“MENDADAK mbak-mbak itu muncul, padahal sebelumnya temen gue yakin banget kursi di sebelah dia tuh kosong. Dia berani sumpah demi Tuhan, awalnya nggak ada siapa pun di bioskop itu kecuali dia sendirian yang dateng terlalu awal.”
Ewink, Resya, dan Barie mengerang. Sophie menutup telinga, jelas sekali ketakutan. Regie tersenyum meremehkan melihat Sophie.
“Gimana penampakan mbak itu?” tanya Ewink, ketakutan tapi penasaran.
“Kulitnya pucat,” jawab Aden, yang bercerita. “Matanya putih pucat kayak orang buta. Dan bibirnya …”
“Bernanah?” sahut Barie.
“Pucat juga, bahkan lebih pucat dari wajahnya. Yang membuat temen gue merinding dan ketakutan sampai dia harus lari terbirit-birit keluar studio adalah wangi melati itu.”
Sophie menggeleng keras-keras, berusaha menghalau suara Aden, membuat Regie tak bisa menahan tawa.
“Hush, diam dulu!” tegur Resya kepada kembarannya.
Aden mengabaikan tawa Regie. “Bau melati itu menyengat banget, temen gue sampai harus berjuang sekuat tenaga bangkit dari duduk saking takutnya. Kakinya gemetar hebat. Mbak-mbak itu cuma diam duduk di sebelahnya, nggak bergerak, temen gue bahkan nggak yakin dia bernapas.” Aden melotot, membuat ketiga temannya yang serius mendengarkan jadi meringis ketakutan. “Anehnya, setelah keluar dari studio temen gue langsung ngajak salah satu pegawai untuk ngecek kondisi si mbak-mbak tadi, tapi begitu mereka masuk, mbak-mbak itu nggak ada di sana.”
Sophie hampir menangis sekarang. Regie memutar bola mata karena Sophie menutup telinga tapi masih ikut mendengarkan juga.
“Mungkin mbak-mbak itu keluar barengan sama temen lo?” kata Resya.
“Nggak mungkin. Temen gue nggak jauh-jauh dari pintu masuk studio, dan pintu keluar studio juga nggak dibuka sama pegawainya.”
“Udah lihat cctv?”
Aden mengangkat bahu nggak peduli. “Ini cuma kejadian mistis, bukan perampokan atau pembunuhan. Temen gue malah dituduh halu dan kebanyakan nonton film horror sama pegawai dan pengunjung yang mau nonton di sana. Tapi yang jelas, setelah dari kejadian itu temen gue nggak berani lagi nonton sendirian, dia pasti selalu ngajak temannya, dan mau masuk ke studio kalau orang-orang udah ramai di dalam.”
“Ah, bisa aja itu hoax cuma karangan temen lo doang,” protes Barie.
Aden mengangkat bahu lagi, masih nggak peduli. “Terserah kalian mau percaya atau nggak, yang penting gue udah nyumbang satu cerita horror malem ini.” Dia kembali mendudukkan diri di kursi, kemudian menatap Regie. “Ayo, Reg. Sekarang giliran lo.”
“Iya, Reg, ayo giliran lo. Coba ceritain kisah nenek-nenek iblis yang waktu itu pernah lo ceritain ke gue,” kata Ewink memberi semangat.
Regie menggeleng. “Mengarang cerita asyik juga, tapi lebih asyik lagi kalau kita bener-bener tahu apa ketakutan terbesar kita.”
“Hah?” kata Resya. “Maksudnya gimana?”
Regie bangkit berdiri dengan semangat. “Lebih asyik kalau kita masing-masing ceritain ketakutan terbesar kita. Apa yang paling membuat kalian takut di dunia ini, hal-hal atau sesuatu yang kita harap nggak pernah kita temui atau nggak pernah kejadian dalam hidup kita.” Dia mengamati wajah teman-temannya satu per satu. Setelah dia merasa teman-temannya mengerti, kemudian dia melanjutkan, “Dimulai dari Sophie. Ayo, Soph. Apa ketakutan terbesar lo?”
Sophie, yang masih berusaha memulihkan diri dari cerita horror Aden tadi, tampak berpikir sejenak sebelum menjawab, “Darah.”
“Lo takut darah?” tanya Ewink, nyaris nggak bisa menahan tawa geli dalam suaranya.
Sophie mengangguk sebal. “Bukan darah halangan atau darah yang keluar dari jari kita kalau ketusuk jarum, ya. Tapi lebih kayak … darah yang banyak. Banjir darah. Darah segar. Baunya itu loh … hiiii.” Dia merinding membayangkan darah di sekujur tubuhnya.
Resya tertawa.
“Bener, deh,” kata Sophie menatap Resya. “Bau amis darah tuh menjijikkan banget. Gue kalau ganti pembalut juga nggak mau lama-lama di kamar mandi.”
Cowok-cowok tertawa sekarang. Sophie putar bola mata.
“Orangtua lo nyebelin nggak?” tanya Regie.
Sophie cemberut kesal. “Apalagi mereka,” jawabnya. “Gue juga heran kenapa gue bisa takut darah sementara orangtua gue dua-duanya dokter bedah dan mereka maksa gue ngambil kuliah kedokteran. Makasih loh, Reg, udah diingetin.”
Regie tertawa, lalu dia beralih ke Ewink. “Kalo lo, Wink?”
“Hm … di antara kita berenam aja, ya. Gue sebenarnya malu harus mengakui ini, tapi …”
“Tapi apa?” desak Regie. Dia sebenarnya sudah tahu Ewink takut apa, tapi dia ingin sahabatnya itu sendiri yang mengucapkannya kepada teman-temannya yang lain.
Ewink masih ragu-ragu.
“Ayolah, Wink, cerita aja. Kita semua nggak akan bilang siapa-siapa, kok.” Resya menyemangati sambil tersenyum.
Ewink meringis, lalu berkata dengan suara pelan. “Gue takut api.”
Nggak ada yang merespons jawaban itu, kecuali suara angin dan ombak yang memecah di pantai di belakang mereka.
“Kenapa?” Akhirnya Aden bertanya.
“Karena … takut aja. Panas. Asapnya lebih mengerikan lagi.” Ewink menggeleng keras-keras, berusaha menghalau ingatan api dan asap yang memerangkap pikirannya.
“Punya pengalaman buruk dengan api, Wink?” tanya Barie yang sepertinya menangkap kegelisahan Ewink. “Kebakaran?”
Ewink mengangguk. “Waktu kecil, gue sama nyokap pernah kejebak di tengah api yang melahap rumah gue.”
Yang lain terkesiap, kecuali Regie. Karena Regie sudah tahu cerita itu dari lama.
“Nyokap gue punya asma, dan gue nggak akan pernah mau lagi ngelihat nyokap gue menderita kayak malam itu …” Ewink menutup mata rapat-rapat. Jangan dipikirin, ucapnya dalam hati, menenangkan pikirannya sendiri. Jangan dipikirin.
Lengan Sophie melingkari bahu Ewink, menguatkan. Ewink membuka mata dan tersenyum ke Sophie. Resya juga tersenyum kepadanya.
“Lihat, kan? Ini lebih seru daripada cerita horror!” kata Regie penuh kemenangan. “Sekarang giliran Aden.”
Aden yang duduk di kursi sambil minum bir diam sebentar. Dia menatap teman-temannya satu per satu. Mereka semua tampak antusias menunggu jawabannya. “Apa? Kalian semua nggak usah natap gue kayak mupeng gitu deh,” katanya.
Barie tertawa kecil. “Mungkin karena cuma lo satu-satunya di sini cowok berotot dan kekar yang kelihatannya nggak takut apa pun.”
“Terima kasih, itu pujian yang jarang banget gue denger dari mulut laki-laki.”
“Pffftt,” Regie mencibir.
“Buruan, ah!” omel Ewink. “Malah kepedean. Apa yang lo takutin di dunia ini?”
“Dikubur,” jawab Aden tanpa basa-basi.
“Hidup-hidup?” tanya Sophie.
“Ya iyalah, Soph,” jawab Aden sambil tertawa. “Kalau dikubur pas mati mah gue nggak perlu takut.”
Yang lain tertawa, Sophie tersipu malu.
“Pernah dikubur hidup-hidup?” tanya Ewink.
“Nggak semua ketakutan berasal dari apa yang kita alami, kan?” kata Aden. Barie mengangguk menyetujui. “Rasa takut ini muncul ketika gue hadir di pemakaman kedua orangtua gue. Gue ngelihat dengan mata gue sendiri ketika jasad bokap sama nyokap gue dibaringkan di tanah sementara orang-orang itu ngelemparin tanah ke atas papan yang menutupi tubuh kaku mereka. Itu … mengerikan. Sebulan setelah pemakaman itu gue selalu mimpi buruk dikubur hidup-hidup. Nggak bisa bernapas, nggak bisa teriak karena mulut dan hidung gue kemasukan tanah. Pokoknya … itu mengerikan.”
“Itu bukannya klaustrofobia, ya?” kata Resya.
“Bukan,” jawab Aden mantap seolah-olah dia sudah tahu Resya akan menanyakannya. “Ini beda dengan klaustrofobia. Sejauh yang gue tahu, klaustrofobia lebih kayak rasa takut terhadap tempat-tempat sempit dan perasaan terjebak. Dan sejauh yang gue rasain, gue nggak takut tuh dengan yang sempit-sempit. Gue justru malah suka yang sempit-sempit.”
Barie dan Ewink tertawa mengerti.
Sophie dan Resya saling tatap, lalu putar bola mata jijik.
Regie memandang Barie. “Giliran lo.”
Barie menatap Resya sejenak sebelum menjawab, seakan-akan minta persetujuan—atau kekuatan?—dari pacarnya itu. “Gue takut air.”
Ewink bersiul, sementara Aden berseru, “Hah?”
“Yah,” jawab Barie malas-malasan. “Air.”
Aden tertawa, ngakak. “Jadi selama ini lo mandi kayak mana? Tayammum?”
Ewink mau nggak mau ikut tertawa. Regie juga. Sophie menahan diri supaya nggak tertawa demi kesopanan. Resya cemberut pacarnya jadi bahan tertawaan.
Barie mengklarifikasi, “Sama kayak ‘takut darah’-nya Sophie. Gue takut air yang banyak. Kayak tsunami. Gelombang pasang. Air kolam renang. Air laut. Sumur. Sungai yang tenang. Pokoknya, jenis-jenis air yang berkumpul banyak.”
“Pantesan dulu waktu SMA lo nggak pernah ikut ujian praktek berenang,” kata Ewink.
“Begitulah.”
“Gue tebak pasti karena pernah tenggelam?” tanya Aden.
“Itu juga. Tapi alesan utamanya karena gue emang nggak suka sama air. Tiap kali lihat air, bahkan air laut itu sekarang,” ketika Barie mengatakannya, semua mata teman-temannya beralih ke laut yang hitam dan memang agak tampak mengerikan, “gue merinding dan berharap semoga gue nggak pernah masuk ke sana untuk selama-lamanya.”
“Mungkin lebih tepatnya lo takut dengan apa yang kemungkinan ada di bawah air itu?”
“Ya, bisa dibilang begitu. Intinya, air laut, air sumur, air sungai, semuanya jauh-jauh deh dari gue.” Barie membuat gerakan mendorong dengan tangan, membuat Regie memutar bola mata jijik.
Sampailah Regie kepada kembarannya. Ini yang dia tunggu-tunggu jawabannya. Aneh memang karena dia lebih tahu ketakutan Ewink ketimbang apa yang ditakuti oleh kembarannya sendiri.
Resya agak malu ketika menyebutkan ketakutannya. “Gue takut ditinggalin.”
Aden membuang kaleng birnya yang sudah habis ke pasir, Sophie menggembungkan pipi, Ewink kecewa karena dia pikir ketakutan Resya lebih heboh daripada ketakutan mereka semua, dan Barie menggenggam tangan Resya kuat-kuat. Dalam hati Regie, bucin banget, ketika dia melihat genggaman tangan Barie dan mata Resya yang menatap Barie seolah-olah minta perlindungan.
Sebelum yang lain sempat merespons, Resya sudah keburu berkata, “Gue takut ditinggalin orang. Takut ditinggalin kalian. Takut ditinggalin Barie. Takut ditinggalin lo, Reg.” Ketika menatap Regie, kembarannya itu buang muka. Resya menganggap Regie mungkin malu karena mereka memang jarang banget mengungkapkan kata-kata sayang dari hati kayak gini. Bahkan bisa dibilang nyaris nggak pernah. “Mungkin sama kayak Aden, setelah bokap meninggal dan nyokap ninggalin kami berdua di rumah Nenek, sejak saat itu gue nggak mau lagi sendirian di dunia ini. Gue nggak mau ditinggalin lagi. Jangan sampe gue ditinggalin lagi untuk yang kedua kalinya …” Resya berharap bisa melihat ekspresi Regie, tapi kembarannya itu menatap ke laut, dan Resya masih beranggapan Regie mungkin malu kalau harus memperlihatkan ekspresi terharunya.
Kemudian hening nyaris satu menit, debur ombak dan desir angin terdengar makin kencang.
“Wow, lumayan emosional,” kata Aden. Dia melirik Regie. Cewek itu masih menatap ke laut, dan sama seperti Resya, Aden berpikir mungkin Regie sedang menangis, jadi dia menawarkan Coca-Cola kepada yang lain dan mereka sibuk membuka kaleng Coca-Cola sementara Regie perlahan-lahan membalikkan badan dan menghadap ke mereka lagi. Setelah Aden menatap Regie dan yakin bahwa gadis itu baik-baik saja dari badai emosional tadi, dia berkata: “Ayo, Reg, sekarang giliran lo.”
Regie menjawab dengan tenang, “Nggak ada. Gue nggak takut apa pun.”
“Huuu, curang!” protes Aden. “Nggak mungkin manusia nggak punya rasa takut.”
Regie memelototi Aden sambil membentak, “Apa sih pentingnya?!”
Yang lain saling tukar pandang, heran dengan perubahan mendadak sikap Regie.
Dia mengulang, “Apa sih pentingnya kalian tahu ketakutan gue? Kita ini kan temenan udah lama, kita semua harusnya udah tahu ketakutan masing-masing.”
“Gue nggak tahu Aden takut dikubur hidup-hidup,” ucap Sophie polos. Aden tersenyum canggung padanya.
“Gue ulangin, ya: apa sih pentingnya? Kita ini sahabat loh, udah lima tahun kita berenam bareng-bareng. Kita tahu kapan Ewink bisulan di keteknya dan Barie bantu mecahin bisul itu sampe darahnya muncrat ke muka Aden. Kita juga tahu kapan Resya nangis-nangis karena putus dari Barie dan kita berempat berusaha buat mereka balikan lagi. Kita bahkan tahu kapan Aden ML dengan cewek gendut yang namanya kayak losion itu—”
“Hey!” Aden protes. “Nggak usah bawa-bawa Marina!”
“Siapa yang peduli?”
“Gue peduli,” jawab Resya dingin. “Lo maksa kita semua untuk ceritain pengalaman horor, tapi begitu giliran lo tiba, lo ngajak kita semua untuk sharing ketakutan terbesar kita. Dan setelah kita semua ngelakuin itu, lo masih juga ngerasa nggak puas! Apa sih sebenernya yang lo mau?”
Semua mata tertuju ke Regie. Gadis itu tampak santai, nggak terpengaruh sama sekali. Ewink sempat khawatir jangan-jangan Regie kesurupan setelah memandangi lautan tadi?
“Yang gue mau adalah, kita seharusnya udah tahu ini semua sejak lama! Buat apa sih persahabatan ini kalau ternyata kita nggak tahu Sophie takut darah? Aden takut dikubur, dan lo takut ditinggalin? Kenapa harus malam ini kita baru tahu itu semua? Bayangin, lima tahun, dan kita semua baru tahu itu sekarang? Selama lima tahun ini kita ngapain aja?”
Yang lain tampak merenung, tapi Resya nggak mau kalah. Ini bukan cuma soal itu. Dia tahu Regie marah karena sesuatu yang lebih besar daripada persahabatan lima tahun yang nggak tahu apa-apa ini.
“Kalau gitu kenapa lo nggak pernah tahu apa yang membuat Sophie nyaris pingsan waktu kita mecahin bisulnya Ewink? Lo juga ke mana aja selama lima tahun ini? Jangan bertingkah seolah-olah lo yang paling tersakiti deh di sini!”
Perang saudara kembar! Aden nggak menyangka akan bisa menyaksikan semua ini malam ini, setelah sekian lama dia mengamati memang ada ketegangan emosi di antara kedua saudara kembar itu yang siap untuk dilepaskan.
“Gue ulangin sekali lagi, ya, kalo-kalo lo masih belum paham: Apa. Pentingnya. Itu. Sekarang?” Regie berapi-api, dia melotot ke Resya. “Lo kembaran gue tapi lo nggak pernah nanya apa ketakutan terbesar gue? Ini yang dari tadi gue coba sampein ke lo: ini semua nggak ada artinya sekarang.” Bersamaan dengan kata-kata ini, Regie melengos pergi dari hadapan mereka.
“Jangan lari dari masalah, Regie!” teriak Resya ke punggung kembarannya yang sekarang menghilang di balik pintu cottage sewaan mereka.
Aden, Sophie, dan Ewink nggak tahu harus merespons bagaimana, sementara Barie masih berusaha menenangkan pacarnya.
“Dia lagi banyak pikiran,” bisik Barie.
“Kita semua lagi banyak pikiran, Bar,” kata Resya. “Makanya kita liburan ke pulau ini. Yang aku nggak ngerti, kenapa sih dia bertingkah seolah-olah ini semua salah kita?” Kali ini Resya memandangi teman-temannya yang lain.
Aden mengangkat bahu, Sophie menggeleng. Ewink nggak merespons. Resya tahu cowok gemuk itu pasti tahu alasannya karena di antara mereka cuma dia yang paling dekat dengan kembarannya, Tapi dia nggak akan memaksa Ewink untuk menceritakannya, biar dia cari tahu sendiri jawabannya.
Aden melirik ke jam tangannya. “Whoops, udah tengah malem. Sebaiknya gue tidur.”
“Ada yang mau berenang?” tawar Ewink.
Aden, yang sudah dua langkah menuju cottage, balik badan mendengar tawaran Ewink. “Berenang sebentar sebelum tidur nggak ada salahnya.”
Mereka berdua segera berlari ke pantai.
“Sebaiknya gue masuk ke dalem, ngecek keadaan Regie.” Sophie bangkit dari pasir. Sebenarnya dia nggak terlalu peduli dengan Regie, karena dia nggak terlalu menyukai gadis itu. Dia cuma nggak mau awkward berada di tengah-tengah Resya dan Barie yang sekarang lagi berpelukan.
“Aku salah apa sih ke dia?” tanya Resya dalam pelukan Barie.
Barie menggeleng, matanya memandangi Aden dan Ewink yang berenang di pantai. Dalam hati sebenarnya dia ingin ikut berenang sama teman-temannya, tapi membayangkan air hitam pekat itu memerangkap tubuhnya dalam dingin dan kehampaan membuatnya bergidik ngeri.
“Aku nggak ngerti kenapa Regie jadi begini. Padahal dulu dia anak yang paling ceria di antara kami berdua.”
Sekali lagi Barie menjawab dengan gelengan. Sejak awal berteman dengan dua gadis kembar ini, Barie memang sudah menebak Regie bakal jadi jenis orang yang nggak akan dia sukai. Bukan karena Regie nggak lebih cantik dari Resya, tapi karena sikap gadis itu yang terlalu berlebihan dan menurutnya agak di luar batas. Barie masih ingat lima tahun lalu Regie pernah mengendap-endap masuk ke kamar kosannya …
Resya menguap. “Aku ngantuk. Tidur yuk.”
“Kamu duluan aja. Aku masih nungguin mereka selesai.”
Resya mengecup pipi pacarnya. “Seandainya kamu nggak takut air.”
Barie tersenyum lemah. “Yeah, seandainya kita nggak punya rasa takut.”
You must be logged in to post a review.
Related Paid Contents
-
🔒 Braven – 15. Bestow
Author: Miinalee -
🔒 Braven – 14. Credence
Author: Miinalee -
🔒 Manager Jeon pt.2 (NC)
Author: _baepsae95 -
🔒 Braven – 25. Bonding
Author: Miinalee
Reviews
There are no reviews yet.