu memprihatinkan. Wajah Jungkook pucat, matanya bengkak, dan bibirnya sedikit membiru. Yoongi bisa melihat bahu telanjang Jungkook dari balik selimut yang tersikap sedikit, kini prasangkanya semakin menjadi-jadi.

Apa ada seseorang yang—

Hyung!” suara jerit Jungkook menyela lamunan Yoongi. Sepasang mata sembab itu kini terbuka, membuat Yoongi makin meringis melihat betapa merahnya mata Jungkook saat itu.

“Tolong aku, hyung. Tolong aku—” cicit Jungkook kehabisan suara, tangisnya mereda karena pusing dan nyeri yang semakin menjadi-jadi.

“Ya, chagi, katakan padaku apa yang terjadi. Bagaimana aku bisa menolongmu kalau—”

Yoongi tercekat, tak sempat menyelesaikan kalimatnya begitu kedua tangan Jungkook terjatuh lemas, selimut tebal yang awalnya dikerat sekuat tenaga untuk menutupi sekujur tubuhnya, luruh turun dan mengekspos dadanya yang telanjang.

“Oh, Tuhanku…” Yoongi melotot dan mengatup mulutnya kaget. Tidak mampu berkata-kata dan hanya bisa memandangi perut buncit Jungkook, dengan garis-garis urat merah dan kebiruan yang menyebar mengerikan.

Yoongi… Tidak tahu harus merespon seperti apa lagi.

“A-apa-apaan ini, Jungkook-ah!” seru Yoongi yang tanpa sadar membentak Jungkook. Ia terlalu terkejut dan tanpa sadar beringsut mundur menjauhi Jungkook. Dengan panik Yoongi berpaling kesana-kemari, berusaha mencari-cari kamera yang tersembunyi. Ia berani bersumpah, kalau ini hanya lelucon Jungkook bersama Donghae dan Hyukjae. Ini benar-benar tidak lucu!

“Kau pikir aku tahu!” balas Jungkook setengah menjerit. Seruan Yoongi yang keras terdengar seperti bentakan dan entah kenapa Jungkook sangat tersinggung mendengarnya. Tangisnya pecah lagi. Jungkook memeluk perutnya ketakutan saat tendangan demi tendangan terasa makin mengganas dari dalam seiring dengan tangisnya yang makin mengeras.

Jungkook menangis tersedu-sedu. Dan Yoongi melihatnya. Yoongi melihat bagaimana Jungkook memeluk perutnya yang buncit dan bagaimana kulit perut kekasihnya itu bergolak. Jelas sekali ada sesuatu di baliknya. Dan benda itu hidup!

Sial. Ini bukan lelucon.

Yoongi menggeleng tak percaya. Ia menelan ludah susah payah sebelum berbisik, “J-jadi ini bukan lelucon?”

Jungkook menggeleng lemah, kehabisan tenaga untuk menjawab Yoongi. Pemuda itu hanya mampu berbisik lirih dan putus asa, “Tolong aku hyung, tolong aku…”

“K-kita ke dokter sekarang!”

“T-tapi, hyung—”

“M-mungkin ini tumor, atau penyakit, atau apapun itu. Kau butuh dokter sekarang!” Yoongi menggeleng-geleng, berusaha menutupi rasa paniknya. Ia tidak boleh terlihat panik, itu hanya akan memperburuk keadaan. Siapa yang akan menenangkan Jungkook kalau ia juga ikut-ikutan panik bersama kekasihnya?

Tidak sanggup melihat keadaan Jungkook, Yoongi bangkit dan berbalik memunggungi kekasihnya. Lalu dengan tergesa-gesa, pemuda itu mengacak isi lemari, mencari jaket besar yang tidak pernah digunakannya. Ia ingat sekali menyimpannya disini, namun dengan pikiran yang tak fokus, Yoongi tak kunjung menemukan jaket itu. Suara tangis dan rintihan Jungkook seakan membuatnya semakin menggila. Yoongi nyaris menjerit frustasi dan bermaksud menghancurkan pintu lemari, saat bersamaan matanya menangkap lipatan tebal berwarna hitam yang ia kenal dengan begitu familiar.

Yoongi menyambar jaket itu dan sebuah kaus berwarna pink lalu berbalik kembali pada Jungkook.

“Kenakan ini, Koo.” ujarnya seraya membantu Jungkook mengenakan kaus pink itu terlebih dahulu. Lebih tepatnya— Yoongi yang memasangkannya karena Jungkook sama sekali tidak bergeming. Tubuh itu bersandar lemas pada Yoongi, membuat Yoongi sedikit kesulitan memasangkan kaus dan jaket itu pada kekasihnya. Namun Yoongi tidak protes sama sekali, tidak saat suara rintihan Jungkook terasa begitu menusuk-nusuk hatinya.

Selang 5 menit berjuang, Yoongi berhasil memasangkan jaket dan kaus itu ke tubuh kekasihnya. Dan jaket tebal itu… Sukses menyamarkan ukuran perut Jungkook. Meski hanya sedikit.

Yoongi mendesah lega.

“Jungkook-ah, dengar aku,” bisik Yoongi lembut sembari mengatup wajah Jungkook dengan kedua tangannya. Dengan sayang ia merapikan helai-helai poni Jungkook yang berantakan, lalu mengusap keringat yang membanjir di wajah itu dengan telapak tangannya. Mata Jungkook terbuka namun pemuda itu memandang kosong ke sembarang arah. Yoongi meringis melihatnya. Nyaris tersedak dan menangis melihat ekspresi kekasihnya, namun Yoongi berhasil menahan buncahan emosi itu. Tuntutan untuk tetap bersikap tenang demi Jungkook, berhasil menguatkan hatinya.

Yoongi memandang sendu pada raut lelah Jungkook. Ia menghapus jejak airmata yang tersisa di wajah itu dengan jemarinya, lalu dikecupnya kedua kelopak mata Jungkook. “Tenang, sayang. Tidak akan terjadi apa-apa padamu, aku disini. Tenang, oke?”

Jungkook tersedak. Bulir airmatanya kembali meleleh, namun dengan cepat pula, Yoongi mendekap wajahnya erat ke dada. Sejenak, mereka tetap berada di posisi itu. Jungkook menangis, dan Yoongi membisikkan janji-janji manis.

.

.

.

Yoongi memandang lurus ke depan, berusaha fokus memperhatikan jalan. Membawa mobilnya menyusuri jalanan Seoul yang ramai oleh orang-orang yang baru akan memulai aktivitasnya pagi ini. Namun sesekali, Yoongi tak bisa berhenti melirik Jungkook yang duduk di sisinya.

Jungkook bersandar lemas dan memangku tangan yang tergeletak lunglai. Kedua matanya terpejam dan wajahnya makin pias. Kalau saja tak terdengar suara napas yang berhembus lemah, Yoongi pasti sudah panik dan berteriak memanggil-manggil nama Jungkook. Pemandangan Jungkook yang bersandar lemah seperti mayat yang bernapas itu benar-benar menakuti Yoongi sampai ke dasar hatinya.

Tapi Yoongi menggeleng kuat-kuat.

Tidak. Jungkook tidak apa-apa. Ini hanya penyakit biasa yang tiba-tiba muncul. Cukup membayar dokter profesional dan Jungkook pasti akan segera sembuh. Yoongi tidak peduli berapa uang yang yang harus ia keluarkan. Tapi Jungkook pasti sembuh. Pasti.

Hyung…”

Yoongi tersentak. Refleks berpaling sebentar ke arah Jungkook sebelum kembali memperhatikan jalan. Barusaja Jungkook memanggilnya dengan suara lemah, dan kedua mata itu tetap terpejam. Yoongi benar-benar takut sekarang. Namun alih-alih ia menenangkan hatinya dan menjawab, “Ya, sayang?”

“K-kau yakin dengan hal ini? A-apa memang sebaiknya ke rumah sakit?”

Yoongi mendengar nada keraguan disana. Ia jadi bingung apa yang ada dipikiran kekasihnya sekarang. Kalau tidak ke rumah sakit, mau kemana lagi?

“Tentu. Ada apa, baby? Kau takut?”

Jungkook meringis. Menekan perutnya di sana-sini dan ingin menangis lagi.

“Aku merasa aneh, hyung. Benda ini hidup, tidak seperti tumor…” bisiknya takut.

Yoongi tidak mampu menjawabnya. Pemuda itu hanya tersenyum hambar, lalu meremas tangan kekasihnya.

“Kita sampai sayang.” Yoongi memarkir mobilnya di dekat pintu utama Rumah Sakit. Lalu ia keluar terlebih dulu, membuka pintu kiri mobil dari luar dan memapah Jungkook dengan hati-hati.

“Aaah.” Jungkook meringis, berpegang pada lengan Yoongi saat tubuhnya terlalu lemas untuk berdiri sendiri. Sebelah tangannya meremas perut, barusan tendangan bertubi-tubi itu diterimanya lagi.

“Kau bisa jalan sendiri, Koo?” Yoongi memandangi Jungkook dengan khawatir. Direngkuhnya tubuh sang kekasih sekuat tenaga, seakan takut tubuh itu limbung dan jatuh kalau Yoongi tidak memeganginya dengan benar.

Jungkook mengangguk lemah, membiarkan Yoongi merangkul tubuhnya dan memapahnya untuk berjalan.

Entah kenapa suasana Rumah Sakit pagi itu sepi sekali. Lorong yang panjang tampak begitu lenggang. Hanya beberapa penjenguk dan perawat yang berlalu lalang. Yoongi tidak ingin berpikir macam-macam, meski prasangka dan ketakutan mulai merambat dalam hatinya. Yoongi yakin suasana sepi dan asing yang terasa begitu kental ini karena Rumah Sakit yang ia pilih berada di sudut kota dan memang sepi pasien.

Meski lagi-lagi, Yoongi merasakan kejanggalan lain. Hanya ada satu perawat yang berdiri di meja resepsionis. Tersenyum manis, pada Yoongi yang sedang memapah Jungkook dan melangkah mendekati meja resepsionis.

“Ada yang bisa saya bantu?” perawat itu bertanya dengan senyum lembutnya yang tampak begitu misterius. Yoongi baru akan mengucapkan sesuatu, saat mata perawat itu membulat kaget melihat sosok Jungkook yang tengah bergelayut lemah. Jaket tebal itu tidak total menyembunyikan ukuran perut Jungkook. Terlebih saat Jungkook memegangi bawah perutnya, menunjukkan lekuk dan buncit yang terbalut jaket.

“Oh! Istri tuan sedang mengandung, ne? Mari saya antar.” tawarnya sembari tersenyum lagi, tidak menunggu jawaban Yoongi dan langsung saja menyela dengan berjalan di depan mereka.

Yoongi yang bingung hanya berdiri disana, ia memandang heran pada meja resepsionis yang kini kosong ditinggalkan penjaganya, lalu tatapannya beralih pada punggung perawat yang belum melangkah jauh itu. Rengkuhannya mengerat pada Jungkook yang tengah meringis di sisinya. Rasanya Yoongi ingin berbalik saja, tapi Yoongi bahkan belum sempat bergerak dari tempatnya saat perawat itu tiba-tiba sudah kembali berada di hadapannya.

“Ayo, tuan.” ajaknya dengan senyum lembut, mempersilahkan Yoongi untuk mengikutinya. Yoongi menelan ludah, tak punya pilihan lain kecuali melangkah pelan mengikuti perawat itu. Direngkuhnya bahu Jungkook hati-hati, semakin khawatir saja saat Jungkook berjalan dengan terseok-seok.

Sesampainya di depan sebuah ruangan. Perawat itu masuk sendirian dan menutup pintu dari dalam, membiarkan Yoongi menunggu di luar dengan perasaan yang berkecamuk dalam hatinya. Yoongi memandangi keadaan di sekelilingnya. Lorong rumah sakit ini begitu sepi, Yoongi sampai menelan ludah dan memutar pandangannya berkali-kali. Entah apa yang terjadi pada dirinya hari ini, Yoongi terus saja merasa gelisah. Tapi Yoongi menggeleng-geleng lagi, berusaha berpikir jernih. Situasi yang menimpa Jungkook tidak lalu harus membuatnya ikut-ikutan berpikir paranoid begini. Mana mungkin Rumah Sakit menjadi tempat yang berbahaya, kan? Yoongi merasa semakin menggila.

Pintu dibuka dari dalam. Perawat itu tersenyum manis dan membuka pintu lebar-lebar, mempersilahkan Yoongi dan Jungkook untuk masuk.

“Silahkan, dokter sudah menunggu di dalam.”

Yoongi mengangguk. Kali ini dengan melawan perasaan paranoidnya, Yoongi melangkah dengan yakin. Memapah Jungkook untuk masuk ke dalam.

“Selamat siang, Tuan Min Yoongi.”

Yoongi tersentak, mendongak kaget saat namanya tiba-tiba dipanggil. Seorang dokter yang duduk di belakang meja tiba-tiba saja berdiri untuk membantunya memapah Jungkook. Yoongi terlalu bingung saat Jungkook terlepas dari rengkuhannya, ia terlalu linglung sampai tidak mampu bertanya.

Kenapa dokter ini tahu namanya? Ia sama sekali belum menyebutkan namanya sejak masuk ke rumah sakit ini. Perawat di meja resepsionis tadi bahkan tidak mencatat data diri Jungkook atau data dirinya. Sama sekali.

Yoongi menelan ludah. Lagi-lagi gelisah berkecamuk dalam hatinya. Namun rasa itu segera teralihkan saat sang dokter bermaksud membaringkan Jungkook di atas meja bedah. Yoongi segera melangkah mendekat, mengambil posisi di samping Jungkook, meremas tangan kekasihnya dengan gestur protektif.

Dengan sorot curiga, Yoongi terus mengawasi dokter itu. Mengikuti tiap gerak tangan sang dokter yang kini membuka risleting jaket dan tanpa ragu menyikap kaus Jungkook di atas perut.

“Ah, dingin sekali kulit tubuh istri anda, tuan Min.” ujar sang dokter sembari mengusap perut Jungkook, matanya menyipit saat melirik wajah pucat pasiennya. “Bibirnya membiru. Saya takut, istri anda mengalami hipotermia. Apa yang terjadi pada Nyonya Min sebelum ini?”

“H-hipotermia?” Yoongi berseru kaget. Refleks memandang Jungkook dengan wajah yang seolah bertanya ‘Apa-yang-kau-lakukan-Kookie?’

“A-aku tidur dengan suhu AC yang menyala tinggi semalaman.” Jungkook tiba-tiba bersuara, serak dan lemah. Makin merasa bersalah mendengar suara Yoongi yang berseru kaget. Sepertinya ini memang salahnya. Mungkin penyakit ini muncul karena ia sengaja tidur telanjang dengan suhu AC yang menyala tinggi sepanjang malam. Mungkin. Meski rasanya jauh lebih tidak mungkin.

“Emh, saya mengerti.” dokter itu mengangguk-angguk, lanjut memeriksa perut Jungkook lebih jauh. Ia mengusap perut buncit itu beberapa kali, lalu dengan gerik coba-coba, ia menekan di bagian bawah perut Jungkook.

“Aakh!” Jungkook berjengit kesakitan dan refleks menarik kemeja Yoongi. Airmatanya merembes. Jungkook merintih di dada Yoongi. “H-hyung—”

“Sssh, tidak apa, Koo. Aku disini…” Yoongi berbisik lembut, memeluk kepala Jungkook dan mengecupi kening kekasihnya, ekspresinya semakin kecut mendengar gerung dan rintih kesakitan Jungkook.

Yoongi berusaha menenangkan kekasihnya, namun ia merasa dokter ini sama sekali tidak membantu. Ia melihat sendiri bagaimana dokter itu menekan-nekan bawah perut Jungkook tanpa perasaan— setidaknya itu menurut pandangannya, dan membuat kekasihnya berjengit lalu menangis kesakitan.

“D-dokter! Bisa lebih hati-hati?” seru Yoongi marah, emosi saat Jungkook tersentak kesakitan dan merintih terus-terusan.

“Maaf Tuan Min,” dokter itu hanya tersenyum misterius alih-alih terus menjalankan tugasnya. Tentu, ia senang melihat betapa ‘Tuan Min’ sangat mencintai kekasihnya. Kelak Yoongi dan Jungkook pasti akan menjadi pasangan dan orangtua yang tepat untuk putra-putri mereka nanti. Orangtua yang menyayangi anaknya dan tidak memprioritaskan pekerjaan. Tidak seperti dirinya… Dan istrinya dahulu.

“Hyung, sakit…” isak Jungkook sembari memeluk lengan Yoongi. Ia memejamkan matanya erat-erat, airmatanya terus meleleh. Dokter itu terus menekan bagian bawah perutnya, entah apa yang diperiksa namun lama-kelamaan Jungkook kesal juga. Pemuda itu menggerung tak suka, sudah berniat untuk membentak sang dokter saat dokter itu beranjak, berhenti mengusik perutnya.

“Bagaimana kalau kita cek saja? Maaf, tapi bisakah anda menyingkir sebentar, Tuan Min?” tanya sang dokter dengan sopan, bermaksud menggeser posisi Yoongi yang tengah berdiri di sebelah Jungkook. Seolah mendapatkan penolakan dari Yoongi yang hanya berdiam diri disana dengan ekspresi enggan, dokter itu tersenyum mengerti. “Saya ingin menyalakan mesin USG dibelakang anda, Tuan Min.”

Yoongi menengok ke sisinya, dan benar saja. Disana memang ada layar USG dan scanner yang tergeletak di sisinya, tepat bersebelahan dengan ranjang pasien yang digunakan Jungkook. Yoongi mendengus, mau tidak mau ia melangkah mundur, memberi ruang bagi dokter itu untuk meraih mesin USG. Namun tentu ia tidak akan melepaskan tangan Jungkook begitu saja, dengan gesit Yoongi mengisi ruang kosong di sisi kiri Jungkook. Bersebrangan dengan sang dokter yang kini sibuk berkutat dengan mesin USG, menariknya sedikit kesana dan sedikit ke sini, hingga layar 14inch itu dapat dilihat dengan jelas oleh Jungkook dan Yoongi.

“D-dok, ada apa dengan perutku?” bisik Jungkook takut. Nyeri di perutnya pelan-pelan menghilang. Namun bukan berarti kengerian itu lenyap dari hatinya. Meski sedari tadi ia diam tidak bertanya dan hanya bisa merintih kesakitan, Jungkook bukan tidak menyadarinya. Sejak ia melangkah masuk ke Rumah Sakit ini… Semua orang bersikap seolah-olah ia adalah wanita yang tengah mengandung. Jungkook tahu kalau wajahnya memang cantik dan orang-orang yang sekilas melihat sering salah menyangka dirinya sebagai seorang gadis. Tapi belum pernah ia dikira wanita lebih dari lima menit. Dadanya rata, lehernya besar meski tak berjakun. Bahunya juga tegap. Apakah orang salah mengira karena efek dari jaket besar ini?

Tidak mendapatkan jawaban dari dokter itu, Jungkook mengulang pertanyaannya lagi. “D-dokter? Ada apa di dalam perutku?”

Dokter itu masih diam, sibuk menyiapkan alat scanner. Sesungguhnya ia mendengar pertanyaan Jungkook barusan, tapi dengan lihainya dokter itu berpura-pura tidak mendengar dan mengabaikan pertanyaan Jungkook.

“A-ah!” Jungkook berjengit kaget saat gel dingin dioleskan ke atas perut buncitnya.

“K-kenapa, Koo? Ada yang sakit?” Yoongi bertanya khawatir, digenggamnya erat tangan Jungkook.

Jungkook menggeleng lemah, “Tidak. Hanya dingin.”

“Mari kita periksa kandungan anda, Nyonya Min…” dokter misterius itu mulai menggerakkan alat scanner di atas perut Jungkook. Mendorongnya kesana dan kemari, berpura-pura tidak mendengar bisik percakapan antara Yoongi dan Jungkook.

H-hyung, aku takut, hyung…” bisik Jungkook lirih.

Yoongi tersenyum hambar. Jujur ia juga takut, tapi Yoongi tidak menunjukkannya sama sekali. Itu hanya akan membuat Jungkook semakin gelisah. Dikecupnya bibir Jungkook yang basah oleh keringat, lalu dengan sayang diusapnya wajah dan kening Jungkook yang dingin. Tepat di telinga Jungkook, Yoongi berbisik, “Tidak apa, Koo. Apapun yang ada di dalam perutmu, kita akan segera mengeluarkannya. Kau akan baik-baik saja, arra?”

Dokter itu terkekeh mendengarnya. Tidak ingin merusak suasana indah kedua pasangan itu, namun ia juga harus mengatakan hal ini…

“Coba kita lihat…” ujarnya menyela Yoongi dan Jungkook yang saling berbisik. “Anda bisa melihatnya, Nyonya Min?”

Yoongi dan Jungkook kini serius memandangi layar USG. Jungkook sempat melirik Yoongi yang tiba-tiba menegang dan menggenggam tangannya makin erat, sebelum kembali berpaling dan menyipitkan matanya, sedikit tidak fokus karena lemas. Namun Jungkook bisa melihat siluet hitam putih dari layar USG. Benda itu bergerak sedikit, terlihat jelas seperti tengah melengkung.

Entah kenapa gambar itu terasa familiar. Bentuknya seperti—

“Bayi anda baik-baik saja.”

Jungkook mendelik. Yoongi tercekat.

“B-bayi?” Yoongi tergagap, menatap wajah sang dokter seolah dokter itu baru saja terkena gangguan jiwa. Lalu Yoongi menunduk, bertukar pandang dengan Jungkook yang tak kalah shocknya. “T-tapi… Tapi kekasih saya—”

“Ya, saya mengerti.” Lagi, dokter itu menyela Yoongi, “Musim panas seperti ini memang tidak menyenangkan bagi seorang ibu hamil. Apalagi di trimester terakhir seperti Nyonya Min ini. Tidak nyaman, gerah, lelah, pegal, sakit punggung…” ujarnya sembari menunjuk perut buncit Jungkook. “Tapi tetap harus hati-hati, ne? Lain kali jangan memasang suhu AC terlalu tinggi. Itu bisa mempengaruhi kesehatan janin anda.”

Dokter itu terus menjelaskan panjang lebar, sama sekali tidak memberi kesempatan Yoongi dan Jungkook untuk menyela.

“Tolong jaga istri anda, Tuan Min. Kalau perlu ambil cuti sampai Nyonya Min melahirkan.” ujarnya lagi sembari mengerling pada Yoongi yang masih melongo shock. “Ah, ya! Tunggu disini, saya punya vitamin khusus yang sangat bagus untuk Nyonya Min.”

Lagi-lagi tanpa menunggu jawaban, dokter itu menghilang melalui pintu di sebelah lemari yang menghubungkan ruangan ini dengan ruangan lain.

Yoongi dan Jungkook bertukar pandangan lagi. Keduanya mendelik satu sama lain.

“Kalau ini lelucon, lelucon ini sama sekali tidak lucu Min Yoongi.” Kali ini Jungkook yang menuduh kekasihnya. Ia tahu kekasihnya yang jenius ini nyaris bisa melakukan apapun, menciptakan ini dan itu. Bukan mustahil Yoongi membuat sesuatu lalu merekatkannya ke tubuh Jungkook dan menciptakan efek aneh yang membuat Jungkook merasakan hal-hal ganjil, seperti tendangan dan geliat dari dalam perut misalnya… Yoongi bahkan sedang mengembangkan mesin yang bisa membuat laki-laki merasakan nyerinya PMS!

Jungkook tersedak. Bibirnya gemetar, tangisnya siap pecah kapan saja. Tega sekali kalau Yoongi berani mengerjainya sampai sejauh ini.

“Hentikan ini, hyung. Ini tidak lucu.” lirih Jungkook dengan suara gemetar. Sial, bahkan Yoongi menggeleng-geleng dan aktingnya begitu meyakinkan. Jungkook jadi ketakutan sendiri. Jangan-jangan… Jangan-jangan ini bukan

“Kau pikir aku sekejam itu, Koo? Ini sama sekali tidak lucu untuk selera humorku!” elak Yoongi masih dengan suara berbisik. Yoongi memutar pandangannya, mencari sesuatu. Sembari gelisah mengawasi pintu tempat dokter itu menghilang, Yoongi menyambar kotak tisu yang tergeletak di sisi mesin USG.

“I-ini bukan lelucon?” Jungkook mencicit tidak percaya. Airmatanya mengalir lagi. Tanpa bisa ditahan, Jungkook kembali menangis terisak-isak. “H-hyung, bagaimana ini? A-aku kan laki-laki, bagaimana mungkin?”

“Sssh! Koo, jangan menangis!” Yoongi menyumpal bibir Jungkook dengan sebuah ciuman singkat. Ia masih gugup dan sesekali mengawasi pintu yang tertutup itu. Dengan buru-buru, Yoongi membantu Jungkook untuk bangun. Dibersihkannya gel lengket dari perut Jungkook dengan tisu.

“Cepat bangun, Koo. Kita pergi dari sini.” bisik Yoongi lagi sembari memapah Jungkook turun dari atas ranjang pasien.

Jungkook berdiri kesulitan, ia mengerat lengan Yoongi sebagai tempatnya bertumpu. Dipandanginya Yoongi dengan raut bingung bercampur takut, “M-mau kemana? P-perutku?”

“Kemanapun, asal tidak disini.”

.

.

.

Pria itu memandangi botol vitamin yang ada di tangannya, lalu bersiul senang. Ditariknya kenop pintu yang menghubungkan ruangan pribadinya ke ruang pemeriksaan. Ia begitu antusias menangani sepasang kekasih yang baru saja dikaruniai seorang bayi. Dengan senang hati ia akan membantu mereka. Namun begitu sang dokter melangkah keluar dari pintu. Kesunyian menyambutnya. Dua orang yang tadi saling berbisik di ranjang pasien sudah menghilang entah kemana.

“Loh? Kemana mereka,” tanyanya pada diri sendiri. Keningnya mengerut, dengan bingung ia memutar pandangan. Namun memang tidak ada seorangpun di ruangan ini. Tidak ada seorangpun kecuali dirinya dan seorang lagi yang tengah terpekur tak sadarkan diri di bawah meja dokter.

Pria itu menarik kursinya, memberi akses lebih luas baginya untuk melirik eksistensi seorang manusia tambun yang pingsan di bawah meja.

“Dokter Hong, kau melihat mereka?” tanyanya dengan ekspresi bingung, dan tentu saja, pria itu tidak mendapatkan jawaban. Bertanya pada orang yang pingsan, jawaban seperti apa yang mungkin ia dapatkan?

“Ah, sepertinya mereka sudah sadar. Padahal masih ada yang ingin kusampaikan…” ujarnya sembari berdecak kecewa. Pria itu membanting tubuhnya ke atas kursi, lalu mendengus lelah. Meski dengusannya barusan sama sekali menghembuskan udara. Ia bahkan tidak membutuhkan oksigen lagi untuk bernapas. Mengingat ini… Pria tadi tersenyum sedih. Diraihnya tag nama yang tergeletak di atas meja.

Tulisan ‘Dr. Kim Namjoon’ terukir di dalamnya.

Sekali lagi, pria itu tersenyum sedih. Lalu sesaat kemudian, senyum sendunya berubah menjadi kikik tawa. Ia melirik lagi ke bawah meja. “Jangan marah begitu, Dokter Hong. Hanya kuganti sebentar, nanti kupasangkan lagi tag namamu.” ujarnya sembari tergelak. Geli sekaligus sedih memandangi tag nama dokter yang ada di tangannya.

“Tsk! Tsk! Tsk! Apa lagi yang kau tertawakan, Dokter Kim?”

Namjoon mendongak. Dan tersenyum menemukan sosok wanita itu berdiri di pintu. “Nakal sekali Jinnie ini, sudah kubilang jangan panggil aku Dokter Kim… Cepat kemari!”

Perawat tampan yang dipanggil ‘Jinnie’ itu terkekeh senang, lalu ia melangkah mendekat dan langsung saja bergelayut manja pada Namjoon. “Baik, kalau kupanggil Joonie~ Apa imbalan untukku?”

“Hadiahnya…” Namjoon memutar matanya, berpura-pura berpikir sembari menarik tubuh istrinya untuk duduk di atas pangkuannya. “…Aku memberikan kehidupan baru untuk anak kita. Kehidupan dan kebahagiaan yang dulu tidak bisa kita berikan padanya, Jinnie.”

“Kau yakin mereka orang yang tepat?” perawat itu bertanya lagi, matanya memancarkan keraguan. Ia melingkarkan kedua tangannya ke leher Namjoon.

Namjoon mengangguk yakin. “Sedikit lebihnya mereka nyaris sama seperti kita dulu. Dan bayi itu… Bisa menjadi penyatu bagi mereka.”

Perawat cantik itu mengangguk-angguk, meski awalnya ada sedikit keraguan, tapi ia percaya sepenuhnya pada keputusan Namjoon.

“Sekarang cium aku. Puji dulu kehebatan suamimu ini, perawat Kim Seokjin!” Namjoon menarik kepala Seokjin dengan paksa, lalu memagutnya beringasan. Namun Seokjin tidak memprotesnya, perawat cantik itu justru terkekeh senang dan balas memagut bibir suaminya.

Lama mereka berciuman, memakan wajah satu sama lain. Mungkin sejam akan berlalu hanya dengan mereka yang saling bercumbu… Kalau saja Seokjin tidak segera melepaskan diri dan mencubit bibir suaminya.

“Kita harus segera pergi dari sini, sayang. Setelah anak kita terlahir kembali, kita sudah tidak boleh menampakkan diri lagi di dunia ini.” ujar Seokjin setengah mengingatkan.

Namjoon mendengus, direngkuhnya pinggang ramping Seokjin. “Tunggulah sebentar, Jinnie… Aku rindu masa-masa ini.”

 

.

.

.

.

.

.

Yoongi membanting pintu mobilnya dan segera melangkah berputar menuju pintu kiri. Dengan tergesa ia membimbing Jungkook keluar dari sana. Yoongi benar-benar tidak peduli kalau sampai ada polisi lalu lintas yang membuntuti mereka. Berkendara dengan kecepatan 120 km/jam di pusat kota Seoul sudah cukup menjadi alasan jika ada polisi yang ingin menahannya. Tapi Yoongi sudah tidak bisa berpikir lagi, isi kepalanya sudah terlalu kacau jika harus dipaksa berpikir lurus. Yang terlintas dalam kepalanya hanya melindungi Jungkook, dengan membawanya pulang.

Prasangka aneh selama ia berada di rumah sakit tadi sudah cukup membuatnya berpikir dua kali, ia tidak ingin membawa Jungkook kemana-mana dulu. Setidaknya sampai ia mendapat ide harus melakukan apa. Tapi lagi-lagi Yoongi dibuat bingung saat Jungkook mencengkeram lengannya kuat-kuat, suara ringisan dan tangis tertahan itu nyaris membuat Yoongi tercekat.

Wajah Jungkook pucat pasi, keringat membasahi pelipis hingga tengkuknya, mata pemuda itu mengerat tertutup seakan ia tengah menahan rasa sakit yang luar biasa. Jungkook meremas bawah perutnya dengan tangan gemetar, rasa sakit itu berpusar disana, membuatnya kesulitan untuk fokus dan berdiri dengan kekuatan sendiri. Ia membiarkan seluruh tubuhnya bertumpu pada Yoongi.

H-hyung…” rintihnya lemah.

Yoongi segera merangkul bahu Jungkook dan menahan tubuh kekasihnya itu dengan sekuat tenaga, berusaha memapah langkah Jungkook memasuki pagar yang hanya berjarak tiga meter lagi dari tempat mereka berdiri.

Tapi Jungkook mengerat langkahnya, seakan bertumpu dan menolak bergerak kemana-mana. Suara tangis tertahan itu terdengar makin memilukan, Yoongi harus menggigit bibir untuk menahan buncahan sesak di dadanya sendiri. Melihat Jungkook kesakitan seperti itu, rasanya ia— tidak sanggup.

Yoongi merangkul pinggang kekasihnya makin erat, mulai merasa frustasi karena Jungkook menolak bergerak dan justru menggeleng gemetaran.

“Koo, pelan-pelan. Angkat kakimu pelan-pelan sayang—“ Yoongi menginteruksi, mencoba memapah sebelah kaki Jungkook maju. Namun lagi-lagi, pemuda jangkung itu menggeleng. Wajahnya yang penuh keringat mendongak, dengan lemas ia menyandarkan kepalanya ke bahu Yoongi. Matanya mengerjap lemah.

Ia berbisik pada Yoongi. “Kalau kita kembali ke rumah. Lalu apa yang harus kita lakukan?”

Yoongi tercenung. Ia menelan ludahnya getir, tidak mampu menjawab dan pada akhirnya ia benar-benar bungkam. Memaksa sebelah kaki Jungkook maju. Ia tidak bisa memikirkan hal lain kecuali kembali ke dalam rumahnya. Sesuatu berbisik dalam hatinya, seakan seluruh dunia luar ini mencurigakan baginya. Berada di dalam rumah, terasa lebih baik.

Tanpa Yoongi sadar bahwa awal dari semua pelik ini adalah rumahnya sendiri.

Yoongi memang tidak akan menyadarinya. Tapi Jungkook mengingat jelas keganjilan yang dialaminya dua hari terakhir. Bangunan di hadapannya ini seketika berubah menjadi tempat yang semakin asing, bulan-bulan yang dialuinya di sini belum pernah membuatnya merasa biasa. Dan dengan kejadian terkutuk yang menimpanya sekarang, Jungkook merasa semakin yakin untuk tidak memijakkan kakinya kembali ke rumah itu.

“Y-Yoongi-ah…” Jungkook terisak lagi, berusaha menahan kakinya sembari terus menahan sakit yang mendera tubuhnya bertubi-tubi. Namun Yoongi tetap memaksa, membuat Jungkook terisak makin kencang dan mencakar lengan Yoongi dengan kuat. “Hyung! Aku tidak mau masuk ke dalam rumah! Kita ke rumah sakit saja! Ke rumah sakit manapun, aku mau hyung!”

“Kita kembali dulu, setelah itu akan kutelpon Hoseok dan Jimin.”

H-hyung—“ Jungkook tidak bisa menolak lagi, tubuhnya terlalu lemas seperti kertas yang tertiup angin. Ia tidak bisa mengelak saat Yoongi menggiring tubuhnya yang semakin kehilangan tenaga menuju pagar rumah.

Jungkook menangis terisak, merasa frustasi saat Yoongi bertingkah seakan tidak mendengar penolakannya.  Ia sudah berniat mengalah, saat itu. Merasa tidak memiliki pilihan lain saat Yoongi bahkan tidak memberikannya. Tapi pandangannya yang buram tak fokus, menangkap sosok seseorang di balik pagar tetangga. Mengintip, tanpa bermaksud menyembunyikan diri.

“Ssst!”

Jungkook mengeram takut, ia menarik lengan kemeja Yoongi. Merasa gentar, namun anehnya Jungkook tidak bisa mengalihkan pandangannya dan terus bertatap muka dengan sosok berkacamata hitam yang mengenakan bandana merah itu.

“Y-Yoongi!”

Yoongi masih berjuang memapah Jungkook, ia mengabaikan suara jerit tertahan kekasihnya. Mengira itu sebagai penolakan Jungkook yang tengah panik. Sampai suara asing itu kini ikut terdengar jelas olehnya.

“Ssssst! Hei, kalian!”

Hal pertama yang dilakukan Yoongi saat menyadari keberadaan orang lain di dekatnya adalah, merangkul Jungkook. Melindungi tubuh depan kekasihnya sembari mendelik balik pada sosok yang berdiri begitu dekat dari pagar pemisah yang hanya setinggi dada.

Sesungguhnya, Yoongi merasa sama takutnya seperti Jungkook. Melihat seseorang dengan penampilan mistik dan mata yang ditutup kacamata hitam bulat. Kalung-kalung batu  bertumpuk menghiasi leher ramping itu. Anting-anting besar yang dikenakannya juga menambah aksen mengerikan yang membuat Yoongi mulai mengira-ngira; Sejak kapan ia memiliki tetangga seorang cenayang? Apa orang ini ada hubungannya dengan situasi yang menimpa mereka?

Yoongi menahan napas, bermaksud memunggungi orang itu dan memapah Jungkook kembali. Semakin cepat ia bisa mencapai rumah, semakin baik!

“Kau tidak bisa lari, roh itu ingin dibebaskan. Jangan lari.”

Yoongi tetap menyeret kekasihnya, mengabaikan suara yang terus memanggil itu meski hatinya mulai berteriak ragu.

“Kemarilah, aku bisa menolong kalian. Jangan kembali ke rumah itu!”

“Yoongi—“ Jungkook ikut menahannya. Yoongi menggeleng, semakin ngotot ingin membawa Jungkook kembali. Seakan ada sesuatu yang menariknya dari dalam rumah itu.

Rumah adalah tempat teraman untuk kalian.

Yoongi menyeret Jungkook dengan langkah tertunduk. Berusaha mengabaikan teriakan tetangga eksentrik itu dan mempercepat langkahnya untuk mencapai beranda rumah.

“Angkat kepalamu, pemuda!”

Yoongi merasakan ketegangan itu, tapi ia mencoba mengabaikannya.

“Lihat apa yang menanti kalian di jendela rumahmu!”

Yoongi tidak tahu, ada gerangan apa dalam perintah itu. Namun kepalanya tidak lagi bisa ditundukkan, seakan dagunya ditarik naik, Yoongi mendongak terpaksa dan seketika itu— ia mendelik. Langkahnya terhenti dan cengkeramannya di pinggang Jungkook mengerat.

Di balik jendela depan kamar tamunya— sesosok bayangan wanita tengah berdiri, mengenakan seragam perawat dan mengulurkan tangannya pada mereka. Sekujur tubuhnya penuh darah, wajahnya pucat pasi dan matanya melotot geram. –Mengetahui Yoongi telah tersadar dan nyaris terhuyung mundur karena ketakutan.

Hyung!” Jungkook tidak melihat apapun. Tapi merasakan kekakuan dan ketegangan yang tiba-tiba menghiasi wajah Yoongi, Jungkook tidak berniat untuk menanyakan apapun lagi. Kali ini Yoongi berbalik, menyeretnya makin kasar seakan ingin keluar dari halaman rumah cepat-cepat.

Jungkook meringis, bertumpu pada lengan Yoongi erat-erat saat sekujur kulit ditubuhnya seakan dikerat paksa.

“Bantu aku, nona!” Yoongi berseru panik. Tidak lagi peduli siapa wanita cenayang itu. Siapapun orang ini, setidaknya manusia jauh lebih baik dijadikan tempatnya bertumpu daripada makhluk gaib tadi!

“Pelan-pelan saja, pelan-pelan.” Cenayang itu tersenyum samar sembari membantu Yoongi memapah Jungkook. Usapan tangannya di punggung Jungkook seakan diselingi sihir, karena begitu tersentuh oleh tangan cenayang itu, Jungkook berhenti mengerang, meski napasnya masih terengah tak beraturan.

“Makhluk itu tidak akan membuntuti kita, setidaknya tidak secepat itu.”

Yoongi menelan ludah, ingin bertanya dalam kepanikan namun lidahnya terasa kelu.

“Dan jangan panggil aku nona, aku namja sialan!”

Yoongi makin tercekat.

.

oOoOoOo

.

“Baringkan dia di sofa.”

Yoongi segera membaringkan Jungkook dengan hati-hati, sesuai pada interuksi tuan rumah. Cenayang pria itu menghilang di balik ruangan, meninggalkan dua tamunya sendirian.

Yoongi berjongkok di sisi kekasihnya yang kembali meringis mengerati perut. Yoongi ikut meringis, seolah merasakan kesakitan Jungkook. Digenggamnya tangan Jungkook seakan mencoba memberikan kekuatannya yang sesungguhnya sudah sama-sama surutnya.

“Sabar, Koo.” Bisik Yoongi sembari mencium kening berkeringat Jungkook.

Yoongi sempat melirik ruangan tempat mereka berada sekarang. Pencahayaannya terlalu temaram, banyak perabotan yang nyaris membuat ruangan ini tidak berbentuk. Lemari disusun renggang satu sama lain, nyaris tidak menyentuh dinding di belakangnya. Yoongi tidak ingin mengira-ngira, apakan susunan ini semacam kewajiban bagi para cenayang. Tapi kalau diperhatikan lebih jeli, sofa yang berada di tengah ruangan dan diletakkan berhadapan dengan meja TV, seakan menunjukkan kalau mereka sekarang berada di ruang keluarga.

Yoongi menghela napas saat ia mencoba membayangkan kembali sosok yang dilihatnya tadi berdiri di dalam rumahnya.

Sejak kapan makhluk itu berada di sana? Yoongi menggeleng bingung sebelum menghela napasnya lagi. Ia mendongak menatap wajah kekasihnya saat Jungkook meremas tangannya erat, lalu pemuda itu menjawab lirih seakan-akan ia mengerti pada bisikan batin Yoongi.

“Hoseok-hyung sudah mencoba mengatakannya padamu. Rumah itu berhantu, Min Yoongi! Tapi kau tidak percaya!” tangis Jungkook kembali pecah, namun dengan tenaga terkuras, akhirnya pelampiasan frustasi itu hanya tersampaikan oleh tangis-tangis kecilnya yang tertahan. Jungkook bahkan merasa kesulitan saat ia harus menarik napasnya, ditambah gejolak menyakitkan yang semakin meradang di dalam perutnya—

Jungkook bahkan tidak tahu, apakah ia akan selamat melalui ini. Atau tidak.

M-mianhae, mianhae Koo. Ini salahku.” Yoongi berujar dengan bibir bergetar, seakan pemuda itu tengah mati-matian menahan airmatanya sendiri. Sebuah buncahan frustasi membumbung tinggi dalam dadanya. Melihat Jungkook menderita karena dirinya, Yoongi tidak bisa menyalahkan siapapun kecuali dirinya sendiri. Bahkan tidak pada makhluk mengerikan yang dilihatnya tadi.

Jungkook mengerjap, merasa seakan-akan rasa sakit itu tengah mencoba menelan kesadarannya. Ia mati-matian bertahan untuk tetap sadar, dengan menatapi wajah Yoongi lewat sorot matanya yang makin sayu.

“Aku mau pindah, hyung.” Suara Jungkook berbisik, makin melemah. Yoongi ketakutan, diusapnya kening Jungkook dan ditahannya sedikit tenaga di atas sana, mencoba menjaga kekasihnya untuk tidak terlelap atau memejamkan mata. Ia terlalu takut. Hingga kepalanya refleks mengangguk gugup.

“Secepatnya. Kita akan pindah secepatnya. Kau tidak akan kembali ke sana lagi. Biar kutelpon Jimin agar mencarikan apartemen sementara untuk kita.”

Jungkook meringis. Yoongi tidak yakin apakah kekasihnya itu benar-benar mendengar ucapannya barusan. Tapi ia bersungguh-sungguh dengan ucapannya, Yoongi baru akan berniat meraih ponselnya dari dalam saku, saat tuan rumah kembali dengan membawa kotak kayu seukuran brangkas kecil.

“Masih sakit, Jungkook-ah?” cenayang itu bertanya. Yoongi menelan ludahnya, menahan pertanyaan yang berkelebat di kepalanya tentang darimana orang ini mengetahui nama mereka. Namun tampaknya, ia memang benar-benar berhadapan dengan seorang cenayang. Tanpa melontarkan pertanyaan itu pun, Yoongi mendapatkan jawabannya.

“Aku tahu nama kalian sejak detik kalian memijakkan kaki di rumah terkutuk itu.”

Tapi jawaban itu tidak memuaskan Yoongi, pemuda itu justru mendelik. Makin merasa tegang. Meski kali ini lidahnya tidak lagi kelu. “Kau memata-matai kami?” serunya tidak percaya, setengah merasa kesal pada sikap lancang orang ini.

“Aku tidak memata-matai,” balas pria itu tidak terima. Suaranya meninggi beberapa oktaf. “Ada banyak suara-suara halus berasal dari rumah itu. Dan dinding pemisah pagar rumah kita tidak setebal yang kau kira. Bahkan kalau bukan dengan kekuatanku sendiri untuk membatasinya, makhluk yang kau lihat tadi sudah akan berada disini untuk membunuh Jungkook dan juga kau!”

Yoongi tercekat. Nyaris tidak bisa berkomentar. Jantungnya berdetak kencang. Remasan tangan Jungkook di lengannya ikut mengerat menandakan pemuda itu mendengar obrolan mereka.  Yoongi semakin dibuat gelisah oleh jawaban setengah mengumpat dari sang tuan rumah. Seakan kabut begitu pekat memenuhi isi kepalanya.

Yoongi balas meremas tangan Jungkook. Bibirnya gemetar, lalu dengan suara berbisik, pertanyaan itu seakan terbebas begitu saja dari mulutnya.

“A-apa— Apa yang ada di rumahku?” Makhluk apa yang dilihatnya tadi?

“Kau membeli rumah itu tapi tidak tahu pada sejarahnya.” Suara itu kembali tenang. Pria itu memindahkan dua cangkir teh di atas kotak yang dibawanya ke atas meja. “Pertama, kau harus tahu. Namaku Heechul, panggil aku Heenim. Aku tidak berniat jahat, kalau kau berpikir begitu.”

Heechul menggeser posisi Jungkook, berusaha mendapatkan ruang untuknya duduk di sisi kaki pemuda yang masih terus meringis itu.

“Maaf.” Yoongi merasakan tangannya gemetar, tidak bisa menolak dan justru menggeser posisinya mendekat ke kepala Jungkook. Ada bisikan jauh di dalam hatinya yang mengatakan bahwa sikapnya sejak tadi memang begitu lancang. Ia ingin percaya pada orang ini namun akal sehatnya terus menolak karena sosok ini masih begitu asing bagi mereka.

Lagi-lagi, seakan membaca pikiran Yoongi, Heechul berujar tenang, “Kalau kalian tidak percaya padaku. Kalian boleh memilih untuk keluar dari sini. Aku tidak akan menghalangi. Tapi jangan kembali ke rumah itu, hanya itu pesanku.”

Jungkook mengeram, kerutan di wajahnya bertambah. Matanya yang terpejam mengerut menunjukkan kesakitan yang dalam. Ia segera meremas lengan Yoongi, bermaksud menahan pemuda itu kalau kekasihnya sungguh-sungguh berniat untuk membawanya pergi. Dengan bibir pucat yang gemetar, Jungkook berbisik terbata-bata. “T-tidak— Aku m-mau –disini.”

Yoongi menelan ludah, ia menghela napasnya sembari melirik Heechul dari sudut matanya. Saat itu Yoongi tahu, ia memang tidak bisa menolak permintaan kekasihnya. Karena benar, kemana lagi mereka harus pergi? Rumah sakit bahkan ikut mencurigakan. Memanggil Jimin dan Eeteuk? Apa yang bisa mereka lakukan?

“Baiklah. Kami akan bertahan disini, tapi kalau kau melakukan sesuatu yang mencurigakan, kami akan segera pergi.” Yoongi menatap Heechul tajam, namun pria itu justru membalas dengan senyum tipis.

“Lanjutkan ceritamu, tentang rumah itu.”

Heechul berdehem, ia meraih cangkir di atas meja dan menawarkannya pada Yoongi. “Minumlah, rileks saja.” Ujarnya sembari tersenyum tulus. Meski ragu, alih-alih Yoongi tetap menerimanya.

Sejenak keheningan menyelimuti mereka. Heechul tidak langsung bercerita. Ia membuka kacamatanya terlebih dulu, mengejutkan Yoongi karena sosok misterius yang mengenakan badana dan kacamata hitam besar itu ternyata memiliki wajah secantik ini.

“Enam pemilik sebelumnya, tinggal disana selama beberapa bulan saja.” Heechul memulai. “Mereka segera pindah karena tidak betah. Alasannya beragam. Ada yang bilang tidak cocok dengan cuaca disini, ada juga yang mengatakan tempat ini terlalu sepi, kurang menyenangkan. Yang paling aneh, lima diantaranya adalah pasangan kekasih atau suami istri, dan semuanya mengalami keguguran beberapa kali di rumah itu. Tapi yang lebih mengerikan lagi, yang terakhir…”

Yoongi memandang Heechul dengan tegang, ia menelan tegukan pertama tehnya perlahan. Rasa manis itu nyaris terkecap hambar. Sesaat, cairan teh dalam gelasnya bergolak, karena gemetar yang mengalir dari urat-urat tangannya.

“—Pemilik terakhir rumah itu kehilangan putri semata wayang mereka di sana. Di rumah itu. Jatuh dari lantai dua, menghantam balkon belakang.”

Yoongi nyaris menjatuhkan cangkir di tangannya. Ia meletakkan cangkir itu dengan serampangan, menimbulkan suara genting dua kaca yang saling berbenturan. “Ter-terjatuh!” pekiknya gelisah. “T-Tapi! Makelar yang menjual rumah itu padaku tidak mengatakan apapun! Dia bilang pemilik sebelumnya sudah tinggal disana selama lima tahun. Dan rumah itu hanya kosong selama tiga bulan!”

“Aku tinggal disini selama dua belas tahun, nak. Dan kau berpikir penjual itu akan mengatakan hal yang sebenarnya? Maka rumah itu tidak akan pernah terjual kalau ia melakukannya!”

“T-tapi bagaimana mungkin. Kematian seperti itu—“ Yoongi tetap tidak percaya, ia menunduk dengan sejuta kemelut dalam batinnya. Bagaimana mungkin perkara kematian seperti itu disembunyikan darinya!

Heechul menghela napas. Berusaha memberi jeda agar Yoongi sedikit lebih tenang. Ia beralih, membuka kotak perkakas yang dibawanya tadi. Membongkar beberapa peralatan: lilin-lilin putih, pemantik api, botol kecil berisi air, minyak, bulit-bulir kopi dan beras yang bercampur dalam satu wadah, pisau bedah, alkohol, jarum, dan berbagai botol-botol berisi cairan obat. Yoongi melirik benda itu satu persatu, dadanya kembali berdegup kencang, namun ia tidak berani bertanya. Kalau sampai terjadi hal tidak terduga, kalau orang ini bermaksud menyakiti Jungkook-nya— ia tidak akan berpikir dua kali untuk membunuh pria ini.

Heechul meraih lilin-lilin dan pemantik. Ia berdiri, memutar langkahnya untuk menyusun satu demi satu lilin mengelilingi sofa dan meja. Yoongi hanya bisa memperhatikan saat pria itu menyalakan setiap lilin, dan saat itulah Yoongi sadar—‘Mereka berada di atas lantai yang diukir dengan cat merah membentuk lambang pentagram! Sofa dan meja tepat berada di tengahnya. Membuat goresan merah di atas lantai gelap itu terlihat makin samar. Merasa gugup dan semakin gelisah, Yoongi tidak bisa lagi menahan dirinya.

“Kau menjalankan ritual sesat untuk kekasihku!” pekik Yoongi kehilangan kesabaran. Ia sudah nyaris berdiri dan menyerang pria itu, kalau saja Jungkook tidak menahannya dengan merengkuh sebelah lengannya. Jungkook membisikkan namanya dengan lemah seakan-akan menyuruhnya tetap tenang dan menuruti  tuan rumah.

“Aku tidak bermaksud membahayakan kalian. Jadi diam dan perhatikan. Aku sudah mengatakan padamu, kalau kau tidak percaya, kalian boleh pergi. Hal itu masih berlaku sampai saat ini.”

Mendengar tantangan itu, Yoongi malah semakin merasa ragu. Dengan napas memburu, mau tidak mau ia kembali ke posisi duduknya lagi. Bersimpuh di sisi Jungkook dan memperhatikan gerak-gerik Heechul dengan curiga.

Heechul selesai memasang lilin di setiap sudut pentagram yang mengelilingi tamunya. Semuanya sudah menyala. Pria itu kembali duduk di sisi Jungkook, kali ini meraih botol berisi minyak dan menuangkan setengah ke telapak tangannya.

“Tanpa mereka bercerita pun, aku tahu apa yang terjadi disana.” Heechul kembali berujar, sembari menyikap jubah Jungkook.

Yoongi tetap mengawasi, sesekali ia menatap wajah Heechul yang kini berubah begitu serius. “A-apa yang terjadi disana?”

“Kau tahu kenapa anting besar ini terus bergantung di telingaku?” Heechul memalingkan wajahnya, menunjukkan anting logam bulat dan besar yang menghiasi telinganya. Yoongi menggeleng.

“Benda ini membantuku mendengar hal-hal yang tidak bisa kalian dengar. Termasuk seluruh rahasia mengerikan yang menimpa rumah itu.”

Yoongi menelan ludah mendengarnya.

Setelah membuka jubah, kini Heechul menyikap kaus yang melindungi tubuh Jungkook, menunjukkan dengan jelas bagian perut yang membuncit itu di hadapan Yoongi. Kulit putih Jungkook tampak begitu rapuh. Heechul mengolesi minyak di tangannya ke atas sana, membuat bagian itu mengilap dan tampak makin mengerikan.

Yoongi ikut meringis bersama Jungkook. Hanya melihat keadaan kekasihnya saja, cukup membuatnya merinding. Menciptakan gejolak aneh di dalam perutnya seakan-akan ia ikut merasakan kengerian yang dialami oleh kekasihnya.

Heechul memutar tangannya dengan lembut, tapi dari respon Jungkook yang terus menggeliat gelisah, Yoongi tahu rasa sakit itu belum pergi dari tubuh kekasihnya.

“Pemilik sebelumnya lagi, yang memulai semua tragedi menyeramkan itu.” Suara Heechul terdengar begitu pelan di tengah keheningan dan desis ringis Jungkook. “Keduanya bekerja di rumah sakit, suaminya dokter dan istrinya perawat. Mereka punya seorang putri, cantik, masih belia. Aku tidak tahu berapa usianya tapi sepertinya— masih lima tahun.”

Sesaat, Yoongi bisa menangkap senyum sedih mengukir wajah Heechul di tengah temaramnya penyinaran ruangan.

“Orang tuanya terlalu sibuk, mereka jarang memperhatikan putrinya. Seluruh tugas untuk merawat putri mereka dilimpahkan pada seorang baby sitter muda yang disewa sejak mereka membeli rumah itu. Dan putrinya—”

“Keluarga itu mengalami hal yang sama? Anaknya jatuh dari lantai dua?” Yoongi bergidig saat ia mencoba-coba menebak cerita selanjutnya.

“Bukan.” Heechul menggeleng, namun tidak langsung menjawab Yoongi. Kini wajahnya tertunduk dan pria itu tampak fokus menatap perut Jungkook. Sebelah tangannya masih berada di atas sana.

“Bukan? Apa yang terjadi mereka?”

Yoongi tetap tidak mendapat jawaban. Padahal ia sudah tidak sabar mengetahui lebih banyak tentang masa lalu rumahnya.

“Heechul-sshi!”

“Tahan!” Heechul menodongkan telapak tangannya di depan wajah Yoongi, menyuruh pemuda itu untuk diam. Yoongi tergagap, bingung melihat sikap Heechul. Namun Yoongi benar-benar tidak terpikir untuk menanyakan apapun lagi begitu dilihatnya Jungkook berjengit. Tubuh kekasihnya itu terangkat tinggi seakan Jungkook tengah menahan rasa sakit yang luar biasa. Namun bukan itu hal yang paling mengerikan.

Yoongi tercekat saat dilihatnya tangan Heechul menekan perut kekasihnya dengan kuat, tampak jelas mengikuti jejak gerakan yang membekas di kulit putih perut Jungkook.

“A-akh! H-hyungh—“ Jungkook mengejang, mencengkeram lengan Yoongi saat sekujur tubuhnya nyaris tidak sanggup menahan rasa sakit itu lebih lama. Kakinya terangkat, nyaris melengkung untuk melindungi diri. Namun tenaga Heechul lebih kuat menahan pinggulnya dan terus menekan tepat di bagian tengah perutnya, tempat dimana segala pusat penderitaannya berasal.

“Apa yang kau lakukan!” Apa-apaan! Cenayang ini bermaksud membunuh Jungkook? Yoongi memekik panik, berusaha memisahkan Jungkook dari cenayang itu.

Tapi begitu melihat perut Jungkook bergolak lagi, mencuat dengan lebih ekstrim ke arah kanan lalu ke kiri, mencetak gambaran jelas sebuah kaki dan tangan mungil, lalu membentuk bulatan wajah yang samar. Yoongi membatu, mendelik shock— ia tidak bisa merapalkan doa apapun. Selain memegangi bahu Jungkook dengan tangannya yang juga gemetaran.

“Siapa kau? Kenapa kau mengganggu pemuda ini?” Sekujur tubuh Heechul gemetar, cenayang itu mendongakkan kepalanya lalu memejamkan mata, tampak merapalkan sesuatu saat bersamaan, perut Jungkook kembali bergolak, seakan menjawab pertanyaan Heechul dengan melintas jelas tepat di bawah tekanan tangan cenayang itu.

“U-UGH!” Jungkook mengerang, pupil matanya terangkat naik saat aliran darahnya berpacu deras menuju otaknya, seakan-akan seluruh rasa sakit itu kini berpusar menuju kepala lalu membendung dan berniat meledak melalui ubun-ubunnya. Pemuda itu menahan napas, lalu menghembuskannya dengan tergesa saat rasa sakit yang baru saja menghantam tubuhnya bertubi-tubi seakan diangkat dengan begitu cepatnya. Ia nyaris tidak merasakan apapun selain kelu, sekujur tubuh hingga perutnya berkeringat, dingin.

“A-ada apa dengan kekasihku?” Yoongi memegangi wajah Jungkook dengan panik. Kekasihnya berhenti mengerang, tapi deru napasnya pendek dan tergesa, mata yang sayu dan terus mengerjap berusaha menahan kesadaran itu tak ayal membuat Yoongi terus dilanda ketakutan. “Jungkook-ah? Jungkook-ah, kau dengar aku. Stay with me, stay with me, Kookie. Jangan tertidur, kumohon.”

Yoongi benar-benar takut saat itu. Hingga Heechul meremas bahunya lalu tersenyum lemah.

“Dia Eunyoung.”

“Eunyoung?”

“Putri dokter dan perawat itu.”

Yoongi tercekat. Ia menunduk dan bertukar pandang dengan mata sayu Jungkook.

“Meninggal sepuluh tahun yang lalu, dibunuh oleh baby sitternya dengan mengenaskan. Perawat itu penganut sekte hitam. Mentalnya terganggu sejak bayinya mati beberapa tahun sebelumnya. Sampai sekarang aku masih tidak mengerti kenapa harus Eunyoung—”

“Lalu kenapa harus kekasihku? Bagaimana dengan Jungkook? Kau harus menolong Jungkook!” Yoongi menuntut dengan frustasi, ia bergidig saat melirik perut buncit Jungkook dan membayangkan roh anak yang mati penasaran itu sedang mencoba merebut hidup kekasihnya.

“Dia ingin dilahirkan kembali, lewat kekasihmu. Aku akan membantu proses kelahirannya.

“M-melahirkan?” Jungkook berbisik tidak percaya, suaranya lirih dan lemah. Ia menatap Yoongi dengan mata yang basah. Nyaris tidak memiliki tenaga yang tersisa bahkan hanya untuk gemetaran dalam dekapan Yoongi.

“Ya, melahirkan.”

“L-lewat mana?” Harus bagaimana? Yoongi mendengus putus asa.

“Membelah perutnya, lewat mana lagi? Kau pikir bayi itu bisa lahir lewat anusnya?”

Jungkook tercekat, sesaat, sebelum tangisnya pecah menjadi isakan kecil yang tersendat-sendat. “Yoongi!” pekiknya ketakutan.

“Tunggu disini, aku akan cari sesuatu yang bia meringankan rasa sakitnya.”

Mendengar tangis Jungkook yang jauh lebih putus asa, Yoongi semakin kebingungan, tidak tahu harus melakukan apa lagi. Selain merengkuh bahu Jungkook erat-erat dan membiarkan

“Aku tidak mau mati.” Jungkook tiba-tiba mengingkari keputusannya untuk menyerah. Setelah sedekat ini, ternyata kematian itu tampak jauh lebih menakutkan untuk dihadapinya dengan cara ini.

“Aku tidak akan membiarkannya, Koo. Kalau kau mati, aku akan menemanimu.”

.

oOoOoOo

.

Yoongi dibuat ternganga. Saat Heechul kembali membawa nampan lainnya, berisi gelas dan dua botol vodka.

“Kupikir kau akan membawa obat bius!”

“Ini sama seperti obat bius.” Heechul meletakkan dua botol minuman keras itu diantara perkakas mistisnya dan membaginya ke dalam tiga gelas.

Yoongi tercekat, melihat cenayang itu dengan tenangnya menuangkan vodka ke dalam gelas, tidak bisa dipercaya. “Alkohol tidak baik untuk ibu hamil!” Kalimat penuh putus asa itu keluar begitu saja dari bibirnya.

Hyung!” Jungkook menjerit, setengah menangis. “Tidak lucu.”

“Aku juga tidak melucu, baby.” suara Yoongi terdengar depresi.

“Kalau kalian berniat pergi, kusarankan. Jangan.” Heechul memberikan gelas itu satu kepada Jungkook, dan satu yang berisi lebih sedikit kepada Yoongi. “Tidak ada jalan lain, kita tidak punya banyak waktu. Sebelum makhluk itu kembali.”

“M-makhluk?”

“Yang kau lihat tadi di rumahmu.”

“Kupikir rumahmu aman!”

“Perlindungnya tidak akan bertahan lama.”

Yoongi menggeleng lemah, tidak percaya pada apa yang baru saja didengarnya. Setelah anak roh itu menitis dan mencoba bereinkarnasi menggunakan tubuh kekasihnya, sekarang setan yang dilihatnya tadi ternyata ingin ikut campur juga? Yoongi menegak vodka itu dengan emosi, tiba-tiba rasa takutnya berubah menjadi amarah.

“V-vodka berpengaruh? Tapi kau ingin membelah perutku, h-hiks—“ Jungkook memegang gelasnya dengan gemetar. Ia menegak cairan kuning itu perlahan dengan bantuan Heechul.

“Tidak akan kubiarkan kau mati, Jungkook-ah. Percaya padaku.”

Jungkook menggigit bibirnya, masih gemetar meski alih-alih ia mulai percaya pada cenayang itu. Senyum lembut itu sedikit menenangkan hatinya, dan gerak tangan Heechul yang bergerak pelan nyaris membuatnya terlena. Hingga pijatan di atas perutnya berubah menekan.

“A-akh!”

“Sssh, tidak apa-apa Jungkook-ah. Aku akan mengoleskan minyak ini di atas perutmu, dan aku janji, sakitnya akan berkurang lima kali.” Heechul meyakinkan Jungkook sembari menunjukkan botol kecil berisi minyak dan dan biji zaitun itu.

“I-itu berpengaruh?”

“Tentu saja chagi, ini bukan zaitun sembarangan.” Heechul terkekeh sembari menuang minyak itu di atas perut Jungkook.

“Apa aku tidak akan merasa sakit?” Jungkook mengerjap.

“Tentu saja sakit, tapi tidak sesakit itu.”

Jungkook meringis lagi, bibirnya gemetar. Tapi akhirnya ia memilih untuk tidak memikirkannya. Lima kali lebih ringan, jauh lebih baik daripada tidak sama sekali.

Jungkook menunduk, suara isaknya masih terdengar samar saat ia mengawasi cenayang itu mengusapi perutnya. Efek alkohol itu mulai merasuk dalam syarafnya. Saat mulai merasa mengantuk, ia menyandarkan kepalanya di bahu Yoongi.

“Pejamkan matamu, kau tidak merasakan sakit apapun— tidak merasakan sakit apapun—“ Heechul mengusap wajah Jungkook, seakan meninabobokan pemuda itu.

Yoongi menyaksikan bagaimana usapan tangan Heechul berhasil menenangkan Jungkook, deru napas kekasihnya bahkan berhembus teratur. Meski mata itu tetap terbuka, Yoongi bisa melihat ketenangan bercampur kekosongan disana.

“Aku akan memulainya sekarang.” Heechul menarik kaus Jungkook makin tinggi. Ia mengukir belahan perut Jungkook dengan sebuah spidol hitam sebelum meraih pisau kecilnya.

Yoongi memalingkan wajahnya. Ia memeluk kepala Jungkook dan menyembunyikan pandangannya di antara lebat rambut kelam kekasihnya.

Sesekali, Jungkook akan berjengit dan meringis. Lalu di saat-saat menegangkan, kekasihnya menangis terisak dan balas memeluk Yoongi erat-erat. Yoongi tidak berani memandang ke arah lain, tapi melihat Jungkook masih sanggup menahan sakit itu, Yoongi merasa cenayang itu melakukan pekerjaannya dengan baik. Dan ia tidak berdusta soal janjinya untuk mengurangi rasa sakit Jungkook. Meski menunggu dan menahan untuk tidak berbalik arah selama nyaris satu setengah jam juga terasa menyakitkan bagi Yoongi.

“Ssssh— Aku disini baby, tak apa. Ada aku.” Yoongi berbisik menenangkan, ia mengecup tengkuk Jungkook yang meringis dan terisak mengeluh di bawah wajahnya. Yoongi juga menangis, meski tanpa suara. Bulit-bulir airmatanya jatuh dan tenggelam di balik helai-helai rambut Jungkook.

“A-aaah!” tubuh Jungkook menegang, Yoongi sempat panik, hingga ia mendengar suara tangis bayi yang membuatnya nyaris memalingkan wajah.

Tapi Yoongi tidak sanggup berpaling, tiba-tiba wajah pucat Jungkook tampak tenang, Yoongi nyaris menjerit melihatnya. Hingga wajah itu mengerut dan gigi-gigi kelincinya gemertak beradu.

“G-geli—“ bisik Jungkook dengan mata terpejam, pemuda itu meringis. Ia tidak tahu kalau ucapannya barusan sukses membuat Yoongi melongo.

“G-geli?”

“Yoongi, pegangi Eunyoung. Dan Jungkook-ah, jangan bergerak. Aku akan menjahit perutmu.”

Yoongi terlalu bingung, ia berbalik, menerima begitu saja seorang bayi yang tiba-tiba disodorkan padanya. Bayi yang tubuhnya masih keunguan, basah bercampur darah. Menangis dengan suara melengking dan dada kecilnya gemetar saat ia berusaha menarik napas dengan tergesa-gesa. Yoongi terperangah, secara refleks mengayun-ayun bayi itu dalam gendongannya dan bersenandung pelan meski jantungnya berpacu cepat. Saat itu hanya satu pesan yang terlintas dalam otaknya. Ia harus menenangkan bayi itu. Yoongi bahkan tidak menyadari sama sekali perut Jungkook yang masih terbelah dan darah merah merembes mengotori sofa.

Dengan telaten, Heechul menggerakkan jarumnya, sembari berkomat-kamit. Melihat Jungkook yang terdiam dan hanya menghela napas lemah sudah cukup membuatnya puas. Setidaknya pemuda itu sudah tidak merasakan sakit, atau setidaknya, sudah terbiasa dengan sakit itu.

Selesai mengecek ulang jahitan panjang di perut Jungkook, Heechul membersihkannya dan melilitkan perban menutupi seluruh bagian perut Jungkook. Darah sisa-sisa jahitan masih merembes dan membekas di luar perban, tapi setidaknya, satu masalahnya sudah beres.

“I-ini bayi?” Yoongi yang masih ternganga tiba-tiba bertanya lirih, bayi itu terlelap dalam gendongannya. Tapi ia masih tidak percaya makhluk kecil itu hidup dan bernapas dalam rengkuhannya. Seorang bayi. Benar-benar bayi. Perempuan. Begitu mungil dan rapuh. Melihatnya kesulitan bernapas bahkan membuat Yoongi ikut merasa sesak.

“Tentu saja, kau pikir apa? Boneka?”

“Tidak ada ketuban? Plasenta?”

“Tidak ada. Eunyoung bayi istimewa.” Heechul memutar bola matanya. “Dia putri perawat dan dokter yang terbunuh itu. Kini terlahir kembali, dan di kehidupan ini dia adalah bayi kalian.”

Yoongi menunduk, memandangi wajah bayi yang pulas itu makin seksama. Semakin lama ia melihatnya, semakin Yoongi menganguminya. Yoongi berpaling saat Jungkook mengulurkan sebelah tangannya, seakan-akan meminta Yoongi mendekat. Dan Yoongi menurutinya.

“Jaga dia baik-baik.”

Baik Yoongi maupun Jungkook tidak ada menjawab pesan terakhir itu. Tapi melihat pasangan itu begitu khidmat mengamati bayi baru mereka, Heechul tahu kedua orang ini menjawab ‘ya’ dalam sikap diam mereka. Keduanya pasti akan menjaga Eunyoung dengan baik.

Jungkook menggigit bibirnya, ia mengusap pipi bayi itu dengan telunjuknya. Pipi pucat itu begitu lembut dan dingin saat bersentuhan dengan kulit jarinya. “Yoongi-ah…” bisiknya lirih, Jungkook mendongak dan pandangannya bertemu dengan Yoongi. Keduanya saling bertukar senyum lemah sebelum pandangan mereka kembali pada Eunyoung.

Sebenarnya sudah sejak lama mereka berencana akan mengadopsi seorang anak. Tapi setelah melalui hal mengerikan seharian ini, lalu memeluk seorang bayi yang sejak tadi diperjuangkan dari dalam tubuhnya, Jungkook tidak tahu harus bagaimana menggambarkan perasaan menggebu dalam hatinya. Buncahan itu terasa begitu penuh mengisi dadanya. Ada kepuasan, di sisi lain, rasa syukur. Meski tetap ada khawatir dan rasa takut yang mengintai, Jungkook tidak peduli apapun sejarah bayi ini. Ia sudah jatuh cinta saat pertama disentuhnya kulit bayinya yang tipis dan rapuh.

“Tidurlah Jungkook-ah, istirahat sejenak. Maaf aku tidak bisa memindahkanmu ke kamar. Di tengah pentagram itu, adalah tempat teraman bagi kalian.”

Jungkook mengangguk lemah, ia tersenyum pada Heechul seakan ingin mengucapkan rasa terimakasihnya. Tapi Jungkook tidak benar-benar menuruti nasihat Heechul, pemuda itu malah ngotot ingin memeluk bayi barunya. Yoongi hanya bisa menurut dan memposisikan bayi itu di atas dada Jungkook dengan hati-hati agar tidak menyentuh luka di perutnya yang masih basah.

Yoongi berdiri, tanpa sadar keluar dari lingkaran pentagram itu mengikuti Heechul. Sejak tadi ia memperhatikan gelagat cenayang yang tampak gelisah itu. Heechul terus melirik ke arah ruang tamu sembari sesekali mengecek ponselnya.

“Kenapa kau terus memeriksa ponselmu?”

“Aku menghubungi seorang temanku. Aku tidak bisa mengatasi ini sendirian, jadi aku meminta pertolongannya.” Jawabnya sembari berdecak dan kembali mengecek ruang tamu. “Tapi sampai sekarang dia belum juga datang, lelaki itu arh!”

“Jadi cenayang menggunakan ponsel juga?” Yoongi membulatkan matanya. Tapi itu komentar jujur, rasanya lucu melihat seorang cenayang yang gelisah dan mengecek layar ponselnya terus-menerus.

“Kau bicara seakan-akan aku makhluk kuno!”

“Maaf Heechul-sshi.” Yoongi mendesah. “Aku tidak bermaksud begitu.”

“Baiklah, kau tunggu disini, aku ingin keluar sebentar. Barangkali temanku sudah sampai di ujung jalan. Dan jangan keluar dari pentagram itu, hush-hush, kembali kesana pemuda!”

Yoongi hanya tertawa, ia mana tahu perintah setengah mengejek itu adalah pesan serius dari Heechul. Begitu tuan rumah itu menghilang di pintu dapur, Yoongi berbalik, melirik Jungkook yang tampak pulas dan kelelahan dengan seorang bayi tertidur tengkurap di atas dadanya. Yoongi kembali memasuki lingkar pentagram itu, untuk memperhatikan wajah Jungkook dari dekat. Dengan sendu, diusapnya pipi putih Jungkook. Lalu pandangannya beralih pada bayi mereka, ia mengusap punggung bayi itu dan membenahi selimut yang melindungi tubuh keduanya.

Yoongi kembali keluar dari lingkar pentagram, benar-benar terlupa pada pesan Heechul. Ia begitu tertarik untuk melihat-lihat. Ruangan ini dipenuhi oleh lemari-lemari kaca, ada lemari yang penuh berisi senjata tajam, botol-botol berwarna gelap, hingga lemari yang berisi boneka-boneka buruk rupa. Yoongi bergidik, kembali berprasangka buruk dan mengira-ngira apakah Heechul seorang cenayang ilmu hitam.

Yoongi berdiri menghadap sebuah lemari kaca yang berisi kumpulan samuran dan tersusun rapi. Pedang-pedang itu jelas tampak terawat rapi, dengan kagum ia menggeleng. Yoongi berdiri memunggungi sofa tengah ruangan, tanpa sadar sama sekali, sepasang mata merah mengawasinya dari balik jendela.

Yoongi beralih, kembali ke lemari boneka. Ia hanya membenahi kerah kemejanya, saat angin dingin itu menerpanya. Suara gorden yang berderak dan melambai tertiup angin kencang tak ayal membuat Yoongi merasa heran, bulu kuduknya meremang. Sejak kapan angin sekencang ini masuk ke dalam ruangan? Yoongi berbalik, bermaksud menutup jendela manapun yang terbuka saat ia bahkan tidak sempat melihat apapun.

PRANGGG!

Tubuhnya melayang ke belakang, menghantam lemari boneka hingga lemari rapuh itu rubuh ke samping. Pecahan kaca dan boneka berserakan. Yoongi mengerang, merasakan pecahan-pecahan kecil kaca menembus daging punggungnya. Yoongi mendongak, pandangannya buram dan ia hanya mampu menangkap bayangan hitam melayang mengitari ruangan. Yoongi menahan napas, kakinya gemetar, dengan ringkih ia mencoba berdiri dan nyaris terjatuh lagi karena ketakutan.

“KEMBALIKAN ANAKKU!” jerit bayangan itu menggema dan tubuh Yoongi terpelanting lagi, kali ini menghantam dinding di dekat jendela. Sedikit saja meleset, Yoongi sudah akan melayang menghantam kaca jendela dan terhempas keluar. Yoongi mengerang, jatuh bangun saat berusaha mengangkat tubuhnya. Samar, Yoongi mendengar suara seseorang memanggilnya.

Hyung!

Dan saat itu, ia teringat, pada pesan Heechul, dan pada kekasihnya. Jungkook!

“Jangan keluar dari sana, Jungkook-ah! Diam ditempatmu!” Yoongi menjerit panik, mati-matian berusaha membuka matanya, kelopak mata kanannya bengkak, membuatnya kesulitan melihat namun jelas sekali ia melihat bayangan Jungkook berdiri gemetaran di depan sofa.

Jungkook menggendong bayinya dengan gemetar, rasa sakit di perutnya kembali berdenyut. Luka itu kembali basah, darahnya merembes keluar menembus kemejanya. Jungkook ketakutan, ia gemetaran. Ruangan di sekitarnya porak-poranda dan bayangan hitam berkelebat cepat mengitari langit-langit. Makhluk itu tidak bisa menyentuh lingkaran di sekitar tempatnya berdiri, Jungkook menyadarinya. Tiba-tiba ucapan Heechul kembali terngiang, pentagram ini! Jungkook menunduk memandangi lilin-lilin di sekitarnya. Lilin-lilin itu yang melindunginya! Jungkook mengerat Eunyoung dalam dekapannya, berniat berdiri diam di tempat namun lagi-lagi bayangan itu menarik Yoongi naik dan menghantamnya ke ujung ruangan.

Jungkook memekik, “Heechul-sshi!” jeritnya frustasi. Jungkook berputar panik, ingin meraih Yoongi saat tangis Eunyoung ikut pecah menambah kekacauan.

Mati-matian Jungkook menahan dirinya untuk berdiri di tempat, namun saat bayangan itu kembali mengangkat tubuh Yoongi, Jungkook tidak sanggup menyaksikannya lagi. Pemuda itu bersimpuh, diantara rasa putus asa dan perih yang memenuhi kulit perutnya— Jungkook tanpa sengaja menjatuhkan satu formasi lilin di sisi meja.

“Jungkook-ah! Jangan rusak formasinya!” Jeritan Yoongi seakan menyadarkan Jungkook. Bayangan hitam itu berkelebat dan menghilang. Panik, Jungkook berusaha membenahi posisi pentagram yang rusak oleh satu lilin itu. Dengan sebelah tangan gemetar memeluk Eunyoung dan sebelah tangan lain mencoba kembali mendirikan lilin terakhir, Jungkook dua kali gagal. Teriakan Yoongi membuatnya makin panik saat kelebat hitam itu kembali muncul, mengelilingi ruangan dan kali ini melesat menuju ke arahnya!

Yoongi memekik. Jungkook menjerit. Wajah hitam terbakar yang dipenuhi darah kering itu berhenti tepat berhadapan dengan wajahnya. Satu-satunya benda yang menghalangi jarak wajah mereka, hanya lilin terakhir yang berhasil menyala dan berdiri. Kembali menyusun formasi sempurna pentagram yang melindungi Jungkook dan Eunyoung.

“Kembalikan anakku!” jerit makhluk itu dengan sudut-sudut bibir yang melebar. Jungkook tidak bisa menahan tangis ketakutannya saat melihat bibir itu terbelah, menunjukkan bongkahan gigi dan gusi yang tampak jelas hingga ke ujung geraham. Bau busuk bangkai kontan membuatnya mundur ketakutan, berusaha menjauh dari wajah yang berada begitu dekat di batas pentagram namun tidak bisa menyusup masuk sama sekali.

“Jangan keluar dari sana, Jungkook-ah!” Yoongi kembali mengingatkan Jungkook, namun kali ini suaranya justru membuat perhatian makhluk itu beralih padanya.

HYUNG!” Jungkook memekik. Ketakutan, tidak bisa lagi membedakan suara gerungan mengerikan makhluk itu dan tangis Eunyoung yang sudah sama-sama membuat keadaan terasa makin menegangkan.

Makhluk itu melesat, kali ini membentuk wujud sempurna seorang wanita buruk rupa dengan gaun hitamnya. Kaki-kaki telanjangnya melayang, sekujur tubuhnya terbakar dan tulang-tulang sikunya mencuat keluar. Jungkook menangis frustasi saat makhluk itu kembali mengangkat tubuh Yoongi. Tidak bisa berpikir lagi, Jungkook membaringkan bayinya di atas sofa.

Yoongi mengeram. Sejujurnya merasa takut. Tangannya gemetaran. Dengan posisi wajah yang begitu dekat dengan makhluk ini, Yoongi merasa kematiannya juga ikut mendekat. “Kau bisa membunuhku, tapi jangan sentuh keluargaku!” Entah mendapat keberanian dari mana, dengan nekat Yoongi menarik kepala setengah tengkorak berambut tipis itu dan dengan tenaga penuh bermaksud menariknya.

Tapi usahanya gagal, perbuatannya justru semakin membuat makhluk itu memekik murka. Yoongi nyaris kehilangan nyawa, tangan kering itu melingkar bermaksud mematahkan  lehernya saat bersamaan, tubuhnya terpelanting. Makhluk itu sempat terdorong ke samping sebelum melesat kembali menjadi bayangan.

“Apa yang kau lakukan, Jungkook-ah! Sudah kubilang jangan keluar!” Yoongi berteriak panik saat disadarinya Jungkook berbaring kesakitan di sisinya. Pemuda itu pasti menghempaskan dirinya barusan. Tapi karena kenekatan kekasihnya pula, Yoongi masih hidup sampai menit itu.

“Ada ap—YOONGI!!!” Heechul muncul dan kontan memekik shock melihat keadaan ruang tengahnya. Dia tamunya tersungkur di dekat lemari boneka. Dan tidak perlu menduga-duga, Heechul tahu siapa penyebab kerusakan ini.

“H-HEECHUL-SSHI! Tolong Jungkook!”

Yoongi memapah kekasihnya untuk bangkit. Ia mendongak, mencoba mengawasi setiap sudut ruangan dan justru merasa khawatir saat tidak dilihatnya kelebat hitam itu.

Heechul tidak datang sendiri, di belakangnya, mengekor seorang pria bertubuh tinggi. Kemeja selutut dan celana panjangnya yang hitam ditambah rosary menghiasi leher, membuat Yoongi menelan ludah. Tidak menyangka cenayang ini berteman dengan seorang pastor!

“Dia masih ada disini…” ujar pastor itu sembari mendongak, memutar pandangannya ke seluruh penjuru. Pastor itu sempat melirik Eunyoung yang menangis di atas sofa, lalu ia tersenyum tipis, melangkah maju untuk mengusap pipi Eunyoung. Ajaibnya, tangis bayi itu segera reda. Berganti dengan isak-isak samar dan Eunyoung kecil terdiam, mengerjap memperhatikan langit-langit.

“Berhenti mengganggu mereka, Seo Joohyun!” Heechul berseru marah, ia memapah Jungkook saat Yoongi berjuang untuk berdiri dengan bertumpu pada lemari.

Sunyi. Panggilan penuh amarah itu tidak direspon sama sekali. Untuk sesaat, kesunyian menyelimuti ruangan itu. Yang terdengar hanya bisik doa Namjoon dan suara kecap mulut Eunyoung. Jungkook nyaris merasa lega karena makhluk itu tidak menujukkan tanda-tanda akan kembali. Tapi nyatanya, hal itu tidak berlangsung lama. Dan Jungkook bahkan tidak sempat berteriak saat tiba-tiba tubuhnya terangkat tinggi. Cengkraman mengerat di belakang kerahnya, hampir membuatnya tercekik. Bau busuk dan suara teriakan yang memanggil namanya berbaur, membuat fokus Jungkook mulai goyah. Pemuda itu nyaris jatuh tidak sadarkan diri, melayang terombang-ambing di langit-langit membuat lambungnya seakan dikocok. Ditambah lagi, Jungkook merasakan basah merembes makin deras dari luka jahitannya.

“KEMBALIKAN ANAKKU! EUNYOUNG-KU!” suara teriakan itu menggema, berasa dari balik tubuhnya. Jungkook mencicit, sekujur tubuhnya gemetar dan giginya gemertak beradu. Ia tidak bisa lagi memperhatikan dengan seksama, pandangannya terasa membayang.

“Turunkan Jungkook-ku, makhluk sial!” Yoongi memekik, melompat berusaha menggapai Jungkook. Namun pemuda itu harus kembali meringis saat sakit ditubuhnya berdenyut makin hebat.

“Dia bukan anakmu! Kau membunuh puteri majikanmu! Dia bukan anakmu!” Heechul berseru, diantara komat-kamitnya. Ia ingin meraih perkakasnya di atas meja. Namun situasi ini tidak akan bisa membawanya bergerak kemana-mana. Tapi dari sudut matanya, Heechul menangkap Namjoon yang juga tengah berkomat-kamit berdoa. Dibalik lengan panjang kemejanya, Heechul tahu benda apa yang disembunyikan partnernya itu.

“Jangan ikut campur, Heechul!”

“Turunkan pemuda itu, Seo Joohyun. Aku akan mendampingi pemakamanmu. Aku akan melalukan upacara pengampunan untukmu. Sekarang turunkan dia.” suara berat pastor itu akhirnya terdengar juga, begitu tenang. Ia mendongak, sebelah tangan meremas rosary sedang sebelah tangannya yang lain tersembunyi di balik kemeja.

“Kembalikan putriku.” Makhluk itu bersikeras, kali ini ia menunjukkan wajahnya. Jauh lebih sempurna, terlihat lebih manusiawi meski pucat. Joohyun melotot, menatap pastor muda itu dengan penuh amarah dan was-was.

“Sekarang dia sudah bernyawa. Kau tidak bisa lagi mengusiknya, Seo Joohyun. Kembalilah ke asalmu.”

“KEMBALIKAN PUTRIKU!” Joohyun menjerit marah, dengan emosi ia mengangkat tubuh Jungkook makin tinggi. Dikeratnya kerah kemeja pemuda itu hingga Jungkook berjengit, kesulitan bernapas. Merasa tidak cukup dengan gertakan itu, Joohyun mengulurkan sebelah tangannya, diremasnya perut Jungkook hingga luka baru pemuda itu menggeser terbuka. Darah segar merembes menembus kemeja dan jatuh setetes demi setetes membasahi lantai.

“A-AHHH! H-HYUNG—”

Heechul dan Namjoon bergerak siaga, tidak  menyangka pada gertakan berbahaya itu. Namun sebelum mereka bergerak, Yoongi yang terus menahan diri tidak bisa lagi mengendalikan emosinya. Dengan murka, Yoongi memecahkan pintu lemari samurai dan meraih satu dengan tangan kanannya. Tidak peduli saat susunan pedang-pedang itu menggores jari-jarinya. Yoongi mendorong lemari itu hingga berguling, dan menggunakannya sebagai batu lompatan.

“Sekarang, Namjoon-sshi!” Menyadari maksud Yoongi, Heechul berlari memasuki lingkar pentagram dan Namjoon ikut bergerak, melangkahi sofa lalu bertumpu pada meja untuk melompat meraih Joohyun. Tiga gerakan sekaligus itu berhasil mengecoh Joohyun hingga makhluk itu melepaskan Jungkook, bermaksud menjatuhkannya ke lantai.

Namun sial baginya, Namjoon dengan gesit beralih dan justru menangkap tubuh Jungkook sebelum pemuda itu jatuh menghantam lantai. Yoongi dan Heechul berteriak bersamaan dari dua arah berlawanan.

“JANGAN SENTUH DIA, SIALAN!”

“PERGILAH JOOHYUN! KEMBALI KE NERAKA!”

Joohyun merentangkan tangannya bermaksud mengubah wujudnya kembali menjadi bayangan, namun terlambat. Heechul meleparkan beras ke arahnya dan di sisi lain, Yoongi menebaskan samurainya tepat di tengkuk kering tengkorak Joohyun.

Suara jeritan memekakkan telinga menggaung di dalam ruangan. Tengkorak kepala Joohyun menggelinding. Tubuh keringnya menggelepar. Mata dan bibir itu bergerak begitu hidup. Makhluk itu masih sempat meneriakkan ‘Kembalikan anakku’ hingga Namjoon menyiramkan sebotol air suci tepat di wajahnya. Bau daging busuk yang terbakar segera menguar di udara, wajah itu berasap seakan barusaja tersiram minyak panas.

Yoongi melemparkan samurainya yang kotor oleh lendir hitam. Melihat tubuh Joohyun meleleh menjadi cairan busuk, Yoongi bergidig jijik. Tapi hal yang jauh lebih membuatnya bergidig adalah saat dilihatnya Jungkook meringis di dalam pelukan orang lain— pastor itu.

“Kemarikan Jungkook!” serunya tidak terima. Tanpa menunggu lagi, Yoongi langsung merebut Jungkook dari gendongan Namjoon, membuat pemuda itu meringis kesakitan karena tindakan brutal Yoongi barusan.

“A-ah, mianhae baby. Kita ke rumah sakit sekarang, ne!” Yoongi ikut meringis melihat Jungkook memejamkan matanya yang basah menahan sakit. Padahal sekujur tubuhnya juga terasa sakit, pecahan kaca di punggungnya makin terasa menyayat saat ia memaksa untuk bergerak cepat.

“Kita pergi sekarang?”

Heechul bangun, diliriknya Namjoon sebelum mengangguk lega.

“Kau tidak ingin membereskan rumahmu dulu?”

Heechul mendengus jijik. Ia masuk ke dalam kamarnya dan keluar membawa sebuah ransel kecil. Dengan hati-hati, Heechul mengangkat Eunyoung dan ikut melangkah keluar mengikuti Yoongi dan Jungkook yang sudah pergi lebih dulu. “Aku tidak berniat menempati rumah ini lagi. Biar kusuruh Hangeng mengambil samurai dan barang berharga lainnya. Aku tidak mau kemari lagi.”

Namjoon hanya menggeleng dan tersenyum tipis.

“Dan kau! Kau harus menemani Hangeng, aku khawatir wanita itu bangkit lagi dari tubuh busuknya itu.” Heechul bergidig jijik.

Namjoon hanya tertawa-tawa mendengar komentarnya. “Ya, lagipula aku berjanji akan melakukan upacara penyucian untuknya.”

“Untuk apa? Roh busuk sepertinya biarkan saja membusuk di neraka.”

Namjoon tersenyum lagi, sebelum berkomentar pendek. “Tuhan Maha Pengampun,” ujarnya sembari membantu Yoongi membuka pintu belakan Mini Van miliknya.

“Kalau Tuhan mengampuni dosa-dosa makhluk semacam Joohyun, neraka tidak akan ada penghuninya.” Seloroh Heechul sembari masuk ke kursi depan.

“Apakah neraka harus ada penghuninya?” Namjoon tertawa-tawa, ia makin gemas lagi saat dilihatnya Eunyoung ikut mengerutkan wajah seakan menemaninya menertawai Heechul.

“Sudahlah, aku lelah berdebat denganmu!” Heechul mendengus, lalu membenahi posisi Eunyoung dalam pangkuannya.

“Tuan-tuan, bisa hentikan obrolan tidak penting kalian dan percepat laju mobilnya? Istriku akan segera kehabisan darah kalau kalian menggosip di dalam mobil ini.”

Heechul berpaling, melirik Yoongi yang memangku Jungkook sebelum mencibir. “Jungkook tidak akan mati. Kalau ada yang harus mati, kaulah orangnya. Kau tidak sadar pelipismu berdarah seperti keran?”

Yoongi mendelik dan buru-buru memegangi pelipisnya. Ia mengerang kaget melihat darah segar mengotori tangannya. Ia bahkan tidak sadar pelipisnya terluka. Jungkook yang sejak tadi meringis kesakitan kini terkekeh pelan melihat tingkah Yoongi.

“Oh ya, tadi kau memanggil Jungkook ‘istriku’? Padahal sebelumnya kau selalu bilang ‘kekasihku~ kekasihku~’” Heechul menggoda lagi, menirukan suara berat Yoongi dengan gaya menjijikan.

Yoongi tergagap, pipinya merona. “Berisik. Kami sudah punya anak, aku akan segera menikahi Jungkook.”

Heechul terkekeh, Namjoon tertawa, dan Jungkook tersenyum tipis. Eunyoung yang tidak mengerti pun ikut mengerutkan keningnya seakan merasa dilibatkan.

.

oOoOoOo

.

OMAKE

.

oOoOoOo

.

Yoongi memarkir mobilnya dengan tenang. Kalau terakhir kali ia singgah di tempat ini, mobilnya terparkir tepat di pintu utama, kali ini Yoongi tidak dalam keadaan sepanik itu untuk melakukannya. Justru Jungkook lah yang sejak tadi mengeluh khawatir hingga kedua tangannya berkeringat dingin. Dengan posesif, Jungkook memeluk Seobin dalam gendongannya. Bayi berusia dua bulan yang tertidur pulas dalam gendongan ibunya itu mengerut tatkala Jungkook mengecup kedua pipi dan ujung hidungnya.

Ya. Seminggu setelah kelahiran Eunyoung, baik Yoongi dan Jungkook dirawat di rumah sakit. Dan di sana, mereka memutuskan untuk mengganti nama Eunyoung. Bayi mereka telah mendapatkan kehidupan baru di tengah-tengah keduanya, dan Jungkook tidak ingin anaknya membawa takdir buruk masa lalunya lewat nama itu. Karena itu Jungkook dan Yoongi memilih nama Seobin.

Selama beberapa minggu pula, keduanya tinggal di apartemen di tengah kota Seoul hingga Yoongi mendapatkan rumah baru untuk mereka. Jungkook sudah berhenti dari pekerjaannya, ia tidak ingin ada ikut campur perawat manapun dalam membesarkan Seobin. Menyerah atas luang dan kariernya terasa begitu mudah setelah ia memiliki Seobin. Yoongi pun, tidak lagi pulang larut dan seringkali menyempatkan diri bekerja dari rumah. Mereka telah benar-benar memulai hidup yang baru. Jungkook sudah benar-benar berniat mengubur kenangan buruknya atas rumah mengerikan dan arwah Seo Joohyun itu. Yoongi setuju dan mendukung keputusannya.

Tapi anehnya, hari ini Yoongi kembali membawanya ke rumah sakit menakutkan itu. Tanpa sepengetahuannya! Jungkook baru menyadarinya saat Yoongi membawa mobilnya masuk ke dalam gerbang rumah sakit ini.

Hyung, untuk apa lagi kita kemari!” Jungkook melirik plang nama rumah sakit yang sedikit berkarat itu dengan takut-takut. “Aku tidak mau menyerahkan Seobin! Dia bayiku! Aku yang melahirkannya!”

Baby..I know it. Seobin milik kita.” Yoongi meremas bahu Jungkook, berusaha menenangkan kekasihnya. “Tapi aku perlu tahu kenapa mereka seakan sudah merencanakan semua ini.”

Jungkook tidak menjawab, ia menunduk memandangi wajah pulas Seobin yang sesekali mengerut. Hidung mungil itu berkeringat, Jungkook mengusapnya dengan hati-hati.

Sesaat, baik Yoongi dan Jungkook sama-sama dilingkupi oleh kesunyian. Jungkook masih merasa enggan untuk keluar dari mobilnya tapi di sisi lain Yoongi bersikeras ingin mengetahui kebenaran tentang putri mereka. Heechul belum bercerita apapun tentang dokter dan perawat itu, dimana keberadaan mereka, bagaimana keadaan mereka. Yoongi tidak mengetahui apapun karena cerita itu berhenti tepat di saat kematian Eunyoung.

“Aku yakin sekali, Kim Namjoon dan Jung Seokjin yang disebut Heechul waktu itu adalah dokter yang pernah memeriksamu.”

Jungkook menghela napas, diusapnya pipi Seobin dengan jari kelingkingnya. Sekarang, pipi itu jauh lebih berwarna, pink dan tembam, gembul karena menjadi korban pencabulan bibir Eunhyuk, Jimin, Ryeowook, Namjoon, Hoseok, dan tentu saja –Yoongi.

“Baiklah. Tapi kalau mereka berniat merebut Seobin dariku, kau harus melakukan apapun untuk menghalanginya!”

“Baiklah, aku berjanji Koo-mama!”

Jungkook merengut. Namun alih-alih membalas godaan Yoongi, ia membuka pintu dan melangkah keluar dari mobil.

Yoongi yang bertanya lebih dulu pada resepsionis, seorang perawat muda bertampang polos dengan tag name Dasoom menyambutnya. Hanya melihat gelagat canggungnya, Yoongi merasa perawat ini adalah pekerja baru. Meski itu hanya dugaannya.

“Seoul National Hospital, ada yang bisa saya bantu tuan?”

“Aku mencari Dokter Kim Namjoon.” Yoongi menuliskan namanya di buku tamu.

“D-dokter Kim Namjoon?” perawat itu mengerutkan keningnya, merasa asing dengan nama itu. Gugup, dibukanya buku tebal daftar nama yang baru saja ditariknya dari laci. “U-umh. Aku tidak yakin. Tapi biar kuperiksa dulu. Uh— tidak ada disini.” Perawat itu menggeleng, lalu tersenyum tipis merasa tidak enak. Mungkin ia merasa khawatir atas pelayanannya sendiri.

“Maaf tuan. Aku baru bekerja disini beberapa minggu. Tapi biar kutanyakan seniorku, mungkin dokter yang Anda cari dimutasi ke rumah sakit lain. Tolong tunggu disini.”

Yoongi hanya mengangguk, perawat itu melangkah keluar dari ruang resepsionis dan berjalan masuk ke dalam lorong utama rumah sakit.

Yoongi berdiri bersandar di meja tinggi resepsionis, diliriknya Jungkook yang sejak tadi berdiri gelisah dan mengayun-ayun Seobin dalam gendongannya.

“Kalau lelah, duduk saja, Koo.”

Jungkook menggeleng, menolak.

“Kalau begitu gantian saja, biar kugendong Seobin—“

Jungkook menggeleng lagi. “Tidak. Kalau dipindahkan nanti dia terbangun.”

“Kenapa gelisah sekali? Ada apa?” Tanya Yoongi lembut. Ia merangkul bahu Jungkook saat dilihatnya kekasihnya itu menghela napas berkali-kali dan terus menunduk mengawasi Seobin seakan-akan takut bayinya akan terbangun.

“Aku tidak suka disini, aku mau pulang.”

“Sebentar saja baby, setelah—“ Yoongi terkesiap, getar di saku kemejanya memotong ucapannya barusan. Yoongi meraih ponselnya dan mendengus melihat nama yang berkedip di layar itu.

Heechul’s calling

“Siapa, Yoongi?”

“Heenim,” jawabnya singkat. Yoongi mengangkat panggilan itu dengan ogah-ogahan.

“Yoongi? Kau dimana? Aku belum melaksanakan ritual terakhir untuk keponakanku!”

Yoongi menggerutu.

“Jangan ajari sekte sesat pada putriku.”

“YAH! MIN YOONGI! AKU YANG MEMBANTU KELAHIRAN PUTRIMU! HORMATLAH SEDIKIT!”

“Yayaya, terima kasih ya,” seloroh Yoongi ogah-ogahan. “Omong-omong hyung. Kau ingat ayah dan ibu Seobin di kehidupan sebelumnya?”

“Kim Namjoon dan Jung Seokjin, ada apa?” suara Heechul berubah enggan.

“Sekarang aku sedang di Seoul National Hospital.”

“Hah? Untuk apa kalian kesana!”

“Aku penasaran dengan mereka. Dimana dan bagaimana keadaannya. Aku pernah melihat nama Kim Namjoon di rumah sakit ini, apa mungkin dokter itu orang yang sama dengan dokter yang kau maksud?”

“PERNAH MELIHAT NAMA? MIN YOONGI! APA YANG KAU LAKUKAN!!!”

Yoongi menjauhkan ponsel itu dari wajahnya. Suara teriakan Heechul nyaris menyakiti gendang telinganya. Ia mendengus, berniat balas membentak Heechul namun kalimat yang didengarnya setelah itu sontak membuat Yoongi tercekat.

“Mereka sudah mati Yoongi!”

Yoongi menelan ludah, merasakan keringat dingin melintasi pelipisnya. Ia melirik Jungkook, yang kini menatapnya dengan raut khawatir. Seakan menunggu, Jungkook bertanya ‘Ada apa Yoongi?’

“Mereka mati sepuluh tahun yang lalu! Tepat setengah tahun setelah putrinya dibunuh, keduanya bunuh diri karena gangguan kejiwaan!”

Yoongi nyaris bisa merasakan dua kakinya yang melemas. Dengan gugup ia memutar badannya, tanpa sengaja menghadap lorong. Dari kejauhan, perawat muda itu melangkah dengan senyum manis, diikuti oleh dua sosok, seorang dokter dan perawat lain, menuju ke arahnya. Jarak nyaris memasuki lima belas meter, Yoongi semakin mengenali wajah dokter dan perawat di belakang Dasoom. Yoongi mengerat ponselnya. Oh tidak lagi.

“Tunggu— Jangan bilang kalian pernah menemui mereka!”

Yoongi tidak sempat mendengar sentakan Heechul, dengan panik, ia merangkul dan menggiring Jungkook keluar dari rumah sakit itu.

“Y-Yoongi? Tapi perawatnya—“

‘Yoongi cepat pergi!

Tanpa perintah Heechul pun, Yoongi segera mengambil langkah seribu. “Kita pergi sekarang, Kookie!”

Jungkook tidak berani bertanya. Yoongi tidak berani berpaling lagi dan langsung menyalakan mesin mobilnya dan segera melesat keluar dari pelataran rumah sakit besar itu.

Sedang di dalam lorong rumah sakit, perawat muda bernama Dasoom itu terperangah melihat dua tamunya keluar tergesa-gesa. Ia mencoba memanggil mereka, namun keduanya bahkan tidak berpaling. Berdecih kecewa, Dasoom berbalik menghadap dokter dan perawat yang dengan beruntung berpapasan dengannya di dalam lift. Tagname dokter itu langsung membuat Dasoom mengenalinya dan tanpa susah payah menanyakan kepada senior, Dasoom juga bisa sekalian mengenal dokter Kim Namjoon.

“Maaf dokter, padahal tadi mereka bilang ingin bertemu. Tapi tiba-tiba pergi begitu.” Dasoom menggaruk tengkuknya dengan gugup.

“Tidak apa.” Perawat Seokjin tersenyum tipis. Dasoom balas tersenyum dan semakin merasa canggung melihat wajah pucat itu. Perawat ini pasti perawat senior, di dalam rumah sakit ini, ada banyak perawat senior yang ditugaskan ke kota-kota kecil hingga ke luar negri. Tidak heran Dasoom tidak mengenali semua perawat dan dokter di rumah sakit ini.

“Lain kali kalau ada yang datang mencariku, suruh mereka langsung datang ke ruanganku ya. Di lantai 13 ruang 7.” Suara itu datar. Nyaris tidak beraksen.

“Ne! Maaf untuk gangguannya, dokter!” Dasoom tersenyum malu. “Kalau begitu aku kembali bekerja dulu, maafkan aku sekali lagi!” Dasoom membungkuk lagi, dan dua sosok itu hanya tersenyum ramah membalas sikap sopannya. Tanpa menunggu, Dasoom segera kembali ke ruang resepsionis. Namun saat ia mendongak, dua orang itu sudah tidak tampak dari balik dinding cermin ruang resepsionis.

“Mungkin sudah kembali bekerja.” Dasoom berbicara pada dirinya sendiri. Padahal ia tidak keberatan kalau harus mengobrol lama dengan dokter tadi. Dokter Kim Namjoon, tampan sekali meski wajahnya sedikit pucat. Dasoom terkekeh-kekeh sendiri, dibukanya buku daftar nama saat tiba-tiba kesadaran itu menghantamnya.

“Lantai 13 ruang 7?” bisiknya bingung. Dasoom membuka-buka buku tamu dengan tangan gemetar, tiba-tiba saja bulu kuduknya meremang. Ia mengerat pena di tangannya saat otaknya berputar dalam keadaan gugup. Lantai 13?

Tapi rumah sakit ini hanya memiliki dua belas lantai!

.

oOoOoOo

END

oOoOoOo

.

 

Bila berkenan, review boleh di thread giveaway sebelumnya ya <3

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “The Host (Miinalee/Fanbook Buyer)”
Beranda
Cari
Bayar
Order